MELALUI MEDIA INI AKU CERITAKAN KISAH HIDUP Q TENTANG DUKA LARA, TAWA BAHAGIA, KARENA HANYA DENGAN HURUF-HURUF INILAH AKU BISA JUJUR DENGAN DIRI KU SENDIRI

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kajian Sastra Bandingan

Posted by Erstyn.S.N - -

Afinitas Cerita Penangkapan Raden Soekra
dalam Babad Tanah Jawi dengan Puisi Penangkapan Sukra Karya
Goenawan Muhamad:
Perspektif Sastra Bandingan

Pengantar

Dalam wilayah ilmu sastra, ada empat pemetaan kajian di dalamnya. Keempat kajian tersebut diantaranya teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, dan sastra bandingan. Menurut Wellek dan Warren (1989: 47), kemunculan studi sastra bandingan sebagai disiplin dari studi sastra bisa dikatakan masih relatif baru. Sehingga studi sastra bandingan masih kurang populer dibanding dengan studi sastra yang lain. Meskipun demikian, studi sastra bandingan memiliki afeksi positif kepada para peminatnya. Karena studi sastra bandingan merupakan studi sastra yang interdisipliner yang sangat menarik sekali untuk dikerjakan dan aspek apa saja yang ada diluar studi sastra bisa dipergunakan untuk mengaji sastra bandingan.
Menurut Hosilos (2001: 28) menyatakan bahwa konsep yang digunakan dalam mengaji sastra bandingan itu mengacu pada dua hal. Pertama, sastra bandingan mengaji perbandingan antara karya sastra pengarang satu dengan pengarang lain yang hidup di dua negara yang berbeda. Kedua, sastra bandingan mengaji perbandingan antara karya sastra dengan karya seni yang lain, seperti seni lukis, seni musik, dan seni yang lainnya. Bahkan pada konsep kedua ini, sastra dapat diperbandingkan dengan bidang ilmu dan kepercayaan yang lain atau di luar sastra.
Dalam kajian ini, konsep yang paling tepat digunakan adalah konsep kedua. Karena yang akan diperbandingkan adalah cerita yang ada dalam Babad Tanah Jawi dengan puisi yang ditulis oleh penyair Goenawan Muhamad. Objek sastra bandingan dalam kajian ini adalah cerita Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dan salah satu puisinya Goenawan Muhamad yang berjudul Penangkapan Soekra. Yang mana dalam kajian ini, akan dicari kesamaan antara kedua objek kajian tersebut. Selanjutnya, akan dibandingkan pula antara cerita penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dengan puisinya Goenawan Muhamad tersebut.

Konsep Afinitas dalam Sastra Bandingan
Pada umumnya jika kita melihat praktik sastra bandingan, baik di negara Barat maupun di negara Timur, studi sastra bandingan itu melandaskan diri pada afinitas, tradisi, dan pengaruh ( Hutomo, 1993: 11). Kata afinitas, berasal dari bahasa Latin ad yang artinya dekat dan finis yang berarti batas. Jika dalam ilmu antropologi, afinitas sering dimaknai sebagai hubungankekerabatan. Dalam sastra bandingan pun tidak jauh berbeda. Jadi, afinitas dalam sastra bandingan adalah studi terhadap hubungan kekerabatan teks sastra.
Setiap teks memiliki pertautan erat dengan teks sebelumnya. Karenanya, tugas peneliti sastra bandingan harus mampu menjelaskan hubungan tersebut (Endraswara, 2008: 141-142). Misalnya, pada saat penyair Goenawan Muhamad menulis puisi Dongeng Sebelum Tidur dan Asmaradana, secara tidak langsung, ia menggunakan bahan dari cerita Anglingdarma dan Damarwulan yang berasal dari sastra Jawa lama (perhatikan antologi puisi Goenawan Muhamad yang berjudul Asmaradana, 1992).

