- HOME
- Daftar Isi
- Contact Us
- Services
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Very Long Item
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Fully Flexible
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
Archive for 2013-12-01
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Puisi
adalah karya sastra yang kompleks pada setiap lariknya mempunyai makna yang
dapat ditafsirkan secara denotatif dan konotatif. Puisi merupakan suatu karya
sastra yang inspiratif dan mewakili makna yang tersirat dari ungkapan batin
seorang penyair. Sehingga setiap kata atau kalimat tersebut secara tidak
langsung mempunyai makna yang abstrak dan memberikan imaji terhadap pembaca.
Kata-kata dalam puisi dapat membentuk suatu bayangan khayalan bagi pembaca,
sehingga memberikan makna yang sangat kompleks.
Perkembangan sastra saat ini sangat pesat dan keluar dari
kaidah-kaidah penulisan yang ada. Banyak hal-hal yang baru yang muncul dan
tidak sesuai dengan konvensi-konvensi. Oleh karena itu, dalam pembicaran ini
dicoba untuk menerapkan salah satu teori
dalam menganalisis sajak Indonesia untuk turut mengembangkan studi
sastra dan kesusastraan Indonesia. Adapun teori atau pendekatan yang akan
diterapkan dalam tulisan ini adalah
teori semiotik yang dewasa ini merupakan salah satu teori sastra yang
dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia.
Semiotik
adalah sebuah teori dan pendekatan dalam sastra yang memandang karya sastra
sebagai struktur tanda yang bermakna. Lambang-lambang atau tanda-tanda
kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi
masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau
ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. (Pradopo,2007:118).
Dalam
makalah ini, penulis mengambil salah satu puisi karya Chairil Anwar yang
berjudul Isa dalam kumpulan puisinya Aku
Ini Binatang Jalang. Chairil Anwar lahir 26 Juli 1922 di Medan, dia
merupakan salah satu penyair pada angkatan 45 yang sangat produktif dan
memiliki vitalitas yang tinggi pada masanya dan bahkan di juluki sebagai
pelopor Angkatan 45. Hal ini dibuktikan dengan karya-karyanya yang terangkum
dalam kumpulan sajaknya, seperti Deru
Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan
Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani,1950) (Jassin,1956).
Corak
dan gaya penulisan sajaknya yang terlepas, bebas dan tidak terikat pada konvensi-konvensi yang ada pada masanya.
Salah satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan pada pilihan
kata-katanya, seperti dalam puisi “Isa” setiap kata mampu menimbulkan imajinasi
yang kuat dan menimbulkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya, Dalam puisi
ini sang penyair mampu menghidupkan suasana dengan gambaran yang hidup, hal ini
disebabkan karena bahasa yang digunakannya mengandung suatu kekuatan, rasa
bahasa (sense of language) yang
tinggi sehingga mampu menghidupkan imajinasi pembacanya.
1.2 Masalah
Berdasarkan
uraian diatas, hal yang menjadi objek permasalahan dalam kajian ini adalah
sebagai berikut:
1. Analisis
unsur ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam Puisi Isa.
2. Pembacaan
semiotik dalam puisi Isa.
3. Matriks,
model dan, varian dalam puisi Isa.
4. Hubungan
intertekstual puisi Isa.
1.3 Tujuan
Sesuai
dengan uraian di atas, analisis atau kajian ini memiliki tujuan teoretis dan
praktis yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan
teoretis
Analisis ini bertujuan bagi perkembangan
ilmu sastra di Indonesia umumnya dalam pemahaman puisi dan penerapan teori
sastra untuk keperluan ilmiah,dan secara khusus penerapan teori semiotik dalam
menganalisis puisi. Teori ini perlu dikembangkan dalam analisis puisi karena
memiliki kemampuan yang cukup mendalam memahami unsur-unsur dan makna puisi.
2. Tujuan
praktis
Analisis
ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa di perguruan tinggi dalam
memahami karya sastra, khususnya dalam pemahaman puisi.
BAB II
TEORI
DAN METODE
Semiotik
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti
(Pradopo, 2007:119).
Teks
atau puisi menurut Michael Riffaterre dalam bukunya semiotics of poetry adalah pemikiran yang dibakukan melalui mediasi
bahasa. Dalam semiotik, Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda.
Langkah-langkah dalam memahami sebuah teks dalam hal ini puisi menurut Michael
Riffaterre ada empat yaitu: (1) puisi itu ekspresi tak langsung, menyatakan
suatu hal dengan arti lain, (2) pembacaan heuristik
dan pembacaan retrokatif atau hermeneutik,
(3) matriks, model, dan varian-varian, dan (4) hipogram (Riffaterre,1978:13,14-15).
Keempat hal itu uraiannya sebagai berikut.
1.
