Perbandingan Cerpen Purbawisesa Karya
Muh. Nasrudin Dasuki dengan Cerpen
Bercinta dengan Barby Karya Eka Kurniawan:
dalam Kacamata Feminis Religi
Pengantar
Ada
dua hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra bandingan
(comparative literature) sebagai sebuah disiplin ilmu. Pertama,
persoalan yang menyangkut konsep sastra bandingan. Dalam banyak rumusan
atau definisi sastra bandingan pada umumnya, penekanan perbandingan
pada dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda
menjadi pusat perhatian yang utama. Jadi, sebuah perbandingan dua karya
atau lebih yang berasal dari dua negara, termasuk ke dalam wilayah
sastra bandingan.
Masalah kedua menyangkut praktik sastra
bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik sastra bandingan hanya
sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu dengan
mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan
kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu
hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil
perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan
tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan
reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian
halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan
tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada
pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh karena
itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya
sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan
persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri
persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya
yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Untuk itu, dalam analisis ini penulis membandingkan dua cerita pendek
yaitu Purbawisesa dari Malaysia dengan Bercinta Dengan Barby dari
Indonesia. Unsur yang sama pada kedua cerpen tersebut yaitu terdapat
pada tema, sama-sama menyagkut tentang feminisme dan religi.feminisme
merupakan suatu bentuk teori kritis, yang menggunakan perspektif serta
pengalaman perempuan, dan penindasan yang mereka alami, sebagai titik
tolak sekaligus fokus analisisnya. Teori kritis sudah selalu mengakui
adanya kepentingan di balik setiap klaim kebenaran epistemologis,
ataupun adanya kekuasaan di balik seluruh ilmu pengetahuan.Landasan
utama dari epistemologi feminis, menurut Germaine Greer, seorang tokoh
feminis gelombang kedua, adalah kesadaran bahwa kewajiban utama kaum
perempuan bukanlah melulu terhadap suami ataupun anak-anaknya, tetapi
terhadap dirinya sendiri. Kaum perempuan, pada hematnya, haruslah
membebaskan diri mereka dari diskriminasi yang meluas dan mendalam di
dalam struktur maupun cara berpikir masyarakat, serta membebaskan diri
dari tindakan sewenang-wenang serta penghinaan yang mereka alami setiap
harinya. “Kaum perempuan”, demikian tulisnya, “… harus membebaskan diri
mereka dari dominasi laki-laki, membebaskan diri mereka dari
stereotipe yang dibentuk oleh lelaki, … yang melihat diri mereka dari
citra lelaki,… yang melihat tubuh, seksualitas, intelektualitas, emosi,
dan keseluruhan keperempuanan mereka dari perspektif laki-laki”. Bagi
banyak pemikir feminis, perjuangan untuk mencapai perlakuan yang setara
di samping perbedaan ras, nasionalitas, dan kelas sosial selalu sudah
tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan kaum perempuan untuk
memperoleh pengakuan. Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh
pengakuan dan perlakuan yang setara ini juga disebut sebagai feminisme.
Istilah feminisme sudah selalu terkait dengan semua bentuk studi
perempuan, yakni sebagai paham yang memperjuangkan persamaan hak dan
keadilan bagi wanita, yang sekaligus juga dapat dipahami sebagai sebuah
ideologi untuk mencapai perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih
adil. Marilyn French memberikan definisi yang lebih sederhana, yakni
suatu gagasan, sistem nilai, yang bertolak dari suatu kesadaran akan
ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Oleh karena itu, agenda
utama dari perjuangan gerakan feminis adalah rekonstruksi peran
laki-laki serta rekonstruksi peran perempuan di dalam dunia sosial.
Cerpen Purbawisesa Karya Muh. Nasruddin Dasuki
Cerpen
yang diterbitkan di Malasya oleh Dewan Satera, tahun 1990 ini sungguh
menarik karena tema yang diangkat tidak hanya dari sisi feminisnya
saja, namun dari sisi religi juga. Dari ceritanya yang sama menariknya
dengan judulnya, kita dapat mengetahui bagaimana perjuangan kaum
perempuan untuk memperoleh pengakuan dan perlakuan yang setara dengan
kaum laki-laki.