Seputar Goenawan Muhamad
Di sebuah dusun kecil yang terletak di pantai utara Pulau Jawa, jauh dari center of exellence kebudayaan mana pun, tepatnya di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, pada tanggal 29 Juli 1941, lahirlah seorang anak laki-laki yang oleh orang tuanya diberi nama Goenawan Soesetio.
Dengan nama seperti itu kedua orang tuanya berharap kelak anak laki-lakinya menjadi seorang cendekiawan yang selalu setia kepada nusa, bangsa, dan profesinya. Harapan seperti itu tampak jelas dari arti sebuah nama yang melekat pada diri anak laki-laki tersebut. Kata goena dalam bahasa Jawa dapat berarti ilmu pengetahuan, cerdik pandai, dan berguna. Akhiran wan- dapat berarti Tuan, yang memiliki, dan yang berprofesi dalam bidang tertentu. Awalan soe- dalam bahasa Jawa berarti baik atau indah, dan kata setiao artinya setia, patuh dan taat, teguh hati, dan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Jadi, nama Goenawan Soesetio berarti Cendekiawan yang baik dan tetap teguh pada pendiriannya. Harapan kedua orang tua yang melahirkan anak lelaki itu tidak begitu meleset. Di kemudian hari, anak lelaki yang lebih dikenal dengan nama Goenawan Mohamad itu menjadi seorang penyair cendekia yang piawai menulis pasemon, wartawan yang terampil membuat catatan pinggir, esais yang tajam dan kaya referensi, serta budayawan yang teguh pendirian dan mumpuni di bidangnya. Meskipun dirinya bukan seorang guru besar sebuah perguruan tinggi dengan sederet gelar akademik, sajak-sajak dan esai-esai Goenawan menjadi pergulatan akademik banyak guru besar di perguruan tinggi seperti Prof. Dr. A. Teeuw dari Universitas Leiden Negeri Belanda dan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dari Universitas Indonesia.
Pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah Goenawan dihabiskan di kota-kota kecil di Jawa Tengah, seperti Parakan, Wonosobo, dan Pekalongan hingga akhir tahun 1959. Penggemblengan pendidikan sekolah dasar dan menengah di kota-kota kecil seperti itu dianggap oleh Goenawan sebagai masa penggodokan di kawah candradimuka. Berkat penggemblengan di kawah candradimuka itulah ia tidak akan melupakan akar tradisi budayanya, kebudayaan Jawa, meskipun diterpa badai modernisasi kebudayaan Barat. Ketika masa seperti itulah Goenawan dalam kehidupan sehari-harinya berpikir dan berbicara (juga berteriak, bergembira, mengaduh, pendeknya (bertingkahlaku dan bertacara) dengan sebuah bahasa lokal, bahasa Jawa dialek daerah setempat.
Namun, bahasa lokal itu kemudian dibungkam dengan bahasa Jawa lain yang datang dari Timur (Surakarta), yakni bahasa yang dipakai di kalangan priyayi dan orang-orang terdidik di sekolah-sekolah yang diatur negara. Tidak mengheran apabila di kemudian hari Goenawan menulis sajak yang mengacu kebudayaan Jawa yang datang dari Surakarta tersebut. Sajak Pariksit yang ditulis pada tahun 1960-an dan sekaligus menjadi label kumpulan sajak yang pertama (1971) merupakan pasemonnya terhadap kekuasaan budaya Jawa seperti itu.