Puisi
itu merupakan ekspresi tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dengan arti
lain. Ekspresi tidak langsung itu disebabkan oleh (a) penggantian arti (displacing of meaning), (b) penyimpangan
atau pemencongan arti (distorting of
meaning), dan (c) penciptaan arti (creating
of meaning) (Riffaterre,1978:1-2).
2.
Pembacaan
heuristik dan pembacaan pembacaan retrokatif atau hermeneutik (Riffaterre,1978:5-6). Pertama kali, sajak dibaca
secara heuristik, yaitu dibaca berdasarkan tata bahasa normatif, morfologi,
semantik, dan sintaksis. Pembacaan ini menghasilkan arti sajak secara
keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat
pertama (first order semiotics).
Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna sajak atau
makna sastra (significance). Oleh
karena itu, karya sastra dalam hal ini puisi harus dibaca ulang (retrokatif) dengan memberikan tafsiran (hermeneutik).
Pembacaan retrokatif
dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra, yaitu puisi itu merupakan
ekspresi tidak langsung (lihat 1a,b,c). Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan
menurut sistem semiotik tingkat kedua (second
order semiotics) (Riffaterre,1978:5-6).
3.
Untuk
memperjelas dan mendapatkan makna sajak lebih lanjut, maka dicari tema dan
masalahnya dengan mencari matriks, model, dan varian-variannya lebih dahulu
(Riffaterre,1978:13,19-21).
Matriks itu harus
diabstraksikan dari sajak yang dibahas. Matriks itu tidak dieksplisitkan dalam
sajak. Matriks itu bukan kiasan. Matriks adalah kata kunci (key words), dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat,
atau kalimat sederhana. Matriks ini “mengarah pada tema”. Jadi, matriks bukan
tema atau belum merupakan tema, dengan ditemukan matriks nanti akan ditemukan
tema.
Matriks itu sebagai
hipogram intern yang ditransformasikan ke dalam (menjadi) model yang berupa
kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi “varian-varian. Varian
merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda, baris atau bait, varian
itu berupa “masalahnya”. Dari matriks, model, dan varian-varian ini dapat
disimpulkan atau diabstraksikan tema sajak.
4.
Sering
kali sajak itu (karya sastra) merupakan transformasi teks lain (teks
sebelumnya) yang merupakan hipogramnya, yaitu teks yang menjadi latar belakang
penciptaannya. Teks latar penciptaanya itu bisa berupa latar sosial masyarakat,
peristiwa sejarah, benda-benda alam dan lain-lain. Dengan adanya hipogram itu,
pemaknaan membuat makna sajak menjadi lebih penuh, maka dilakukan analisis
metode intertekstual dengan menjajarkan sajak yang dimaknai dengan sajak lain
yang menjadi hipogramnya.
Keempat langkah-langkah diatas
merupakan metode dalam pemaknaan puisi menurut teori semiotika Riffaterre.
Isa
kepada nasrani
sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
(12 November 1943)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisis Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi Dalam Puisi Isa
Dikemukakan Riffaterre (dalam
Pradopo,2007:281-281) bahwa puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung.
Ketidaklangsungan ekspresi ini disebabkan oleh tiga hal yaitu:
1.
Penggantian arti (displacing
of meaning).
2.
Penyimpangan arti (distorting
of meaning).
3.
Penciptaan arti (creating
of meaning).
1.
Penggantian arti (displacing
of meaning)
Penggantian arti menurut Riffaterre
disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Metafora dan metonimi itu
sendiri adalah bahasa kiasan pada umumnya, yang mengiaskan sesuatu dengan yang
lain.
Dalam
puisi ini, penggantian arti terdapat pada baris itu Tubuh / mengucur darah /
mengucur darah, bagian ini menyiratkan bagaimana penyair mengiaskan sang
‘Isa’ dengan kiasan “Tubuh mengucur darah”.
Baris ini secara metaforis bermakna bahwa si ‘Aku’ melihat betapa menderitanya
si ‘Dia’ (Isa) dengan tubuh yang penuh luka.
Bentuk ini juga terdapat dalam baris “terbayang terang di mata masa”
dan “bertukar rupa ini segera”.
Kedua baris ini secara metaforis
bermakna bahwa si ‘Aku’ membayangkan bahwa akan terjadi sesuatu yang lebih baik
dimasa yang akan datang dan berharap dirinya akan berubah ke arah yang baik.
Jadi, dengan melihat penderitaan yang dialami oleh Isa, timbul
harapan baru dalam diri si aku untuk berubah dan hidup sesuai dengan yang
dikehendakinya.
2.
Penyimpangan arti (distorting
of meaning)
Riffaterre
mengemukakan bahwa penyimpangan arti
terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
a.
