• PERSAUDARAAN

    Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha :Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan.

  • SETIA

    "Suro Diro Joyo Diningrat Lebur Dening Pangastuti" artinya segala kesempurnaan hidup ( Kesaktian, Kepandaian, Kejayaan, dan Kekayaan ) dapat diluluhkan dengan budi pekerti yang luhur.

  • HATI

    "Tega Larane, Ora Tego Patine" artinya bahwa orang SH Terate itu berani untuk menyakiti seseorang namun hanya kalau dengan niat untuk memperbaiki bukan merusak.

  • TERATE

    "IRENGAN" IKU JULUKANKU, ORA BERARTI SESAT ALIRANKU, KAFAN CEKELANKU ORA BERARTI SETAN PANUTANKU, SEDULURAN LANDASANKU BERSUMBER TEKO ATI LAKUKU, KESATRIO TANPO MONTRO, SAKTI TANPO NDADI, MENANG TANPO PAREWANGAN, KUWILAH WONG "IRENGAN" LAN UREP TANPO GABUNGAN, KARENO KITO UREP SECORO SEDULURAN, CAHYO TEJANE "TERATE" SUMBERING SOKO BUDI PEKERTI KANG LUHUR ! SH TERATE TETEP JAYA SELAMANYA ..

MELALUI MEDIA INI AKU CERITAKAN KISAH HIDUP Q TENTANG DUKA LARA, TAWA BAHAGIA, KARENA HANYA DENGAN HURUF-HURUF INILAH AKU BISA JUJUR DENGAN DIRI KU SENDIRI

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive for 2012-11-25

Perbandingan Cerpen Purbawisesa Karya
Muh. Nasrudin Dasuki dengan Cerpen
Bercinta dengan Barby Karya Eka Kurniawan:
dalam Kacamata Feminis Religi


Pengantar
Ada dua hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra bandingan (comparative literature) sebagai sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep sastra bandingan. Dalam banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya, penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda menjadi pusat perhatian yang utama. Jadi, sebuah perbandingan dua karya atau lebih yang berasal dari dua negara, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan.
Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Untuk itu, dalam analisis ini penulis membandingkan dua cerita pendek yaitu Purbawisesa dari Malaysia dengan Bercinta Dengan Barby dari Indonesia. Unsur yang sama pada kedua cerpen tersebut yaitu terdapat pada tema, sama-sama menyagkut tentang feminisme dan religi.feminisme merupakan suatu bentuk teori kritis, yang menggunakan perspektif serta pengalaman perempuan, dan penindasan yang mereka alami, sebagai titik tolak sekaligus fokus analisisnya. Teori kritis sudah selalu mengakui adanya kepentingan di balik setiap klaim kebenaran epistemologis, ataupun adanya kekuasaan di balik seluruh ilmu pengetahuan.Landasan utama dari epistemologi feminis, menurut Germaine Greer, seorang tokoh feminis gelombang kedua, adalah kesadaran bahwa kewajiban utama kaum perempuan bukanlah melulu terhadap suami ataupun anak-anaknya, tetapi terhadap dirinya sendiri. Kaum perempuan, pada hematnya, haruslah membebaskan diri mereka dari diskriminasi yang meluas dan mendalam di dalam struktur maupun cara berpikir masyarakat, serta membebaskan diri dari tindakan sewenang-wenang serta penghinaan yang mereka alami setiap harinya. “Kaum perempuan”, demikian tulisnya, “… harus membebaskan diri mereka dari dominasi laki-laki, membebaskan diri mereka dari stereotipe yang dibentuk oleh lelaki, … yang melihat diri mereka dari citra lelaki,… yang melihat tubuh, seksualitas, intelektualitas, emosi, dan keseluruhan keperempuanan mereka dari perspektif laki-laki”. Bagi banyak pemikir feminis, perjuangan untuk mencapai perlakuan yang setara di samping perbedaan ras, nasionalitas, dan kelas sosial selalu sudah tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh pengakuan. Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh pengakuan dan perlakuan yang setara ini juga disebut sebagai feminisme. Istilah feminisme sudah selalu terkait dengan semua bentuk studi perempuan, yakni sebagai paham yang memperjuangkan persamaan hak dan keadilan bagi wanita, yang sekaligus juga dapat dipahami sebagai sebuah ideologi untuk mencapai perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih adil. Marilyn French memberikan definisi yang lebih sederhana, yakni suatu gagasan, sistem nilai, yang bertolak dari suatu kesadaran akan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Oleh karena itu, agenda utama dari perjuangan gerakan feminis adalah rekonstruksi peran laki-laki serta rekonstruksi peran perempuan di dalam dunia sosial.