Demikian halnya dalam sajaknya Asmaradana, Gatoloco, dan Penangkapan Sukra merupakan bentuk pasemon-pasemon Goenawan terhadap kekuasaan budaya Jawa yang membungkam kebudayaan lokalnya. Secara sosial Goenawan memang takluk terhadap kekuasaan budaya Jawa yang adiluhung.
Namun, dikemudian hari ia menumbuhkan suatu ilusi, seolah-olah dengan itu ia mengikuti suatu upacara untuk menjadi diri sendiri. Setamatnya dari sekolah menengah di Jawa Tengah, Goenawan pergi ke Jakarta untuk melanjutkan studinya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Di sini Goenawan berkenalan dengan sesama mahasiswa Psikologi, yaitu Soe Hok Djin yang kemudian dikenal dengan nama Arief Budiman dan Salim Said. Ketika menjadi mahasiswa itulah Goenawan mulai aktif menulis sajak, esai, dan cerita pendek di berbagai majalah dan surat kabar, baik yang terbit di ibukota maupun di daerah, antara lain Sastra, Waktu, Harian Abadi, Indonesia, Gema Islam, dan Basis.
Dari sinilah kemudian Goenawan dapat berkenalan dengan sekelompok budayawan intelektual, seperti H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Iwan Simatupang, D.S. Moeljanto, Taufik Ismail, Bokor Hutasuhut, Hartoyo Andangjaya, dan lain sebagainya. Bersama merekalah diantaranya pada Agustus tahun 1963 Goenawan Mohamad ikut menyusun dan mengumumkan Manifes Kebudayaan. Delapan bulan kemudian, 8 Mei 1964 pagi, sebuah berita terdengar dari radio Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan karena dianggap melemahkan revolusi. Kejadian itu sangat menyentakkan hati Goenawan dan kawan-kawannya yang ikut mengumumkan Manifes Kebudayaan. Setelah Manifes Kebudayaan dilarang dan dinyatakan kontra revolusi, Goenawan dan kawan-kawannya dilarang pula menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Untuk menghindarkan hal itu semuanya, ia dan kawan-kawannya kemudian menggunakan nama samaran ketika harus menulis sajak tentang alam sekalipun. Goenawan menggunakan nama samaran Sutisna Adji. Lama-kelamaan Goenawan tidak tahan dengan situasi semacam itu. Sebelum pecah pemberontakan G30S/PKI, Goenawan melanjutkan studinya ke luar negeri, yaitu di College d'Europe, Brugge, Belgia (1965/1966) dan Universitas Oslo, Norvegia (1966).
Sekembalinya dari Eropa, 1966, keadaan di tanah air sudah relatif aman, Goenawan Mohamad mulai terjun ke dunia jurnalistik. Mula-mula ia bergabung dengan Harian Kami untuk menjadi wartawan (1966--1970). Ketika menjadi wartawan Harian Kami itulah Goenawan berkesempatan mengunjungi tahan politik di Pulau Buru (1969) dan bertemu dengan Pramudya Ananta Toer. Kunjungannya ke Pulau Buru itu kemudian menghasilkan esainya yang bertajuk Suatu Hari dalam Kehidupan Pramudya Ananta Toer yang dimuat dalam Budaya Jaya, dan sajaknya Rekes yang dimuat dalam kumpulan sajaknya Interlude (1973). Selain menjadi wartawan Harian Kami, Goenawan juga menggantikan D.S. Moeljanto menjadi redaktur majalah sastra Horison (1967--1972). Setelah Goenawan sibuk di berbagai kegiatan jurnalistik, ia tetap membantu majalah sastra Horison, sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun majalah tersebut (1972--1993).