Ambiguitas
itu disebabkan karena bahasa puisi mempunyai arti ganda. Chairil Anwar dalam
puisinya gemar menggunakan kata-kata ambigu, hal ini dilakukannya untuk
menambah kepuitisan setiap larik puisinya. Begitupun juga dalam puisi ‘Isa’, berikut kutipannya:
rubuh
patah
…………………
kulihat
Tubuh mengucur darah
aku
berkaca dalam darah
………………….
mengatup
luka
aku
bersuka
Bagian rubuh / patah berarti terjatuh dan
terjatuh lagi, yang berarti hidupnya penuh penderitaan. Bagian berkaca
dengan darah berarti si ‘Aku’ dapat
melihat bayangannya di atas darah si
‘Dia’ (Isa) yang dalam artian sebenarnya tubuh si ‘Dia’ (Isa) sudah dipenuhi
luka. Bagian “mengatup luka” berarti
menderita karena siksaan. Bagian “aku
bersuka” berarti orang-orang yang menyaksikan peristiwa penayaliban Isa
senang dengan penderitaan yang dialaminya, sedangkan arti kiasnya berarti umat
kristiani bersuka cita dengan penyaliban yang dilakukan terhadap si ‘Dia’
(Isa).
b.
Kontradiksi
merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradok atau ironi. Paradok
adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan. Pada puisi ini
terdapat paradok yang terdapat pada baris:
kulihat
Tubuh mengucur darah
aku
berkaca dalam darah
yang
dipertentangkan oleh baris:
terbayang
terang di mata masa
bertukar
rupa ini segera
Pertentangan
ini berhubungan dengan waktu. Pada
penggalan pertama disebutkan waktu saat peristiwa itu terjadi dipertentangkan
oleh penggalan kedua yang menyebutkan waktu yang akan datang. Hal ini dapat
diartikan bahwa penggalan kedua adalah keinginan si ‘Dia’ (Isa) yang sedang
mengalami penderitaan pada penggalan pertama, atau dengan kata lain si ‘Dia’
(Isa) berharap dengan penderitaan yang dialaminya umat kristiani akan berubah
dan dibebaskan dari dosa.
Ironi
merupakan gaya bahasa untuk menyatakan sesuatu secara berbalikan. Dalam puisi
ini, ironi terdapat dalam baris mengatup
luka yang berarti si ‘Dia’ (Isa)
dalam kondisi kesakitan, di ironiskan oleh baris aku bersuka yang berarti si ‘Aku’ senang dengan kondisi dengan yang
dialami oleh si ‘Dia’ (Isa). Ini menggambarkan betapa ironisnya orang kristiani
pada waktu itu yang senang dengan peristiwa penyaliban terhadap Isa (Yesus
Kristus).
c.
Nonsense
merupakan kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. Dalam puisi
ini tidak terdapat nonsense karena semua bagian dalam puisi ini bisa dimaknai
oleh pembaca.
3.
Penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan
arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya (a) enjambement,
(b) sajak, (c) tipografi, dan (d) homologue (Pradopo, 2007:220).
a.
Enjambement,
yaitu perloncatan baris dalam sajak, membuat intensitas arti atau perhatian
pada akhir kata atau kata yang diloncatkan ke baris berikutnya.
itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
bait ini kemudian diloncatkan pada bait terakhir. Peloncatan
bait ini dilakukan penyair untuk menciptakan suasana yang tragis dengan
penderitaan yang dialami Isa.
b.
Sajak
menimbulkan intensitas arti dan makna liris, pencurahan perasaan pada sajak
yang berpola sajak itu. Berikut kutipannya:
rubuh
patah
penggunaan dua kata diatas menimbulkan makna liris untuk
mengungkapkan betapa menderitanya Isa dalam peristiwa penyaliban itu.
c.
Tipografi,
yaitu tata huruf dalam sajak yang dapat menciptakan makna. Dalam puisi Isa
berikut kutipannya:
a). Huruf
/i/ pada kata ‘Isa’ ditulis dengan huruf kapital, dimaksudkan untuk menegaskan
simbol Tuhan Yesus (Isa) yang menjadi
sorotan utama dalam sajak ini.
b). Huruf
/t/ pada kata ‘tubuh’ ditulis dengan huruf kapital, dimaksudkan untuk
menekankan arti bahwa si ‘Dia’ yang menjadi sorotan utama adalah orang yang
dimuliakan.
d.
Homologue adalah persejajaran bentuk atau
persejajaran baris, bentuk yang yang sejajar itu menimbulkan makna yang sama. Dalam
puisi ini dapat terlihat bahwa penyair hanya menggunakan kesejajaran kalimat
atau bait dalam puisinya. Kesejajaran bait ini digunakan untuk menimbulkan
persejajaran bentuk dan arti. Bentuk sejajar ini sengaja dibuat penyair sebab
mempunyai pengaruh makna dan rasa terhadap puisinya. Kesejajaran atau
keteraturan ini menunjukkan bahwa penyair ingin mengungkapkan tentang
penderitaan yang dialami Isa tanpa ada yang menolongnya. Penderitaan ini Ia
terima dengan penuh ikhlas dan tanpa ada perlawanan, ini dilakukan Isa demi
keselamatan umatnya.