Tokoh dalam cerpen ini adalah Eleanor, seorang
wanita penggoda. Sebenarnya ia tidak berniat untuk menjadi sang
penggoda, ia hanya seorang wanita yang sedang mencari kebenaran dari
ketidakbenaran yang pernag dirasa dan dialami selama tahap usianya.
Eleanor adalah wanita yang bersemangat api, karena di seorang perawan
yang tidak mau dianggap lemah. Ia berpendapat bahwa wanita juga
mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Sekedar menjadi penerima
saja, itu sifat wanita jaman dulu. Ia menjadi sang penggoda hanya untuk
membuktikan bahwa kaum laki-laki seharusnya tidak sewenang-wenang
kepada wanita karena jelas-jelas mereka selalu membutuhkan kaum wanita.
Disisi lain, penulis juga ingin menyampaikan sisi religi pada
cerpen Purbawisesa ini. ” Bahwa hidup ini perlu ada taufik dan hidayah
dari Pencipta. Selama ini dia keliru dengan hukum Allah karena yang
baik ada waktunya menerima bencana, sepatutnya yang menerimanya adalah
mereka yang berbuat mungkar. ” ( Dewan Satera, 218 ). Eleanor sadar
bahwa hidup beragama, berbudaya, dan bermasyarakat harus menerima
teguran, tetapi teguran itu menurutnya tidak boleh diterima. Dan ketika
ia membaca Surat An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan bahwa kaum laki-laki
adalah pemimpin di atas kaum perempuan. Sekian lama ia mencari tahu
siapakah sebenarnya wanita itu, dan pada akhirnya ia mendapat jawaban
atas itu lalu ia menyadarinya.
Cerpen Bercinta dengan Barby karya Eka Kurniawan
Cerpen Bercinta dengan Barbie adalah sebuah karya dari penulis bernama
Eka Kurniawan yang terdapat dalam kumpulan cerpennya yang berjudul
Gelak Sedih, yang merupakan kumpulan hasil karyanya. Judulnya yang
begitu menarik, yaitu Bercinta dengan Barbie, begitu menggugah rasa
ingin tahu ceritanya. Dari ceritanya yang sama menariknya dengan
judulnya, kita bisa menemukan beberapa faktor yang mencolok mengenai
hubungan antara suami dengan istri, laki-laki dan perempuan, pria dan
wanita. Meskipun ide utama cerita ini kemungkinan tidak khusus mengarah
pada masalah gender, tapi kita masih bisa mendapatkan gambaran tentang
keresahan seorang istri, perempuan, wanita, dalam menghadapi suami,
atau laki-laki dan pria, dalam melakukan hubungan sosial dengan mereka.
Melalui beberapa unsur yang terdapat dalam cerpen Bercinta dengan
Barbie ini, saya akan mencoba menganalisanya melalui sudut pandang para
feminis.
Dalam cerita pendek ini Barbie tersebut disihir oleh
seorang pria agar menjadi seorang manusia biasa, dengan alasan si pria
sudah sangat putus asa dengan sosok istrinya yang untuk ukuran
kebanyakan laki-laki sangat tidak memuaskan. Kejadian ini banyak
ditemukan dalam kehidupan nyata, dimana seorang perempuan diharuskan
untuk memiliki tubuh sesensual boneka Barbie dan wajah seayu wajah
boneka tersebut, baru mereka bisa memenuhi syarat untuk bisa memuaskan
setiap laki-laki. Apabila mereka tidak memenuhi persyaratan itu, maka
mereka kemungkinan besar akan ditinggalkan oleh para laki-laki yang
menurut cerita dalam cerpen ini akan mencari perempuan lain dengan
penampilan serba sempurna seperti Barbie.