Nama Goenawan Mohamad dipakai pertama kali ketika menulis sajak terjemahan dari karya Emily Dickinson dan Guillaume Appolinaire pada tahun 1958. Pada usia 17 tahun Goenwan sudah terampil menulis sajak. Dalam usia yang masih relatif muda, Goenawan telah memenangkan hadiah pertama penulisan esai di majalah Sastra (1962) dengan esainya berjudul Alam Tangkapan Pertama Puisi dan Agama dalam Penciptaan Seni. Setahun kemudian Goenawan juga berhasil memenangkan hadiah pertama penulisan esai majalah Sastra (1963) dengan esainya berjudul Revolusi Sebagai Kesusastraan dan Kesusastraan Sebagai Revolusi dan Seribu Slogan dan Sebuah Puisi. Pada tahun 1968 Goenawan bersama Arief Budiman mencetuskan gagasan kritik sastra dengan metode Ganzheit. Satu tahun kemudian, esai Goenawan Mohamad yang dimuat dalam majalah Horison yang berjudul Seks, Sastra, Kita mendapat penghargaan dari majalah tersebut pada tahun 1969.
Dunia jurnalistik telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari pribadi Goenawan Mohamad. Setelah Harian Kami bubar, Goenawan mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi majalah Tempo (1971-1994, dan 1998-kini), majalah Zaman (1979-1985), majalah Swasembada (1985), dan redaksi majalah kebudayaan Kalam (1993-kini). Selain itu, Goenawan pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), anggota Badan Sensor Film (1967-1972), dan anggota MPR RI (1987-1993). Ketika menjadi anggota MPR itu Goenawan mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat (1989-1990). Semasa reformasi bergulir, ia ikut mendirikan MARA (Majelis Amanat Rakyat) yang menjadi cikal bakal PAN (Partai Amanat Nasional) bersama Amien Rais dan kawan-kawannya.
Hadiah Anugerah Seni dari Pemerintah RI diperoleh Goenawan pada tahun 1972. Satu tahun kemudian (1973), Goenawan mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Pada kesempatan itu ia bertemu dengan penyair dari Amerika Serikat, Robert Lowell dan Allen Ginsberg, serta Gunter Grass dari Republik Federasi Jerman. Hadiah Sastra Asean dari Bangkok ia peroleh pada tahun 1981. Sedangkan Hadiah Sastra A. Teeuw ia peroleh pada tahun 1992. Satu-satunya penyair Indonesia yang mendapatkan hadiah sastra dari Prof. Dr. A. Teeuw dari negeri Belanda hanya Goenawan Mohamad yang piawai menulis pasemon. Beberapa sajak Goenawan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, antara lain dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda. Sudah empat buku kumpulan puisi yang dihasilkan Goenawan Mohamad, yaitu Pariksit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Kumpulan esai Goenawan yang telah diterbitkan menjadi buku juga cukup banyak, antara lain Potret Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Catatan Pinggir 1, 2, 3 (1982, 1989, 1991, versi bahasa Inggris diterbitkan di Australia, 1994), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), dan terjemahan bersama Ali Audah dan Taufik Ismail dari karya M. Iqbal berjudul Penilaian Kembali Pemikiran Agama dalam Islam (1966).