B. Pembacaan
Semiotik Dalam Puisi Isa
Untuk
konkretisasi makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan heuristik dan
retrokatif (hermeneutic). Pada
umumnya bahasa puisi menyimpang dari penggunaan
bahasa biasa. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak
biasa harus dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif.
Bilamana perlu, kata-kata perlu diberi awalan atau akhiran, disisipkan
kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas (Pradopo,2007:295-296).
1. Pembacaan
Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan
konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem
semiotik tingkat pertama.
Bait Pertama
itu Tubuh (Tubuh itu),
mengucur darah (mengucurkan darah), mengucur darah (dan terus
mengucurkan darah).
Bait Kedua
rubuh (lalu rubuh) patah (dan patah).
Bait Ketiga
Mendampar (terbersit) tanya (pertanyaan) : aku salah? (apa salah dan
dosaku).
Bait Keempat
kulihat Tubuh
mengucur darah (aku
melihat tubuh Isa mengucurkan darah), aku berkaca dalam darah (aku sadar
betapa besar penderitaan-Nya).
Bait Kelima
terbayang terang
di mata masa (yang
akan datang), bertukar rupa ini segera
(dan berharap aku akan segera berubah).
Bait Keenam dan
Ketujuh
mengatup luka (tubuh-Nya penuh luka yang
mengatup), aku bersuka (dan aku
senang dengan penderitaan-Nya).
2. Pembacaan
Retrokatif (hermeneutic)
Pembacaan
retrokatif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran.
Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi).
Puisi “Isa” ini
menunjukkan suatu peristiwa penyaliban Yesus Kristus yang dilakukan oleh orang
kristiani itu sendiri (Yahudi).
Bait Pertama
Dalam bait pertama ini diterangkan tentang keadaan sesosok tubuh, yaitu tubuh Isa yang
penuh luka dan darah yang bercucuran. itu
Tubuh, mengucur darah,mengucur darah, merupakan pilihan kata yang digunakan
oleh penyair untuk menggambarkan penderitaan
si Isa. Gaya repetisi digunakan penyair untuk mengiaskan betapa besarnya
penderitaan Isa dengan tubuh yang penuh luka dan darah yang bercucuran.
Bait Kedua
Bait kedua menggambarkan tentang penderitaan si Isa yang
memikul salib ke Golgota (bukit kematian), dimana dia terjatuh dan terus
terjatuh karena beban salib yang begitu berat. Beban salib dalam kepercayaan
orang kristiani ini melambangkan dosa dan perbuatan orang Kristen yang ditebus
oleh Isa dengan penuh ikhlas demi keselamatan umat yang dicintainya. Pilihan
kata rubuh dan patah sengaja diselipkan oleh penyair untuk menciptakan suasana
yang memilukan dan tragis.
Bait Ketiga
mendampar tanya:
aku salah?.
Bait ini mau menegaskan tentang apa salah dan dosa-Nya sehingga dia
diperlakukan seperti itu. Bait ini dipertegas dengan penggunaan tanda tanya (?)
untuk mengungkapkan pertanyaan yang terbersit dalam pikiran si Isa.
Bait Keempat
kulihat Tubuh
mengucur darah,
baris ini mau menggambarkan tentang posisi si aku yang melihat penderitaan si
Isa yang tubuhnya penuh luka dan
berlumuran darah. aku berkaca dalam
darah, baris ini merupakan kiasan yang mengungkapkan kesadaran si aku
dengan penderitaan yang dialami oleh si Isa. Si aku menyadari bahwa dirinya
penuh dosa dengan menyerahkan si Isa untuk menderita di kayu salib.
Bait Kelima
terbayang terang
di mata masa, bertukar rupa ini segera. Bait ini berhubungan dengan bait keempat, yang
menggambarkan keterangan keadaan si aku
lebih lanjut. Kedua baris ini secara
metaforis bermakna bahwa si ‘Aku’ membayangkan bahwa akan terjadi sesuatu yang
lebih baik dimasa yang akan datang dan berharap dirinya akan berubah ke arah
yang baik. Disini penyair mau menggambarkan keadaan batin si aku yang mau
bertobat setelah melihat penderitaan yang dialami si Isa.
Bait Keenam dan
Ketujuh
mengatup luka, aku
bersuka. Baris
pertama ini mau menggambarkan tentang si aku yang melihat penderitaan si Isa
dengan tubuh penuh luka menganga. Pada baris kedua, merupakan suatu ironi
dimana si aku senang dengan penderitaan yang dilami oleh Isa. Hal ini mau
menggenapi apa yang telah di firmankannya, bahwa suatu saat dia akan
menyerahkan nyawanya untuk menebus dosa umat yang dicintai-Nya.