Akan tetapi, jika kita
melihatnya dari sisi kaum perempuan sendiri, yang ada hanyalah
penderitaan untuk memenuhi persyaratan “hidup” seperti itu, bagaimana
kaum perempuan haruslah selalu menjadi sosok “dewi yang sempurna” untuk
suami atau laki-laki yang mereka cintai. Seperti yang kita tahu, untuk
memiliki kesempurnaan Barbie adalah sesuatu yang mustahil, karena si
Barbie sendiri tidak akan pernah bertambah tua dan tak akan pernah
berubah perawakannya menjadi keriput atau bergelambir. Jika melihat
dari sudut pandang kaum feminis, hal ini akan menyebabkan kaum
perempuan merasa terasing dari tubuh mereka sendiri, dimana seseorang
seharusnya merasa bebas dengan keadaan dirinya, dengan usaha dari
dirinya untuk dirinya sendiri, bukan orang lain.
Hubungan antara si
pria yang menjadi tokoh utama dalam cerita dan boneka Barbie-nya
merupakan unsur penting berikut dalam cerpen Bercinta dengan Barbie. Si
pria yang merubah Barbie menjadi seorang manusia pada akhirnya tidak
hanya “menggunakan” si boneka untuk kepuasan dirinya sendiri. Pria itu
mulai mencari keuntungan dengan membuka rumah pelacuran yang diberi
nama Bercinta dengan Barbie, darimana judul cerpen itu diambil.
Sungguh
terlihat ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan dan cerita
ini. Meskipun dalam cerpen tokoh si pria digambarkan bukan sebagai
orang yang “rakus” dan bersedia menerima istrinya asalkan tubuhnya
seindah dulu, tetap saja menunjukkan bahwa laki-laki menentukan
segalanya, tidak peduli sesusah apapun para wanita mereka berusaha
memenuhi standar mereka. Namun pada akhirnya, usaha mereka tetap saja
tidak mendapat perhatian para suami itu kembali, karena mereka lebih
tertarik pada sosok-sosok perempuan “Barbie”.
Kejadian dalam cerita
ini jelas memperlihatkan bahwa apapun usaha yang dilakukan oleh para
wanita itu, baik membunuh para Barbie, berusaha keras mengembalikan
bentuk tubuh mereka, yang ada hanyalah kekosongan yang kembali mereka
rasakan setelah kehilangan Ken-Ken mereka. Pada akhir cerita ini
dikatakan apabila si pria mengembalikan semua boneka itu ke wujud
asalnya, meskipun dia masih menyimpan Barbie untuk dirinya sendiri.
Namun saat anaknya menangis mencari Barbie-nya yang hilang, dengan
kejam dia mengganti istrinya ke wujud boneka dan memberikannya pada
anaknya, yang langsung membuang muka melihat keburukan boneka baru
tersebut. Si pria akhirnya membuang boneka si istri ke tempat sampah dan
pergi bersama Barbie-nya.
Dari semua unsur yang telah dikemukakan,
dapat disimpulkan bahwa cerpen Bercinta dengan Barbie ini samar-samar
menunjukkan perjuangan kaum Hawa untuk mendapat penghargaan di mata
para lelaki. Meski di pertengahan sebagian dari kaum perempuan sempat
melawan ketika diperlakukan semena-mena, pada akhirnya mereka dibuang
juga dalam bungkam seperti sebuah boneka usang.
Namun penulis juga
menjelaskan bahwa jika kembali pada ajaran agama, sesungguhnya
perempuan diciptakan memang untuk berdampingan dengan kaum laki-laki.
Dan wanita yang saleh adalah wanita yang menurut kepada suaminya.inilah
hal yang menarik, bahwa kisah yang bertolak belakang dengan bagaimana
sebenarnya kodrat seorang wanita.