Cerpen Purbawisesa Karya Muh. Nasruddin Dasuki
Cerpen yang diterbitkan di Malasya oleh Dewan Satera, tahun 1990 ini sungguh menarik karena tema yang diangkat tidak hanya dari sisi feminisnya saja, namun dari sisi religi juga. Dari ceritanya yang sama menariknya dengan judulnya, kita dapat mengetahui bagaimana perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh pengakuan dan perlakuan yang setara dengan kaum laki-laki.
Tokoh dalam cerpen ini adalah Eleanor, seorang wanita penggoda. Sebenarnya ia tidak berniat untuk menjadi sang penggoda, ia hanya seorang wanita yang sedang mencari kebenaran dari ketidakbenaran yang pernag dirasa dan dialami selama tahap usianya. Eleanor adalah wanita yang bersemangat api, karena di seorang perawan yang tidak mau dianggap lemah. Ia berpendapat bahwa wanita juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Sekedar menjadi penerima saja, itu sifat wanita jaman dulu. Ia menjadi sang penggoda hanya untuk membuktikan bahwa kaum laki-laki seharusnya tidak sewenang-wenang kepada wanita karena jelas-jelas mereka selalu membutuhkan kaum wanita.
Disisi lain, penulis juga ingin menyampaikan sisi religi pada cerpen Purbawisesa ini. ” Bahwa hidup ini perlu ada taufik dan hidayah dari Pencipta. Selama ini dia keliru dengan hukum Allah karena yang baik ada waktunya menerima bencana, sepatutnya yang menerimanya adalah mereka yang berbuat mungkar. ” ( Dewan Satera, 218 ). Eleanor sadar bahwa hidup beragama, berbudaya, dan bermasyarakat harus menerima teguran, tetapi teguran itu menurutnya tidak boleh diterima. Dan ketika ia membaca Surat An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin di atas kaum perempuan. Sekian lama ia mencari tahu siapakah sebenarnya wanita itu, dan pada akhirnya ia mendapat jawaban atas itu lalu ia menyadarinya.

Cerpen Bercinta dengan Barby karya Eka Kurniawan
Cerpen Bercinta dengan Barbie adalah sebuah karya dari penulis bernama Eka Kurniawan yang terdapat dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Gelak Sedih, yang merupakan kumpulan hasil karyanya. Judulnya yang begitu menarik, yaitu Bercinta dengan Barbie, begitu menggugah rasa ingin tahu ceritanya. Dari ceritanya yang sama menariknya dengan judulnya, kita bisa menemukan beberapa faktor yang mencolok mengenai hubungan antara suami dengan istri, laki-laki dan perempuan, pria dan wanita. Meskipun ide utama cerita ini kemungkinan tidak khusus mengarah pada masalah gender, tapi kita masih bisa mendapatkan gambaran tentang keresahan seorang istri, perempuan, wanita, dalam menghadapi suami, atau laki-laki dan pria, dalam melakukan hubungan sosial dengan mereka. Melalui beberapa unsur yang terdapat dalam cerpen Bercinta dengan Barbie ini, saya akan mencoba menganalisanya melalui sudut pandang para feminis.
Dalam cerita pendek ini Barbie tersebut disihir oleh seorang pria agar menjadi seorang manusia biasa, dengan alasan si pria sudah sangat putus asa dengan sosok istrinya yang untuk ukuran kebanyakan laki-laki sangat tidak memuaskan. Kejadian ini banyak ditemukan dalam kehidupan nyata, dimana seorang perempuan diharuskan untuk memiliki tubuh sesensual boneka Barbie dan wajah seayu wajah boneka tersebut, baru mereka bisa memenuhi syarat untuk bisa memuaskan setiap laki-laki. Apabila mereka tidak memenuhi persyaratan itu, maka mereka kemungkinan besar akan ditinggalkan oleh para laki-laki yang menurut cerita dalam cerpen ini akan mencari perempuan lain dengan penampilan serba sempurna seperti Barbie.
Akan tetapi, jika kita melihatnya dari sisi kaum perempuan sendiri, yang ada hanyalah penderitaan untuk memenuhi persyaratan “hidup” seperti itu, bagaimana kaum perempuan haruslah selalu menjadi sosok “dewi yang sempurna” untuk suami atau laki-laki yang mereka cintai. Seperti yang kita tahu, untuk memiliki kesempurnaan Barbie adalah sesuatu yang mustahil, karena si Barbie sendiri tidak akan pernah bertambah tua dan tak akan pernah berubah perawakannya menjadi keriput atau bergelambir. Jika melihat dari sudut pandang kaum feminis, hal ini akan menyebabkan kaum perempuan merasa terasing dari tubuh mereka sendiri, dimana seseorang seharusnya merasa bebas dengan keadaan dirinya, dengan usaha dari dirinya untuk dirinya sendiri, bukan orang lain.
Hubungan antara si pria yang menjadi tokoh utama dalam cerita dan boneka Barbie-nya merupakan unsur penting berikut dalam cerpen Bercinta dengan Barbie. Si pria yang merubah Barbie menjadi seorang manusia pada akhirnya tidak hanya “menggunakan” si boneka untuk kepuasan dirinya sendiri. Pria itu mulai mencari keuntungan dengan membuka rumah pelacuran yang diberi nama Bercinta dengan Barbie, darimana judul cerpen itu diambil.
Sungguh terlihat ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan dan cerita ini. Meskipun dalam cerpen tokoh si pria digambarkan bukan sebagai orang yang “rakus” dan bersedia menerima istrinya asalkan tubuhnya seindah dulu, tetap saja menunjukkan bahwa laki-laki menentukan segalanya, tidak peduli sesusah apapun para wanita mereka berusaha memenuhi standar mereka. Namun pada akhirnya, usaha mereka tetap saja tidak mendapat perhatian para suami itu kembali, karena mereka lebih tertarik pada sosok-sosok perempuan “Barbie”.
Kejadian dalam cerita ini jelas memperlihatkan bahwa apapun usaha yang dilakukan oleh para wanita itu, baik membunuh para Barbie, berusaha keras mengembalikan bentuk tubuh mereka, yang ada hanyalah kekosongan yang kembali mereka rasakan setelah kehilangan Ken-Ken mereka. Pada akhir cerita ini dikatakan apabila si pria mengembalikan semua boneka itu ke wujud asalnya, meskipun dia masih menyimpan Barbie untuk dirinya sendiri. Namun saat anaknya menangis mencari Barbie-nya yang hilang, dengan kejam dia mengganti istrinya ke wujud boneka dan memberikannya pada anaknya, yang langsung membuang muka melihat keburukan boneka baru tersebut. Si pria akhirnya membuang boneka si istri ke tempat sampah dan pergi bersama Barbie-nya.
Dari semua unsur yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa cerpen Bercinta dengan Barbie ini samar-samar menunjukkan perjuangan kaum Hawa untuk mendapat penghargaan di mata para lelaki. Meski di pertengahan sebagian dari kaum perempuan sempat melawan ketika diperlakukan semena-mena, pada akhirnya mereka dibuang juga dalam bungkam seperti sebuah boneka usang.
Namun penulis juga menjelaskan bahwa jika kembali pada ajaran agama, sesungguhnya perempuan diciptakan memang untuk berdampingan dengan kaum laki-laki. Dan wanita yang saleh adalah wanita yang menurut kepada suaminya.inilah hal yang menarik, bahwa kisah yang bertolak belakang dengan bagaimana sebenarnya kodrat seorang wanita.