C. Matriks, Model, dan Varian-varian dalam Puisi
Isa
Untuk membuka sajak supaya dapat mudah dipahami, dalam
konkretisasi puisi, haruslah dicari matriks atau kata-kata kuncinya. Kata kunci
adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan (Pradopo,
2007:299).
Matriks
dalam sajak ‘Isa’ adalah ‘peristiwa penyaliban Isa’ dan ‘sukacita wafatnya Isa’.
Matriks ini ditransformasikan menjadi model ‘Tubuh mengucur darah’ ,
‘rubuh/patah’, bertukar rupa’ dan ‘aku bersuka’. Matriks ini sebagai hipogram
intern ditransformasikan menjadi varian-varian berupa masalah atau uraian dalam
sajak ini.
Varian pertama: menggambarkan tentang peristiwa penyaliban
Isa, dimana dia memikul salib dengan tubuh yang penuh luka siksaan (Tubuh mengucur darah). beratnya beban
salib yang dipikulnya menyebabkan dia terjatuh beberapa kali (rubuh/patah).
Varian kedua: menggambarkan tentang sukacita umat kristiani
dengan wafatnya Isa. Dalam kepercayaan Kristen, peristiwa kematian isa
merupakan suatu peritiwa suci sekaligus mengharaukan dimana dia rela mati di
kayu salib untuk menebus dosa umatnya (aku
bersuka) dan berharap umatnya akan segera bertobat dan kembali ke jalan
Tuhan (bertukar rupa).
Dari matriks, model, dan varian diatas dapat disimpulkan
tema dan amanat yang disampaikan sajak ‘Isa’ adalah bahwa semoga dengan
wafatnya Isa di kayu salib, umat kristiani akan bertobat dan kembali ke jalan
Tuhan.
D. Hubungan
Intertekstual Puisi Isa
Prinsip
intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar-teks sajak. Sebuah sajak
merupakan tanggapan terhadap sajak-sajak sebelumnya. Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu hipogram.
Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau yang menjadi
latar penciptaan sajak yang lain (Pradopo, 2007:300).
Dalam penciptaan puisi “Isa” yang menjadi hipogramnya adalah
kisah sengsara penyaliban Yesus Kristus (Isa) yang tertuang dalam buku suci
umat Nasrani yaitu Alkitab. Peristiwa penyaliban Isa itu sendiri terjadi pada
masa pemerintahan Romawi di bawah pemerintahan Pontius Pilatus abad 19 SM. Peristiwa
penyaliban Isa ini kemudian oleh penyair ditransformasikan dalam puisi Isa yang di tulis pada 12 Nopember 1943.
Hal ini karena isi
sajak berkaitan dengan kisah penyaliban Yesus Kristus, dalam peristiwa ini
terdapat 14 tahap yang dikenal dengan “perhentian”, berikut kutipannya;
1.
Perhentian
I : Yesus dijatuhi hukuman
mati
2.
Perhentian
II : Yesus memanggul salib
3.
Perhentian
III : Yesus jatuh untuk
pertama kali
4.
Perhentian
IV : Yesus berjumpa dengan
Ibu-Nya
5.
Perhentian
V : Yesus ditolong Simon
dari Kirene
6.
Perhentian
VI : Wajah Yesus diusap oleh
Veronika
7.
Perhentian
VII : Yesus jatuh
untuk kedua kalinya
8.
Perhentian
VIII : Yesus menghibur
perempuan-perempuan yang menangisi-Nya
9.
Perhentian
IX : Yesus jatuh untuk ketiga
kalinya
10. Perhentian X : Pakaian Yesus ditanggalkan
11. Perhentian XI : Yesus disalibkan
12. Perhentian XII : Yesus wafat disalib
13. Perhentian XIII : Yesus diturunkan dari salib
14. Perhentian XIV : Yesus dimakamkan.
Isi sajak
pada bait pertama berkaitan dengan peristiwa pada perhentian II dan XI. Dimana
dalam tahap II dan XI, sebelum Yesus memanggul salib dia dimahkotai duri dan
dicambuk sehingga darah bercucuran dari tubuh-Nya. Dan ketika disalibkan tangan
dan kaki-Nya dipaku di kayu salib.
Pada bait
kedua, berkaitan dengan peristiwa pada perhentian III, VII, dan IX. Dimana
dalam peristiwa ini, Yesus jatuh tiga kali karena beban salib yang begitu berat
dan cambukkan yang diterima-Nya.
Pada baris
mendampar Tanya: aku salah?, berkaitan dengan peristiwa pada perhentian I,
dimana yesus dijatuhi hukuman mati walaupun dia tidak bersalah.
Pada bait
keempat, berkaitan dengan perhentian II dimana luka-luka cambukan pada tubuh
Yesus mengucurkan darah.
Dari
beberapa pernyataan diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa isi sajak ini
berkaitan dengan peristiwa sengsara penyaliban Yesus Kristus (Isa).