Perbandingan Cerpen Purbawisesa Dengan Cerpen Bercinta Dengan Barby: dari Kacamata Feminis Religi
Cerpen Purbawisesa dengan cerpen Bercinta Dengan Barby memang
sama-sama membicarakan masalah feminisme, dalam hal ini mempermasalahkan
tentang gender. Terlihat jelas dari kedua cerpen tersebut mengenai
perjuangan seorang perempuan yang ingin diakui bahwa mereka juga
memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki, karena mereka tidak mau
dianggap lemah dan diperlakukan semena-mena oleh kaum laki-laki. Pada
cerpen Purbawisesa dikisahkan seorang perempuan yang bernama Eleanor
yang bersemangat api, yang berpendapat bahwa sebagai perempuan dia juga
memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Dan menjadi penerima saja,
itu sifat perempuan masa lalu. Ia berfikir bahwa kaum hawa juga pantas
menjadi seorang pemimpin, dan sanggup membuat perubahan besar. Namun
pada akhirnya pendapatnya itu dikalahkan oleh ajaran agama. Karena
pengarang berasal dari Malasya, sehingga sisi religius dalam cerpen
tersebut sangat kental.
Sama halnya pada cerpen Bercinta Dengan
Barby yang mengisahkan tentang bagaimana dalam kehidupan nyata seorang
istri yang sudah tidak bisa memuaskan suaminya bisa dibuang begitu saja
dan diganti dengan perempuan yang baru. Sungguh tidak adil, karena si
istri sama sekali tidak diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan
terhadap dirinya dan hanya menerima saja ketika dirinya dibuang, persis
seperti sesosok boneka yang tidak bisa berkata apa-apa ataupun
memprotes saat dirinya dilempar ke tempat sampah, dibuang karena sudah
tidak sempurna.
Sebagian dari kaum perempuan itu, dalam kasus ini
adalah Barbie yang diubah menjadi manusia, juga menemukan
pemberontakkan diri mereka saat diperjual-belikan kepada para lelaki
yang berpenampilan sama tidak memuaskannya seperti istri mereka, dan
mereka berselingkuh dengan para Ken yang sempurna. Namun pada akhirnya
mereka semua dikembalikan menjadi boneka yang tidak bisa memprotes, dan
hanya satu yang masih bisa menjadi manusia, yaitu Barbie milik si
pria. Dengan kata lain, kalau saja Barbie itu bukanlah “milik” si pria,
maka kemungkinan dia tidak akan pernah menjadi “manusia”, dimana makin
kuat pendapat mengenai si pria sebagai simbol Patriarki yang mengatur
segalanya dalam kehidupan kaum perempuan. Namun sisi religi tidak
begitu menonjol pada cerpen tersebut.
Perbedaan budaya dan
pemikiran mengenai keyakinan (dalam hal ini adalah agama) antara
Malasya dengan Indonesia mempengaruhi isi dari cerita yang ingin
disampaikan oleh pengarang. Dari segi bahasa, cerpen Purbawisesa lebih
sulit dipahami karena menggunakan Bahasa Melayu. Dari segi penokohan,
cerpen Bercinta Dengan Barby lebih menonjol dan lebih jelas. Unsur
pertama yang paling mencolok dalam cerpen “Bercinta dengan Barbie” ini
sudah jelas adalah tokoh “Barbie” itu sendiri. Barbie, seperti yang
kita ketahui, adalah sosok boneka perempuan yang berwujud baik di mata
kaum Adam ataupun Hawa sangat sempurna. Mulai dari rambut sampai ke
ujung kaki Barbie merupakan sosok dambaan semua lelaki dan terkadang
membuat iri kaum perempuan.
Dari sisi religi, cerpen Purbawisesa lebih menonjol. Hal ini bisa dibuktikan dari kutipan-kutipan berikut :
”...perlu
ada taufik dan hidayah dari sang pencipta. Selama ini dia keliru
dengan hukum Allah karena yang baik ada waktunya menerima bencana....”
(Nasruddin, 1990 : 218)
” sedangkandidalam sebuah kitab, dia membaca
seorang abid bernama Barshisha yang sepicing pun tidak melupai
penciptanya...” (Nasruddin, 1990:220)
” kaum lelaki adalah pemimpin
ke atas kaumperempuan. Lantaran Allah telah melebihkan sebagian dari
mereka ( laki-laki ) dengan beberapa keistimewaan atas kaum perempuan
dan dari sebab-sebab apa yang mereka nafkahkan dari harta-harta mereka.