Seputar Babad Tanah Jawi
Menurut Rockhyatmo (dalam Damono, 2004: xi), babad adalah cerita rekaan yang berdasarkan peristiwa sejarah. Istilah ini juga dipakai dalam makna yang sama dalam kesusastraan berbahasa Sunda, Bali, Lombok, dan Madura. Babad merupakan salah satu genre di antara sekian banyak karya sastra Jawa yang mengisahkan cerita sejarah. Kata babad memiliki arti menebas dan merambah hutan, semak dan belukar. Itulah sebabnya kemudian babad berkaitan dengan pembukaan tanah atau pembabadan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan permukiman. Apabila daerah itu berkembang menjadi pusat permukiman yang lebih luas dengan segala sarana dan prasarana, akan terbentuk suatu garis silsilah dari penguasa lahan itu secara turun-temurun.
Beberapa pakar sastra dan sejarah telah memberikan definisi babad. Menurut Hinzler (dalam Damono dkk, 2004: xi), misalnya, babad berarti garis hubung atau jaringan yang mengikat suatu kerabat dan keturunannya dengan latar belakang sejarah. Taufik Abdullah (dalam Damono dkk, 2004: xi) menyebut babad sebagai sejarah lokal, yang mengandung pengertian kisah kelampauan dari suatu masyarakat di wilayah geografi yang bertaraf lokal. Sasarannya adalah asal-usul, pertumbuhan, dan perkembangan kelompok masyarakat setempat.
Penulisan babad dilakukan di lingkungan keraton, dengan materi yang bersumber dari catatan-catatan kejadian di sekitarnya, terutama di kalangan keraton yang berpusat pada raja selaku penguasa daerah itu. Pada skala yang lebih kecil, babad ditulis di lingkungan kabupaten atau kalangan bangsawan, mengisahkan kejadian-kejadian di lingkungan daerah itu atau penguasa dan keturunannya (Damono dkk, 2004: xii).
Fungsi penulisan babad sebagai sastra puja adalah untuk memuliakan raja, kebesaran raja, penguasa dan dinasti yang memerintah, juga untuk menambah sakti raja sebagai upaya penulis untuk memberikan identitas pada tokohnya. Kebenaran atau kebesaran raja atau penguasa senantiasa ditampilkan agar dikagumi rakyat. Untuk mengukuhkan legitimasinya, raja dikatakan sebagai keturunan makhluk supranatural. Pada penulisan lain raja dikatakan memiliki wahyu kerajaan. Sebagai makhluk istimewa dari badannya terpancar cahaya menyilaukan.
Penulis babad adalah punggawa raja atau pujangga kerajaan. Tugasnya menyusun riwayat dan kejadian di dalam keraton. Sebagai pujangga yang memiliki wahyu kepujanggaan ia melaksanakan pekerjaan sakral. Ia menempati kedudukan penting di dalam keraton. Pekerjaan sakral yang dilakukan penulis babad memberikan daya kekuatan yang menambah kebesaran raja.dengan kemampuan yang dimilikinya, penulis babad menyoroti peristiwa masa lampau, guna mengetahui peristiwa yang pernah terjadi atau yang dianggap pernah terjadi, untuk kemudian diendapkan, diolah, dituangkan kedalam karyanya. Karena kedudukannya sebagai pegawai kerajaan, kebebasannya terbatas. Raja mengarahkan penulisan babad sesuai dengan keinginannya dengan tujuan memuliakan dan menjunjung kewibawaannya. Penulisan babad terikat pada etika yang berlaku, penguasaan bahasa, dan pola penulisan yang tidak membedakan antara fiksi dan fakta, yang diwujudkan dalam bentuk narasi.
Salah satu di antara karya sastra yang tergolong babad adalah Babad Tanah Jawi. Kitab ini adalah ciptaan Mataram, mengetengahkan silsilah raja-raja Mataram dan ketrurunanya hingga masa Kartasura dan awal Surakarta. Silsilah dan sejarah asal-usul Raja Mataram seperti yang kita jumpai di dalamnya sesungguhnya adalah karya cipta pelaksana magi sastra.
Secara keseluruhan, babad ini menjelaskan sejarah Jawa, diawali dengan genealogi dari Nabi Adam dan keturunannya, dilengkapi dengan silsilah dewa-dewa dan tokoh-tokoh dalam Mahabrata. Kisah ini berlanjut ke tokoh cerita Panji dari masa Kediri menyambung ke Pajajaran, berangkai dengan tokoh pendiri dinasti Majapahit, menyambung ke dinasti Demak. Dari Demak kisah berlanjut ke Pajang, Mataram, dan diakhiri dengan dinasti penguasa Kartasura. Babad Tanah Jawi disebut sebagai Babad Besar, Babad Induk, atau Babad Major sebab merupakan induk segala kitab-kitab babad Jawa. Menurut Djajadiningrat (dalam Damono dkk, 2004: xv), penyusunan rangkain kitab yang disebut Babad Tanah Jawi dimulai selambat-lambatnya tahun 1625.