BAB IV
PENUTUP
Analisis
semiotik merupakan analisis yang
digunakan untuk memahami makna yang terkandung didalam teks karya sastra
khususnya dalam puisi. Hal ini,
dilakukan karena bahasa puisi bersifat
padat dan ringkas. Untuk itu perlu adanya sebuah teori atau kajian yang menelaah bahasa puisi secara
terperinci dan mendalam, dan teori tersebut adalah teori semiotika yang menurut
pandangan Riffaterre
Puisi
merupakan ekspresi tidak langsung. Oleh karena itu, dalam menganalisis tanda
yang terdapat dalam puisi Isa diawali dengan melakukan analisis
ketidaklangsungan ekspresi puisi yang
meliputi penciptaan arti, penggantian arti, dan penyimpangan arti. Analisis ini
digunakan untuk memahami gaya bahasa dan bentuk puisi, selain itu juga untuk
memeperkuat pemaknaan puisi secara keseluruhan.
Pemahaman
puisi Isa ini kemudian dilanjutkan dengan pencarian kata kunci sebagai inti makna keseluruhan
puisi dan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan pada tingkat bahasa (heuristic), dan pembacaan pada tingkat makna (hermeneutic). Pembacaan ini dilakukan
untuk memahami bahasa dan makna puisi secara keseluruhan. Pemahaman puisi ini
kemudian diakhiri dengan mencari hubungan intertekstual puisi dengan karya
sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mencari sejarah yang melatari puisi ini
diciptakan.
Setelah
melakukan analisis semiotik puisi Isa karya Chairil Anwar, dapat disimpulkan
bahwa keteguhan dan kepercayaan umat
Kristiani sangatlah kuat. Hal ini, dibuktikan dengan sukacita yang mereka dapatkan ketika melihat
pengorbanan Yesus Kristus (Isa) yang penuh penderitaan dan berlumuran darah.
Mereka menganggap bahwa apa yang diterima Yesus (Isa) merupakan penebusan dosa
atas dosa yang dilakukan umatnya (Nasrani).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Chairil.
2006. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dermawan,
Rusdian Noor. 1998. Materi Kuliah Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: FKIP UST.
Jassin,
H.B. 1978. Chairil Anwar Pelopor Angkatan
45. Jakarta: Gunung Agung.
Keraf, Gorys.
2007. Diksi dan Gaya Bahasa (cetakan
ketujuh belas). Jakarta: Gramedia.
Pradopo,Rachmat
Djoko. 2007 . Pengkajian Puisi. Yogyakarta
: Gajah Mada University Press.
Pradopo,Rachmat
Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya (cetakan keempat). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Riffaterre, Michael.
1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.
Pendekatan Semiotik
1. Pengertian Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ferdinand de Saussure dikutip Piliang (2003:256) mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Pada awalnya semiotik merupakan ilmu yang mempelajari setiap sistem tanda yang digunakan dalam masyarakat manusia. Dengan kata lain, semiotik adalah ilmu yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang berkaitan dengan makna tanda-tanda dan berdasarkan atas sistem tanda tanda. Teeuw (1982:50) mengatakan bahwa semiotic merupakan tanda sebagai tindak komunikasi.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi). Tokoh semiotik itu adalah seorang ahli linguistik berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure (1857–1913) dan seorang ahli filsafat Amerika, Charles Sanders Peirce (1839– 1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi sedangkan Peirce menyebutnya semiotik. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya.
2. Hubungan semiotik dan sastra
Dalam sebuah karya sastra arti bahasa ditentukan oleh konvensi satra atau yang disesuaikan dengan konvensi sastra. Tentu saja karena bahannya adalah bahasa yang sudah mempunyai sistem dan konvensi itu, tidaklah dapat lepas sama sekali dari sistem bahasa dan artinya, oleh karena itu, Preminger dalam Pradopo (2010:121) konvensi karya sastra disebut dengan konvensi tambahan, yaitu konvensi yang ditambahkan kepada konvensi bahasa. Untuk membedakan arti satra dipergunakan istilah arti (meaning) untuk bahasa makna (significance) untuk pemahaman arti bahasa sastra Makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan itu. Jadi, dalam sastra arti bahasa atau konotasinya, lebih-lebih dalam puisi, konvensi itu sangat jelas memberi arti tambahan kepada arti bahasanya.
Dikemukakan oleh Preminger dalam Pradopo (2010:119) bahwa penerangan semiotik itu memandang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: system linguistic) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis, penelitian sastra dalam bentuk semiotik ini peneliti harus menentukan kontras-kontras diantar satuan-satuan yang menghasilkan arti (hubungan hubugan pradigmatik) dan aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama –sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur makna yang lebih luas (hubungan-hubungan sintagmatik). Dikatakan selanjutnya oleh preminger dalam Pradopo (2010:109) bahwa studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda. Oleh karena itu peneliti harus bisa menentukan konvensi-konvensi tambahan apa yang memungkinkan karya sastra bisa mempunyai makna yang lebih luas.