Perbandingan Cerpen Purbawisesa Dengan Cerpen Bercinta Dengan Barby: dari Kacamata Feminis Religi
Cerpen Purbawisesa dengan cerpen Bercinta Dengan Barby memang sama-sama membicarakan masalah feminisme, dalam hal ini mempermasalahkan tentang gender. Terlihat jelas dari kedua cerpen tersebut mengenai perjuangan seorang perempuan yang ingin diakui bahwa mereka juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki, karena mereka tidak mau dianggap lemah dan diperlakukan semena-mena oleh kaum laki-laki. Pada cerpen Purbawisesa dikisahkan seorang perempuan yang bernama Eleanor yang bersemangat api, yang berpendapat bahwa sebagai perempuan dia juga memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Dan menjadi penerima saja, itu sifat perempuan masa lalu. Ia berfikir bahwa kaum hawa juga pantas menjadi seorang pemimpin, dan sanggup membuat perubahan besar. Namun pada akhirnya pendapatnya itu dikalahkan oleh ajaran agama. Karena pengarang berasal dari Malasya, sehingga sisi religius dalam cerpen tersebut sangat kental.
Sama halnya pada cerpen Bercinta Dengan Barby yang mengisahkan tentang bagaimana dalam kehidupan nyata seorang istri yang sudah tidak bisa memuaskan suaminya bisa dibuang begitu saja dan diganti dengan perempuan yang baru. Sungguh tidak adil, karena si istri sama sekali tidak diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya dan hanya menerima saja ketika dirinya dibuang, persis seperti sesosok boneka yang tidak bisa berkata apa-apa ataupun memprotes saat dirinya dilempar ke tempat sampah, dibuang karena sudah tidak sempurna.
Sebagian dari kaum perempuan itu, dalam kasus ini adalah Barbie yang diubah menjadi manusia, juga menemukan pemberontakkan diri mereka saat diperjual-belikan kepada para lelaki yang berpenampilan sama tidak memuaskannya seperti istri mereka, dan mereka berselingkuh dengan para Ken yang sempurna. Namun pada akhirnya mereka semua dikembalikan menjadi boneka yang tidak bisa memprotes, dan hanya satu yang masih bisa menjadi manusia, yaitu Barbie milik si pria. Dengan kata lain, kalau saja Barbie itu bukanlah “milik” si pria, maka kemungkinan dia tidak akan pernah menjadi “manusia”, dimana makin kuat pendapat mengenai si pria sebagai simbol Patriarki yang mengatur segalanya dalam kehidupan kaum perempuan. Namun sisi religi tidak begitu menonjol pada cerpen tersebut.
Perbedaan budaya dan pemikiran mengenai keyakinan (dalam hal ini adalah agama) antara Malasya dengan Indonesia mempengaruhi isi dari cerita yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dari segi bahasa, cerpen Purbawisesa lebih sulit dipahami karena menggunakan Bahasa Melayu. Dari segi penokohan, cerpen Bercinta Dengan Barby lebih menonjol dan lebih jelas. Unsur pertama yang paling mencolok dalam cerpen “Bercinta dengan Barbie” ini sudah jelas adalah tokoh “Barbie” itu sendiri. Barbie, seperti yang kita ketahui, adalah sosok boneka perempuan yang berwujud baik di mata kaum Adam ataupun Hawa sangat sempurna. Mulai dari rambut sampai ke ujung kaki Barbie merupakan sosok dambaan semua lelaki dan terkadang membuat iri kaum perempuan.
Dari sisi religi, cerpen Purbawisesa lebih menonjol. Hal ini bisa dibuktikan dari kutipan-kutipan berikut :
”...perlu ada taufik dan hidayah dari sang pencipta. Selama ini dia keliru dengan hukum Allah karena yang baik ada waktunya menerima bencana....” (Nasruddin, 1990 : 218)
” sedangkandidalam sebuah kitab, dia membaca seorang abid bernama Barshisha yang sepicing pun tidak melupai penciptanya...” (Nasruddin, 1990:220)
” kaum lelaki adalah pemimpin ke atas kaumperempuan. Lantaran Allah telah melebihkan sebagian dari mereka ( laki-laki ) dengan beberapa keistimewaan atas kaum perempuan dan dari sebab-sebab apa yang mereka nafkahkan dari harta-harta mereka. Maka kaum perempuan yang salihah itu ialah yang taat, yang memelihara hal-hal yangtersembunyi sebagai yang telah dipelihara hal-hal yang tersembunyi sebagai yang telah dipelihara oleh Allah.... ” Surat An-Nisa ayat 34. ( Nasruddin, 1990:228 )

Sedangkan pada cerpen Bercinta dengan Barby, sisi religi tidak begitu menonjol. Karena pengarang lebih membahas masalah feminisnya, namun tidak melupakan kodrat sebagai perempuan.