Afinitas Cerita Penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dengan Puisi Penangkapan Sukra Karya Goenawan Muhamad
1. Penangkapan Sukra versi Goenawan Muhamad

Puisi Penangkapan Sukra ini ditulis pada tahun 1979 oleh Goenawan Muhamad. Puisi ini juga diangkat kembali oleh Goenawan Muhamad ke dalam antologi puisinya yang diberi judul Asmaradana yang diterbitkan pada tahun 1992. Agar lebih jelas, berikut ini merupakan salinan teks dari puisi Goenawan Muhamad yang berjudul Penangkapan Sukra:

Penangkapan Sukra
– Variasi atas Babad Tanah Jawi
Namaku Sukra, lahir di Kartasura, 17…, di sebuah pagi
Selasa Manis, ketika bulan telah berguling ke balik gunung.
Waktu itu, kata orang, anjing-anjing hutan menyalak panjang,
tinggi, dan seorang abdi berkata, “Ada juga lolong serigala
ketika Kurawa dilahirkan.”
Bapakku, bangsawan perkasa itu, jadi pucat.
Ia seolah menyaksikan bayang-bayang semua pohon berangkat
Pergi, tak akan kembali.
Pada umurku yang ke-21, aku ditangkap.
Debu kembali ke tanah
Jejak sembunyi ke tanah
Sukra diseret ke sana
Seluruh Kartasura tak bersuara
Sang bapak menangis kepada angin
Perempuan kepada cermin
“Raden, raden yang bagus,
pelupukku akan hangus!”
Apa soalnya? Kenapa aku mereka tangkap tiba-tiba?
Para prajurit itu diam, ketika mataku mereka tutup.
Kuda-kuda bergerak. Aku coba rasakan arah dan jarak. Tentu
saja tak berguna.
Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan itu.
Sampai akhirnya iringan berhenti.
Tempat itu sepi.
“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”
“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya sendiri.”
Ada ruang yang tak kulihat.
Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.
Kemudian mataku merkea buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.
Aku pun tahu, setelah itu
tentang nasibku. Malam itu Pangeran, Putera Mahkota
telah menghunus kehendaknya.
Siapakah yang berkhianat
Kelam atau kesumat?
Kenapa nasib tujuh sembilu
Menghadang anak itu
“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”
(Suara-suara senjata berdetak ke lantai)
“Tidak, Gusti.”
“Kausangka kau pemberani?”
Aku tak berani. Mata Putera Mahkota itu tak begitu nampak,
tapi dari pipinya yang tembam kurasakan geram saling mengetam,
mengirim getarnya lewat bayang-bayang.
Suara itu juga seperti melayang-layang.
“Kau menantangku.”
Kuku kuda terdengar bergeser pada batu.
“Kau menghinaku, kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan
aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan
kerajaanku. Jawablah, Sukra.”
Malam hanya dinding
Berbayang-bayang lembing.
“Hamba tidak tahu, Gusti.”
Bulan lumpuh ke bumi
Sebelum parak pagi.
“Pukuli dia, di sini!”
Duh, dusta yang merah
Kau ingin cicipi asin darah
“Masukkan semut ke dalam matanya!”
Seluruh Kartasura tak bersuara
1979

Puisi karya Goenawan Muhamad ini bercerita tantang penangkapan Sukra oleh para prajurit. Sukra adalah putera seorang bangsawan yang ada di Kertasura. Sukra dilahirkan di Kertasura pada pagi hari. Pada saat usia Sukra menginjak 21 tahun, Sukra ditangkap oleh prajurit. Bahkan Sukra juga sempat di seret oleh para prajurit yang menangkapnya itu. Mata Sukra ditutup oleh prajurit-prajurit itu. Sukra bertanya-tanya mengapa matanya ditutup dan dirinya ditangkap. Ternyata orang yang menyuruh prajurit-prajurit untuk menangkap Sukra itu iri dengan ketampanan dan karisma yang dimiliki oleh Sukra. Sukra dipukuli dan mata Sukra dimasuki semut. Akhirnya kedua mata Sukra menangis darah.

2. Penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi
Raden Soekra adalah putra Raden Arya Sindureja. Setelah dewasa, wajahnya sangat tampan dan menjadi punyaan banyak gadisdan menjadi kembang kerajaan. Ia lincah, pemberani, bijaksana, dan piawai dalam sastra. Ia terus-menerus membuat para gadis cantik kasmaran. Meski sesama pria, mereka juga suka memandang wajahnya yang tampan.
Pada suatu hari Pangeran melihat Raden Soekra yang naik kuda berlari ke sana ke mari ditengah barisan, Kanjeng Pangeran terkejut dan memandang tajam. Panas hatinya menyaksikan Raden Soekra. Ia bertanya keras pada abdinya, “Siapa penunggang kuda itu yang menyelusup di tengah barisan”. Patih Soda menyembah dan menjawab, “Ia Raden Soekra anak Raden Sindureja”. Pangeran berkata keras karena hatinya panas, “panggillah dia segera!”.
Pangeran Dipati segera pulang dan duduk di atas pagar bata di Kadipaten. Semua abdi berkumpul. Ki Sutipon, Sutama, Kontolbelang, Sutakitung, Wirakabluk, Jagadngampar, Bajobarat, Kartiponcol, Secalutik ada di hadapannya. Saat itu Raden Soekra sudah datang. Ia duduk menunduk di hadapan Kanjeng Pangeran Adipati. Pangeran Adipati memandang Raden Soekra dengan hati panas. Raden Soekra tidak bersalah apa-apa, tetapi Pangeran tidak senang pada ketampanannya. Abdinya sudah dikedipi untuk menangkap Raden Soekra. Raden Soekra diikat. Pangeran Berteriak lantang kepada Raden Soekra untuk tidak berisik. Raden Soekra dikatakan terlalu angkuh, naik kuda berputar-putar di tengah orang banyak.
Raden Soekra disakiti, kepalanya dipukuli, matanya dijejali semut. Raden Soekra mengaduh tak berdosa dan meminta untuk tidak dianiaya. Matanya diberi semut lagi sehingga Raden Soekra menangis tertelungkup di tanah. Setelah memukulnya, Pangeran lalu pergi. Raden Soekra bergulingan di tanah. Punakawannya datang dan menggendongnya. Dua matanya terpejam berair mata darah. Setiba di Pasar Gede orang-orang Raden Soekra berlarian menjemput dengan tandu. Yang menyaksikan Raden Soekra di atas tandu merasa kasihan.
Setiba di Kasindurejan, Raden Arya Sindureja melihat putranya dan sudah diberi tahu masalahnya. Seketika Raden Patih lupa pada gustinya. Sinar matanya merah, dadanya juga memerah. Kanjeng Pangeran menganiaya abdi, orang yang tak berdosa. Istrinya berusaha menenagkannya sambil terus dipegangi. Akhirnya Raden Sindureja menjadi tenang dan menerima nasib yang menimpanya. Ia amat kasihan kepada putranya. Raden Soekra berkata kepada ayahnya, “Hamba pamit mati. Hamba akan mengamuk di Kadipaten malam hari. Hamba akan berenang di antara tombak, berpegangan pada pedang”.
Diceritakan bahwa Raden Soekra mengasuh tujuh puluh orang Bugis selain yang diasuh oleh ayahandanya. Raden Arya Sindureja berkata kepada putranya, “aduhai putraku, nyawaku, perangilah hawa nafsumu. Sadarilah sebagai kawula, jika mampu, maka segala hendak Paduka harus dijalani, asal jangan samnpai mati. Meski mati pun bila seimbang dengan dosanya, sudah menjadi kewajiban kawula, ia tidak dapat memilih mati”. Raden Soekra tampak takut kepada ayahandanya tetapi di dalam hati ia membayangkan bertanding dengan Pangeran Adipati”.