Karya satra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam genre puisi khususnya, ,mempunyai ragam: puisi lirik, syair, pantun, sonata, balada, dan sebagainya. Seperti contohnya , seperti genre puisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperi kosa kata, bahasa kiasan , diantaranya personifikasi, simile, metafora, dan metomini. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra. Diantara konvensi-konvensi kebahasaan yang meliputi:bahasa kiasan, saran retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Disamping itu ada konvensi ambiguitas. Kontradiksi dan nonsense. Adapula konvensi visual tersebut diantaranya baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipografi, dan homoloque. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut dalam linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai dan menciptakan arti.
Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pemahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks.Sebagi sebuah teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dapat kita tarik dari per-wujudan teks itu sendiri; pilihan katannya, Rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhubugan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan bekaitan dengan pemikiran dan ekspresi yang ditawarkan; makna semantik berkaitan dengan kedalaman makna setiap kata dan acuan-acuan yang disarankannya. Adapun makna eksplisit berkaitan dengan interpretasi dan makna yang menyertai dibelakang puisi yang bersangkutan.
Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis terhadapnya, langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin dapat membantu pembaca menyelam kedalam dunia puisi yang bersangkutan dan muncul kembali dengan membawa pemahaman tekstualnya. Pemahaman tekstual atau makna teks tersurat dapat dilakukan melalui dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah-langkah apresiasi puisi, perlu kiranya kita memahami dahulu pengetian apresiasi pusi itu sendiri dan pengetahuan tentang puisi, maka dirasa perlu untuk memahami suatu teori puisi yang tepat untuk menganalisis sebuah teks puisi yang begitu kaya akan tanda, dan dapat dipecahkan melalui semiotik.
3. Tanda: Penanda dan Petanda
Wardoyo (2005:1) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya adalah bagaimana tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi sebuah tanda, terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam semiotik, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan makna.
Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai peranan penting dalam mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure dalam Pilliang (2003:90) menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya, kata ‘ayah’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti ‘orang tua laki-laki’.
Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004:90).
Sementara itu, seorang tokoh semiotik lain, Charles Sanders Peirce (1839–1914) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut Peirce, dalam pengertian tanda terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotik yang fundamental. Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena adanya tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda dengan mata rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan konsep pragmatisme.
Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain (qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan penanda + petanda = tanda realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsigns, secondness/overagainstness). Ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai” (legisigns, thirdness/in-betweenness).
C. Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre
Sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting dalam semiotik. Karya sastra merupakan sistem tanda yang bermakna yang mempergunakan medium bahasa. Preminger dalam Pradopo (2010:142) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah mempunyai arti (meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.
Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut.
1. Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2010:124).
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis.
Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
a) Penggantian Arti (displacing of meaning)
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori.
Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.
b) Penyimpangan Arti (distorting of meaning)
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisi yang bergaya mantra.
c) Penciptaan Arti (creating of meaning)
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Contoh puisi ”Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri.
Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zig-zag. Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara linguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif, yaitu perkawinan itu menimbulkan angin-angan hidup.
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedy (Pradopo, 2005:131).
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap maknadan fenomena yang terkandung dalam Jelita Senandung Hidup .
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010 151). Cakupan teori ini 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2) Persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi, sedangkan menurut Santosa (2004:234) Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2010:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut:
1) Membaca untuk arti biasa.
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
3. Matriks dan Model
Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
4. Hipogram
Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangan atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 2010:132). Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978:2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit. Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Kumpulan Puisi Jelita Senandung Hidup . Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam sajak-sajak itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Jelita Senandung Hidup .
1. Pengertian Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ferdinand de Saussure dikutip Piliang (2003:256) mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Pada awalnya semiotik merupakan ilmu yang mempelajari setiap sistem tanda yang digunakan dalam masyarakat manusia. Dengan kata lain, semiotik adalah ilmu yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang berkaitan dengan makna tanda-tanda dan berdasarkan atas sistem tanda tanda. Teeuw (1982:50) mengatakan bahwa semiotic merupakan tanda sebagai tindak komunikasi.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi). Tokoh semiotik itu adalah seorang ahli linguistik berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure (1857–1913) dan seorang ahli filsafat Amerika, Charles Sanders Peirce (1839– 1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi sedangkan Peirce menyebutnya semiotik. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya.