Simpulan
Kesimpulan dari cerpen Purbawisesa adalah kaum laki-laki adalah pemimpin di atas kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian dari kaum laki-laki dengan keistimewaan. Pendapat inilah yang membuat Eleanor sadar bahwa apa yang ia pikirkan selama ini salah, dan perempuan harus kembali pada kodratnya.
Dari semua unsur yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa cerpen Bercinta dengan Barbie samar-samar menunjukkan perjuangan kaum Hawa untuk mendapat penghargaan di mata para lelaki. Meski di pertengahan sebagian dari kaum perempuan sempat melawan ketika diperlakukan semena-mena, pada akhirnya mereka dibuang juga dalam bungkam seperti sebuah boneka usang.
Dari analisis di depan, dapat disimpulkan bahwa cerpen Purbawisesa dan cerpen Bercinta Dengan Barby sama-sama bertemakan feminis religi, namun cerpen Purbawisesa lebih menonjol dari sisi religi, karena Malasya kuat dengan kultur religiusnya. Sedangkan cerpen Bercinta Dengan Barby menonjol dari sisi feminis.

Daftar Pustaka

Abas, Lutfi. 1994. ”Beberapa Aspek Penting dalam Kesusasteraan Bandingan” dalam Kesusasteraan Bandingan Suatu Disiplin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdullah, Ahmad Kamal. 1994. Kesusastraan Bandingan Sebagai Suatu Disiplin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Awang, Hasyim. 1994. Kesusasteraan Bandingan Sebagai Satu Disiplin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
............ 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Media Pressindo.
Gaither, Mary. 1990. ”Sastera dan Seni”. Penerjemah Fatmah Zainal. Dalam Sastera Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Newton P. Stallknecht dan Horst Frenz (editor). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa danPustaka.
Kurnia, Fabiola Dharmawanti. 2004. ”Unsur Dualistik dalam Wacana Seksual Fiksi Bali: Kajian Intertekstualitas”. Dalam Prasasti, Jurnal Ilmu Sastra dan Seni, Vol. 54, Tahun XIV Agustus 2004 halaman 227-254.
............. 2009. Pelangi Sastra dan Budaya. Surabaya: Unesa University Press.
Lubis, Muhamad Bukhori. 1994. ”Pendekatan Genetik dalam Kesusasteraan Bandingan: Beberapa Pengantar Awal” dalam Pengantar Kesusasteraan Bandingan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Posstrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Remak, Henry H.H. 1990. ”Sastera Bandingan Takrif dan Fungsi” Penerjemah Zhalilah Sharif. Dalam Sastera Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Newton P. Stallknecht dan Horst Frenz (editor). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Saman, Sahlan Mohd. 1994. ”Gejala Pengaruh dalam Disiplin Kesusasteraan Bandingan” dalam Kesusasteraan Bandingan Suatu Disiplin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Zaidan, Abdul Rozak dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.


Afinitas Cerita Penangkapan Raden Soekra
dalam Babad Tanah Jawi dengan Puisi Penangkapan Sukra Karya
Goenawan Muhamad:
Perspektif Sastra Bandingan

Pengantar

Dalam wilayah ilmu sastra, ada empat pemetaan kajian di dalamnya. Keempat kajian tersebut diantaranya teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, dan sastra bandingan. Menurut Wellek dan Warren (1989: 47), kemunculan studi sastra bandingan sebagai disiplin dari studi sastra bisa dikatakan masih relatif baru. Sehingga studi sastra bandingan masih kurang populer dibanding dengan studi sastra yang lain. Meskipun demikian, studi sastra bandingan memiliki afeksi positif kepada para peminatnya. Karena studi sastra bandingan merupakan studi sastra yang interdisipliner yang sangat menarik sekali untuk dikerjakan dan aspek apa saja yang ada diluar studi sastra bisa dipergunakan untuk mengaji sastra bandingan.
Menurut Hosilos (2001: 28) menyatakan bahwa konsep yang digunakan dalam mengaji sastra bandingan itu mengacu pada dua hal. Pertama, sastra bandingan mengaji perbandingan antara karya sastra pengarang satu dengan pengarang lain yang hidup di dua negara yang berbeda. Kedua, sastra bandingan mengaji perbandingan antara karya sastra dengan karya seni yang lain, seperti seni lukis, seni musik, dan seni yang lainnya. Bahkan pada konsep kedua ini, sastra dapat diperbandingkan dengan bidang ilmu dan kepercayaan yang lain atau di luar sastra.
Dalam kajian ini, konsep yang paling tepat digunakan adalah konsep kedua. Karena yang akan diperbandingkan adalah cerita yang ada dalam Babad Tanah Jawi dengan puisi yang ditulis oleh penyair Goenawan Muhamad. Objek sastra bandingan dalam kajian ini adalah cerita Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dan salah satu puisinya Goenawan Muhamad yang berjudul Penangkapan Soekra. Yang mana dalam kajian ini, akan dicari kesamaan antara kedua objek kajian tersebut. Selanjutnya, akan dibandingkan pula antara cerita penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dengan puisinya Goenawan Muhamad tersebut.