Maka kaum perempuan yang salihah itu ialah yang taat, yang memelihara
hal-hal yangtersembunyi sebagai yang telah dipelihara hal-hal yang
tersembunyi sebagai yang telah dipelihara oleh Allah.... ” Surat
An-Nisa ayat 34. ( Nasruddin, 1990:228 )
Sedangkan pada cerpen
Bercinta dengan Barby, sisi religi tidak begitu menonjol. Karena
pengarang lebih membahas masalah feminisnya, namun tidak melupakan
kodrat sebagai perempuan.
Simpulan
Kesimpulan dari cerpen Purbawisesa adalah kaum laki-laki adalah
pemimpin di atas kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian
dari kaum laki-laki dengan keistimewaan. Pendapat inilah yang membuat
Eleanor sadar bahwa apa yang ia pikirkan selama ini salah, dan perempuan
harus kembali pada kodratnya.
Dari semua unsur yang telah
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa cerpen Bercinta dengan Barbie
samar-samar menunjukkan perjuangan kaum Hawa untuk mendapat penghargaan
di mata para lelaki. Meski di pertengahan sebagian dari kaum perempuan
sempat melawan ketika diperlakukan semena-mena, pada akhirnya mereka
dibuang juga dalam bungkam seperti sebuah boneka usang.
Dari
analisis di depan, dapat disimpulkan bahwa cerpen Purbawisesa dan
cerpen Bercinta Dengan Barby sama-sama bertemakan feminis religi, namun
cerpen Purbawisesa lebih menonjol dari sisi religi, karena Malasya
kuat dengan kultur religiusnya. Sedangkan cerpen Bercinta Dengan Barby
menonjol dari sisi feminis.
Daftar Pustaka
Abas,
Lutfi. 1994. ”Beberapa Aspek Penting dalam Kesusasteraan Bandingan”
dalam Kesusasteraan Bandingan Suatu Disiplin. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Abdullah, Ahmad Kamal. 1994. Kesusastraan Bandingan Sebagai Suatu Disiplin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Awang, Hasyim. 1994. Kesusasteraan Bandingan Sebagai Satu Disiplin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
............ 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Media Pressindo.
Gaither,
Mary. 1990. ”Sastera dan Seni”. Penerjemah Fatmah Zainal. Dalam
Sastera Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Newton P. Stallknecht dan
Horst Frenz (editor). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa danPustaka.
Kurnia,
Fabiola Dharmawanti. 2004. ”Unsur Dualistik dalam Wacana Seksual Fiksi
Bali: Kajian Intertekstualitas”. Dalam Prasasti, Jurnal Ilmu Sastra
dan Seni, Vol. 54, Tahun XIV Agustus 2004 halaman 227-254.
............. 2009. Pelangi Sastra dan Budaya. Surabaya: Unesa University Press.
Lubis,
Muhamad Bukhori. 1994. ”Pendekatan Genetik dalam Kesusasteraan
Bandingan: Beberapa Pengantar Awal” dalam Pengantar Kesusasteraan
Bandingan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Posstrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Remak, Henry H.H. 1990. ”Sastera
Bandingan Takrif dan Fungsi” Penerjemah Zhalilah Sharif. Dalam Sastera
Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Newton P. Stallknecht dan Horst
Frenz (editor). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Saman,
Sahlan Mohd. 1994. ”Gejala Pengaruh dalam Disiplin Kesusasteraan
Bandingan” dalam Kesusasteraan Bandingan Suatu Disiplin. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Zaidan, Abdul Rozak dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
- HOME
- Daftar Isi
- Contact Us
- Services
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Very Long Item
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Fully Flexible
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
Aplikasi Kajian Sastra Bandingan
Posted by Erstyn.S.N
-
-
Posting Komentar