2. Hubungan semiotik dan sastra
Dalam sebuah karya sastra arti bahasa ditentukan oleh konvensi satra atau yang disesuaikan dengan konvensi sastra. Tentu saja karena bahannya adalah bahasa yang sudah mempunyai sistem dan konvensi itu, tidaklah dapat lepas sama sekali dari sistem bahasa dan artinya, oleh karena itu, Preminger dalam Pradopo (2010:121) konvensi karya sastra disebut dengan konvensi tambahan, yaitu konvensi yang ditambahkan kepada konvensi bahasa. Untuk membedakan arti satra dipergunakan istilah arti (meaning) untuk bahasa makna (significance) untuk pemahaman arti bahasa sastra Makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan itu. Jadi, dalam sastra arti bahasa atau konotasinya, lebih-lebih dalam puisi, konvensi itu sangat jelas memberi arti tambahan kepada arti bahasanya.
Dikemukakan oleh Preminger dalam Pradopo (2010:119) bahwa penerangan semiotik itu memandang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: system linguistic) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis, penelitian sastra dalam bentuk semiotik ini peneliti harus menentukan kontras-kontras diantar satuan-satuan yang menghasilkan arti (hubungan hubugan pradigmatik) dan aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama –sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur makna yang lebih luas (hubungan-hubungan sintagmatik). Dikatakan selanjutnya oleh preminger dalam Pradopo (2010:109) bahwa studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda. Oleh karena itu peneliti harus bisa menentukan konvensi-konvensi tambahan apa yang memungkinkan karya sastra bisa mempunyai makna yang lebih luas.
Karya satra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam genre puisi khususnya, ,mempunyai ragam: puisi lirik, syair, pantun, sonata, balada, dan sebagainya. Seperti contohnya , seperti genre puisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperi kosa kata, bahasa kiasan , diantaranya personifikasi, simile, metafora, dan metomini. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra. Diantara konvensi-konvensi kebahasaan yang meliputi:bahasa kiasan, saran retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Disamping itu ada konvensi ambiguitas. Kontradiksi dan nonsense. Adapula konvensi visual tersebut diantaranya baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipografi, dan homoloque. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut dalam linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai dan menciptakan arti.
Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pemahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks.Sebagi sebuah teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dapat kita tarik dari per-wujudan teks itu sendiri; pilihan katannya, Rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhubugan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan bekaitan dengan pemikiran dan ekspresi yang ditawarkan; makna semantik berkaitan dengan kedalaman makna setiap kata dan acuan-acuan yang disarankannya. Adapun makna eksplisit berkaitan dengan interpretasi dan makna yang menyertai dibelakang puisi yang bersangkutan.
Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis terhadapnya, langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin dapat membantu pembaca menyelam kedalam dunia puisi yang bersangkutan dan muncul kembali dengan membawa pemahaman tekstualnya. Pemahaman tekstual atau makna teks tersurat dapat dilakukan melalui dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah-langkah apresiasi puisi, perlu kiranya kita memahami dahulu pengetian apresiasi pusi itu sendiri dan pengetahuan tentang puisi, maka dirasa perlu untuk memahami suatu teori puisi yang tepat untuk menganalisis sebuah teks puisi yang begitu kaya akan tanda, dan dapat dipecahkan melalui semiotik.
3. Tanda: Penanda dan Petanda
Wardoyo (2005:1) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya adalah bagaimana tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi sebuah tanda, terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam semiotik, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan makna.
Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai peranan penting dalam mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure dalam Pilliang (2003:90) menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya, kata ‘ayah’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti ‘orang tua laki-laki’.
Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004:90).
Sementara itu, seorang tokoh semiotik lain, Charles Sanders Peirce (1839–1914) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut Peirce, dalam pengertian tanda terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotik yang fundamental. Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena adanya tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda dengan mata rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan konsep pragmatisme.
Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain (qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan penanda + petanda = tanda realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsigns, secondness/overagainstness). Ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai” (legisigns, thirdness/in-betweenness).
C. Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre
Sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting dalam semiotik. Karya sastra merupakan sistem tanda yang bermakna yang mempergunakan medium bahasa. Preminger dalam Pradopo (2010:142) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang sudah mempunyai arti (meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.
Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut.
1. Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2010:124).
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis.
Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
a) Penggantian Arti (displacing of meaning)
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori.
Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.
Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.
b) Penyimpangan Arti (distorting of meaning)
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisi yang bergaya mantra.
c) Penciptaan Arti (creating of meaning)
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Contoh puisi ”Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri.
Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zig-zag. Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara linguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif, yaitu perkawinan itu menimbulkan angin-angan hidup.
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedy (Pradopo, 2005:131).
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap maknadan fenomena yang terkandung dalam Jelita Senandung Hidup .
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010 151). Cakupan teori ini 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2) Persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi, sedangkan menurut Santosa (2004:234) Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2010:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut:
1) Membaca untuk arti biasa.
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
3. Matriks dan Model
Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
4. Hipogram
Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangan atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 2010:132). Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978:2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit. Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Kumpulan Puisi Jelita Senandung Hidup . Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam sajak-sajak itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Jelita Senandung Hidup .