Konsep Afinitas dalam Sastra Bandingan
Pada umumnya jika kita melihat praktik sastra bandingan, baik di negara Barat maupun di negara Timur, studi sastra bandingan itu melandaskan diri pada afinitas, tradisi, dan pengaruh ( Hutomo, 1993: 11). Kata afinitas, berasal dari bahasa Latin ad yang artinya dekat dan finis yang berarti batas. Jika dalam ilmu antropologi, afinitas sering dimaknai sebagai hubungankekerabatan. Dalam sastra bandingan pun tidak jauh berbeda. Jadi, afinitas dalam sastra bandingan adalah studi terhadap hubungan kekerabatan teks sastra.
Setiap teks memiliki pertautan erat dengan teks sebelumnya. Karenanya, tugas peneliti sastra bandingan harus mampu menjelaskan hubungan tersebut (Endraswara, 2008: 141-142). Misalnya, pada saat penyair Goenawan Muhamad menulis puisi Dongeng Sebelum Tidur dan Asmaradana, secara tidak langsung, ia menggunakan bahan dari cerita Anglingdarma dan Damarwulan yang berasal dari sastra Jawa lama (perhatikan antologi puisi Goenawan Muhamad yang berjudul Asmaradana, 1992).

Seputar Goenawan Muhamad
Di sebuah dusun kecil yang terletak di pantai utara Pulau Jawa, jauh dari center of exellence kebudayaan mana pun, tepatnya di daerah Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, pada tanggal 29 Juli 1941, lahirlah seorang anak laki-laki yang oleh orang tuanya diberi nama Goenawan Soesetio.
Dengan nama seperti itu kedua orang tuanya berharap kelak anak laki-lakinya menjadi seorang cendekiawan yang selalu setia kepada nusa, bangsa, dan profesinya. Harapan seperti itu tampak jelas dari arti sebuah nama yang melekat pada diri anak laki-laki tersebut. Kata goena dalam bahasa Jawa dapat berarti ilmu pengetahuan, cerdik pandai, dan berguna. Akhiran wan- dapat berarti Tuan, yang memiliki, dan yang berprofesi dalam bidang tertentu. Awalan soe- dalam bahasa Jawa berarti baik atau indah, dan kata setiao artinya setia, patuh dan taat, teguh hati, dan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Jadi, nama Goenawan Soesetio berarti Cendekiawan yang baik dan tetap teguh pada pendiriannya. Harapan kedua orang tua yang melahirkan anak lelaki itu tidak begitu meleset. Di kemudian hari, anak lelaki yang lebih dikenal dengan nama Goenawan Mohamad itu menjadi seorang penyair cendekia yang piawai menulis pasemon, wartawan yang terampil membuat catatan pinggir, esais yang tajam dan kaya referensi, serta budayawan yang teguh pendirian dan mumpuni di bidangnya. Meskipun dirinya bukan seorang guru besar sebuah perguruan tinggi dengan sederet gelar akademik, sajak-sajak dan esai-esai Goenawan menjadi pergulatan akademik banyak guru besar di perguruan tinggi seperti Prof. Dr. A. Teeuw dari Universitas Leiden Negeri Belanda dan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono dari Universitas Indonesia.
Pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah Goenawan dihabiskan di kota-kota kecil di Jawa Tengah, seperti Parakan, Wonosobo, dan Pekalongan hingga akhir tahun 1959. Penggemblengan pendidikan sekolah dasar dan menengah di kota-kota kecil seperti itu dianggap oleh Goenawan sebagai masa penggodokan di kawah candradimuka. Berkat penggemblengan di kawah candradimuka itulah ia tidak akan melupakan akar tradisi budayanya, kebudayaan Jawa, meskipun diterpa badai modernisasi kebudayaan Barat. Ketika masa seperti itulah Goenawan dalam kehidupan sehari-harinya berpikir dan berbicara (juga berteriak, bergembira, mengaduh, pendeknya (bertingkahlaku dan bertacara) dengan sebuah bahasa lokal, bahasa Jawa dialek daerah setempat.
Namun, bahasa lokal itu kemudian dibungkam dengan bahasa Jawa lain yang datang dari Timur (Surakarta), yakni bahasa yang dipakai di kalangan priyayi dan orang-orang terdidik di sekolah-sekolah yang diatur negara. Tidak mengheran apabila di kemudian hari Goenawan menulis sajak yang mengacu kebudayaan Jawa yang datang dari Surakarta tersebut. Sajak Pariksit yang ditulis pada tahun 1960-an dan sekaligus menjadi label kumpulan sajak yang pertama (1971) merupakan pasemonnya terhadap kekuasaan budaya Jawa seperti itu.
Demikian halnya dalam sajaknya Asmaradana, Gatoloco, dan Penangkapan Sukra merupakan bentuk pasemon-pasemon Goenawan terhadap kekuasaan budaya Jawa yang membungkam kebudayaan lokalnya. Secara sosial Goenawan memang takluk terhadap kekuasaan budaya Jawa yang adiluhung.
Namun, dikemudian hari ia menumbuhkan suatu ilusi, seolah-olah dengan itu ia mengikuti suatu upacara untuk menjadi diri sendiri. Setamatnya dari sekolah menengah di Jawa Tengah, Goenawan pergi ke Jakarta untuk melanjutkan studinya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Di sini Goenawan berkenalan dengan sesama mahasiswa Psikologi, yaitu Soe Hok Djin yang kemudian dikenal dengan nama Arief Budiman dan Salim Said. Ketika menjadi mahasiswa itulah Goenawan mulai aktif menulis sajak, esai, dan cerita pendek di berbagai majalah dan surat kabar, baik yang terbit di ibukota maupun di daerah, antara lain Sastra, Waktu, Harian Abadi, Indonesia, Gema Islam, dan Basis.