3. Bentuk Afinitas dalam cerita Penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dengan Puisi Penangkapan Sukra Karya Goenawan Muhamad
Kalau diperhatikan dengan cermat antara puisi Penangkapan Sukra dalam puisinya Goenawan Muhamad dengan cerita penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi jelas sekali memiliki banyak kesamaan cerita. Aku lirik dalam puisi Penangkapan Sukra karya Goenawan Muhamad ini, merujuk kepada tokoh Sukra yang tampan, yang bisa menarik simpati dan perhatian para perempuan, dan yang tersiksa karena di aniaya. Untuk mengambarkan tokoh Raden Arya Sindureja (ayah dari Sukra), Goenawan Muhamad dalam puisinya ini memakai bangsawan perkasa. Sedangkan untuk mengambarkan orang yang menyuruh prajurit menculik Sukra, Goenawan Muhamad memakai kata Gusti.
Cerita yang diangkat dalam puisinya Goenawan Muhamad ini, juga sama dengan cerita penangkapan Raden Soekra yang ada dalam Babad Tanah Jawi. Kesamaan-kesamaan itu diantaranya : (1) Raden Sukra itu orang Kertasura; (2) Sukra ditangkap dengan ditutup matanya; (3) Sukra bertanya-tanya kenapa dirinya ditangkap oleh prajurit-prajurit itu; (4) ternyata prajurit-prajurit yang mau menyulik Sukra ada yang menyuruh; (5) orang yang menyuruh menangkap Raden Sukra itu iri dengan ketampanan yang di miliki oleh Sukra; (6) Saat ditangkap, Raden Sukra dipukuli; dan (7) mata Raden Sukra itu dimasuki dengan semut sehingga Raden Sukra merasa sangat kesakitan.
Jadi, secara tidak langsung ternyata bisa dikatakan bahwa Goenawan Muhamad dalam menulis puisinya yang berjudul Penangkapan Sukra itu, mengambil inspirasi dari cerita yang ada di Babad Tanah Jawi. Dan yang menjadi hipogram dalam kajian ini adalah cerita penangkapan Sukra dari Babad Tanah Jawi.

Simpulan
Dari apa yang sudah dijelaskan di atas bisa di tarik benang merah bahwa yang menjadi hipogram atau induk dari cerita penangkapan Raden Soekra ini adalah dari cerita yang ada di Babad Tanah Jawi. Sedangkan Goenawan Muhamad hanya mengambil inspirasi saja dari cerita di Babad Tanah Jawi itu. Dari inspirasi tersebut sehingga menghasilkan puisi yang berjudul Penangkapan Sukra.

Wringinanom, 20 April 2010

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko dan Sonya Sondakh (Penyunting). 2004. Babad Tanah Jawi: Buku 1 sampai 6. Jakarta: Amanah Lontar.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
................. . 2009. Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Hastuti, Sri. 1986. Ringkasan Sejarah Sastra Indonesia Modern. Klaten: PT Intan Pariwara.
Hosillos, Lucia V. 2001. Sfera Konsentrik dalam Kesusastraan Bandingan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Kurnia, Fabiola Dharmawanti. 2010. Pelangi Sastra dan Budaya. Surabaya: Unesa Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya: Lentera cendekia.
Trisman, B., Sulistiati, dan Marthalena. 2002. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Buku Wajib:
1. Kitab Babad Tanah Jawi yang Anonim, berbahasa Jawa dan masih memakai ejaan lama.
2. Puisi Goenawan Muhamad yang berjudul Penangkapan Sukra dalam antologi puisinya Asmaradana




Klik "Show" untuk melihat Foto >>>>>>>>>> <<<<<<<<<< Foto melihat untuk "Show" Klik
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Merbabu dan Merapi.
  • Merbabu dan Q.
  • Merbabu dan Q.
  • Bersama kita BISA.

RepubliC_GothiC

""