Dari sinilah kemudian Goenawan dapat berkenalan dengan sekelompok budayawan intelektual, seperti H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Iwan Simatupang, D.S. Moeljanto, Taufik Ismail, Bokor Hutasuhut, Hartoyo Andangjaya, dan lain sebagainya. Bersama merekalah diantaranya pada Agustus tahun 1963 Goenawan Mohamad ikut menyusun dan mengumumkan Manifes Kebudayaan. Delapan bulan kemudian, 8 Mei 1964 pagi, sebuah berita terdengar dari radio Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan karena dianggap melemahkan revolusi. Kejadian itu sangat menyentakkan hati Goenawan dan kawan-kawannya yang ikut mengumumkan Manifes Kebudayaan. Setelah Manifes Kebudayaan dilarang dan dinyatakan kontra revolusi, Goenawan dan kawan-kawannya dilarang pula menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Untuk menghindarkan hal itu semuanya, ia dan kawan-kawannya kemudian menggunakan nama samaran ketika harus menulis sajak tentang alam sekalipun. Goenawan menggunakan nama samaran Sutisna Adji. Lama-kelamaan Goenawan tidak tahan dengan situasi semacam itu. Sebelum pecah pemberontakan G30S/PKI, Goenawan melanjutkan studinya ke luar negeri, yaitu di College d'Europe, Brugge, Belgia (1965/1966) dan Universitas Oslo, Norvegia (1966).
Sekembalinya dari Eropa, 1966, keadaan di tanah air sudah relatif aman, Goenawan Mohamad mulai terjun ke dunia jurnalistik. Mula-mula ia bergabung dengan Harian Kami untuk menjadi wartawan (1966--1970). Ketika menjadi wartawan Harian Kami itulah Goenawan berkesempatan mengunjungi tahan politik di Pulau Buru (1969) dan bertemu dengan Pramudya Ananta Toer. Kunjungannya ke Pulau Buru itu kemudian menghasilkan esainya yang bertajuk Suatu Hari dalam Kehidupan Pramudya Ananta Toer yang dimuat dalam Budaya Jaya, dan sajaknya Rekes yang dimuat dalam kumpulan sajaknya Interlude (1973). Selain menjadi wartawan Harian Kami, Goenawan juga menggantikan D.S. Moeljanto menjadi redaktur majalah sastra Horison (1967--1972). Setelah Goenawan sibuk di berbagai kegiatan jurnalistik, ia tetap membantu majalah sastra Horison, sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun majalah tersebut (1972--1993).
Nama Goenawan Mohamad dipakai pertama kali ketika menulis sajak terjemahan dari karya Emily Dickinson dan Guillaume Appolinaire pada tahun 1958. Pada usia 17 tahun Goenwan sudah terampil menulis sajak. Dalam usia yang masih relatif muda, Goenawan telah memenangkan hadiah pertama penulisan esai di majalah Sastra (1962) dengan esainya berjudul Alam Tangkapan Pertama Puisi dan Agama dalam Penciptaan Seni. Setahun kemudian Goenawan juga berhasil memenangkan hadiah pertama penulisan esai majalah Sastra (1963) dengan esainya berjudul Revolusi Sebagai Kesusastraan dan Kesusastraan Sebagai Revolusi dan Seribu Slogan dan Sebuah Puisi. Pada tahun 1968 Goenawan bersama Arief Budiman mencetuskan gagasan kritik sastra dengan metode Ganzheit. Satu tahun kemudian, esai Goenawan Mohamad yang dimuat dalam majalah Horison yang berjudul Seks, Sastra, Kita mendapat penghargaan dari majalah tersebut pada tahun 1969.
Dunia jurnalistik telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari pribadi Goenawan Mohamad. Setelah Harian Kami bubar, Goenawan mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi majalah Tempo (1971-1994, dan 1998-kini), majalah Zaman (1979-1985), majalah Swasembada (1985), dan redaksi majalah kebudayaan Kalam (1993-kini). Selain itu, Goenawan pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), anggota Badan Sensor Film (1967-1972), dan anggota MPR RI (1987-1993). Ketika menjadi anggota MPR itu Goenawan mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat (1989-1990). Semasa reformasi bergulir, ia ikut mendirikan MARA (Majelis Amanat Rakyat) yang menjadi cikal bakal PAN (Partai Amanat Nasional) bersama Amien Rais dan kawan-kawannya.
Hadiah Anugerah Seni dari Pemerintah RI diperoleh Goenawan pada tahun 1972. Satu tahun kemudian (1973), Goenawan mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Pada kesempatan itu ia bertemu dengan penyair dari Amerika Serikat, Robert Lowell dan Allen Ginsberg, serta Gunter Grass dari Republik Federasi Jerman. Hadiah Sastra Asean dari Bangkok ia peroleh pada tahun 1981. Sedangkan Hadiah Sastra A. Teeuw ia peroleh pada tahun 1992. Satu-satunya penyair Indonesia yang mendapatkan hadiah sastra dari Prof. Dr. A. Teeuw dari negeri Belanda hanya Goenawan Mohamad yang piawai menulis pasemon. Beberapa sajak Goenawan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, antara lain dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda. Sudah empat buku kumpulan puisi yang dihasilkan Goenawan Mohamad, yaitu Pariksit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Kumpulan esai Goenawan yang telah diterbitkan menjadi buku juga cukup banyak, antara lain Potret Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Catatan Pinggir 1, 2, 3 (1982, 1989, 1991, versi bahasa Inggris diterbitkan di Australia, 1994), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), dan terjemahan bersama Ali Audah dan Taufik Ismail dari karya M. Iqbal berjudul Penilaian Kembali Pemikiran Agama dalam Islam (1966).

Seputar Babad Tanah Jawi
Menurut Rockhyatmo (dalam Damono, 2004: xi), babad adalah cerita rekaan yang berdasarkan peristiwa sejarah. Istilah ini juga dipakai dalam makna yang sama dalam kesusastraan berbahasa Sunda, Bali, Lombok, dan Madura. Babad merupakan salah satu genre di antara sekian banyak karya sastra Jawa yang mengisahkan cerita sejarah. Kata babad memiliki arti menebas dan merambah hutan, semak dan belukar. Itulah sebabnya kemudian babad berkaitan dengan pembukaan tanah atau pembabadan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan permukiman. Apabila daerah itu berkembang menjadi pusat permukiman yang lebih luas dengan segala sarana dan prasarana, akan terbentuk suatu garis silsilah dari penguasa lahan itu secara turun-temurun.
Beberapa pakar sastra dan sejarah telah memberikan definisi babad. Menurut Hinzler (dalam Damono dkk, 2004: xi), misalnya, babad berarti garis hubung atau jaringan yang mengikat suatu kerabat dan keturunannya dengan latar belakang sejarah. Taufik Abdullah (dalam Damono dkk, 2004: xi) menyebut babad sebagai sejarah lokal, yang mengandung pengertian kisah kelampauan dari suatu masyarakat di wilayah geografi yang bertaraf lokal. Sasarannya adalah asal-usul, pertumbuhan, dan perkembangan kelompok masyarakat setempat.
Penulisan babad dilakukan di lingkungan keraton, dengan materi yang bersumber dari catatan-catatan kejadian di sekitarnya, terutama di kalangan keraton yang berpusat pada raja selaku penguasa daerah itu. Pada skala yang lebih kecil, babad ditulis di lingkungan kabupaten atau kalangan bangsawan, mengisahkan kejadian-kejadian di lingkungan daerah itu atau penguasa dan keturunannya (Damono dkk, 2004: xii).
Fungsi penulisan babad sebagai sastra puja adalah untuk memuliakan raja, kebesaran raja, penguasa dan dinasti yang memerintah, juga untuk menambah sakti raja sebagai upaya penulis untuk memberikan identitas pada tokohnya. Kebenaran atau kebesaran raja atau penguasa senantiasa ditampilkan agar dikagumi rakyat. Untuk mengukuhkan legitimasinya, raja dikatakan sebagai keturunan makhluk supranatural. Pada penulisan lain raja dikatakan memiliki wahyu kerajaan. Sebagai makhluk istimewa dari badannya terpancar cahaya menyilaukan.
Penulis babad adalah punggawa raja atau pujangga kerajaan. Tugasnya menyusun riwayat dan kejadian di dalam keraton. Sebagai pujangga yang memiliki wahyu kepujanggaan ia melaksanakan pekerjaan sakral. Ia menempati kedudukan penting di dalam keraton. Pekerjaan sakral yang dilakukan penulis babad memberikan daya kekuatan yang menambah kebesaran raja.dengan kemampuan yang dimilikinya, penulis babad menyoroti peristiwa masa lampau, guna mengetahui peristiwa yang pernah terjadi atau yang dianggap pernah terjadi, untuk kemudian diendapkan, diolah, dituangkan kedalam karyanya. Karena kedudukannya sebagai pegawai kerajaan, kebebasannya terbatas. Raja mengarahkan penulisan babad sesuai dengan keinginannya dengan tujuan memuliakan dan menjunjung kewibawaannya. Penulisan babad terikat pada etika yang berlaku, penguasaan bahasa, dan pola penulisan yang tidak membedakan antara fiksi dan fakta, yang diwujudkan dalam bentuk narasi.
Salah satu di antara karya sastra yang tergolong babad adalah Babad Tanah Jawi. Kitab ini adalah ciptaan Mataram, mengetengahkan silsilah raja-raja Mataram dan ketrurunanya hingga masa Kartasura dan awal Surakarta. Silsilah dan sejarah asal-usul Raja Mataram seperti yang kita jumpai di dalamnya sesungguhnya adalah karya cipta pelaksana magi sastra.
Secara keseluruhan, babad ini menjelaskan sejarah Jawa, diawali dengan genealogi dari Nabi Adam dan keturunannya, dilengkapi dengan silsilah dewa-dewa dan tokoh-tokoh dalam Mahabrata. Kisah ini berlanjut ke tokoh cerita Panji dari masa Kediri menyambung ke Pajajaran, berangkai dengan tokoh pendiri dinasti Majapahit, menyambung ke dinasti Demak. Dari Demak kisah berlanjut ke Pajang, Mataram, dan diakhiri dengan dinasti penguasa Kartasura. Babad Tanah Jawi disebut sebagai Babad Besar, Babad Induk, atau Babad Major sebab merupakan induk segala kitab-kitab babad Jawa. Menurut Djajadiningrat (dalam Damono dkk, 2004: xv), penyusunan rangkain kitab yang disebut Babad Tanah Jawi dimulai selambat-lambatnya tahun 1625.

Afinitas Cerita Penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dengan Puisi Penangkapan Sukra Karya Goenawan Muhamad
1. Penangkapan Sukra versi Goenawan Muhamad

Puisi Penangkapan Sukra ini ditulis pada tahun 1979 oleh Goenawan Muhamad. Puisi ini juga diangkat kembali oleh Goenawan Muhamad ke dalam antologi puisinya yang diberi judul Asmaradana yang diterbitkan pada tahun 1992. Agar lebih jelas, berikut ini merupakan salinan teks dari puisi Goenawan Muhamad yang berjudul Penangkapan Sukra:

Penangkapan Sukra
– Variasi atas Babad Tanah Jawi
Namaku Sukra, lahir di Kartasura, 17…, di sebuah pagi
Selasa Manis, ketika bulan telah berguling ke balik gunung.
Waktu itu, kata orang, anjing-anjing hutan menyalak panjang,
tinggi, dan seorang abdi berkata, “Ada juga lolong serigala
ketika Kurawa dilahirkan.”
Bapakku, bangsawan perkasa itu, jadi pucat.
Ia seolah menyaksikan bayang-bayang semua pohon berangkat
Pergi, tak akan kembali.
Pada umurku yang ke-21, aku ditangkap.
Debu kembali ke tanah
Jejak sembunyi ke tanah
Sukra diseret ke sana
Seluruh Kartasura tak bersuara
Sang bapak menangis kepada angin
Perempuan kepada cermin
“Raden, raden yang bagus,
pelupukku akan hangus!”
Apa soalnya? Kenapa aku mereka tangkap tiba-tiba?
Para prajurit itu diam, ketika mataku mereka tutup.
Kuda-kuda bergerak. Aku coba rasakan arah dan jarak. Tentu
saja tak berguna.
Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan itu.
Sampai akhirnya iringan berhenti.
Tempat itu sepi.
“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”
“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya sendiri.”
Ada ruang yang tak kulihat.
Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.
Kemudian mataku merkea buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.
Aku pun tahu, setelah itu
tentang nasibku. Malam itu Pangeran, Putera Mahkota
telah menghunus kehendaknya.
Siapakah yang berkhianat
Kelam atau kesumat?
Kenapa nasib tujuh sembilu
Menghadang anak itu
“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”
(Suara-suara senjata berdetak ke lantai)
“Tidak, Gusti.”
“Kausangka kau pemberani?”
Aku tak berani. Mata Putera Mahkota itu tak begitu nampak,
tapi dari pipinya yang tembam kurasakan geram saling mengetam,
mengirim getarnya lewat bayang-bayang.
Suara itu juga seperti melayang-layang.
“Kau menantangku.”
Kuku kuda terdengar bergeser pada batu.
“Kau menghinaku, kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan
aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan
kerajaanku. Jawablah, Sukra.”
Malam hanya dinding
Berbayang-bayang lembing.
“Hamba tidak tahu, Gusti.”
Bulan lumpuh ke bumi
Sebelum parak pagi.
“Pukuli dia, di sini!”
Duh, dusta yang merah
Kau ingin cicipi asin darah
“Masukkan semut ke dalam matanya!”
Seluruh Kartasura tak bersuara
1979

Puisi karya Goenawan Muhamad ini bercerita tantang penangkapan Sukra oleh para prajurit. Sukra adalah putera seorang bangsawan yang ada di Kertasura. Sukra dilahirkan di Kertasura pada pagi hari. Pada saat usia Sukra menginjak 21 tahun, Sukra ditangkap oleh prajurit. Bahkan Sukra juga sempat di seret oleh para prajurit yang menangkapnya itu. Mata Sukra ditutup oleh prajurit-prajurit itu. Sukra bertanya-tanya mengapa matanya ditutup dan dirinya ditangkap. Ternyata orang yang menyuruh prajurit-prajurit untuk menangkap Sukra itu iri dengan ketampanan dan karisma yang dimiliki oleh Sukra. Sukra dipukuli dan mata Sukra dimasuki semut. Akhirnya kedua mata Sukra menangis darah.

2. Penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi
Raden Soekra adalah putra Raden Arya Sindureja. Setelah dewasa, wajahnya sangat tampan dan menjadi punyaan banyak gadisdan menjadi kembang kerajaan. Ia lincah, pemberani, bijaksana, dan piawai dalam sastra. Ia terus-menerus membuat para gadis cantik kasmaran. Meski sesama pria, mereka juga suka memandang wajahnya yang tampan.
Pada suatu hari Pangeran melihat Raden Soekra yang naik kuda berlari ke sana ke mari ditengah barisan, Kanjeng Pangeran terkejut dan memandang tajam. Panas hatinya menyaksikan Raden Soekra. Ia bertanya keras pada abdinya, “Siapa penunggang kuda itu yang menyelusup di tengah barisan”. Patih Soda menyembah dan menjawab, “Ia Raden Soekra anak Raden Sindureja”. Pangeran berkata keras karena hatinya panas, “panggillah dia segera!”.
Pangeran Dipati segera pulang dan duduk di atas pagar bata di Kadipaten. Semua abdi berkumpul. Ki Sutipon, Sutama, Kontolbelang, Sutakitung, Wirakabluk, Jagadngampar, Bajobarat, Kartiponcol, Secalutik ada di hadapannya. Saat itu Raden Soekra sudah datang. Ia duduk menunduk di hadapan Kanjeng Pangeran Adipati. Pangeran Adipati memandang Raden Soekra dengan hati panas. Raden Soekra tidak bersalah apa-apa, tetapi Pangeran tidak senang pada ketampanannya. Abdinya sudah dikedipi untuk menangkap Raden Soekra. Raden Soekra diikat. Pangeran Berteriak lantang kepada Raden Soekra untuk tidak berisik. Raden Soekra dikatakan terlalu angkuh, naik kuda berputar-putar di tengah orang banyak.
Raden Soekra disakiti, kepalanya dipukuli, matanya dijejali semut. Raden Soekra mengaduh tak berdosa dan meminta untuk tidak dianiaya. Matanya diberi semut lagi sehingga Raden Soekra menangis tertelungkup di tanah. Setelah memukulnya, Pangeran lalu pergi. Raden Soekra bergulingan di tanah. Punakawannya datang dan menggendongnya. Dua matanya terpejam berair mata darah. Setiba di Pasar Gede orang-orang Raden Soekra berlarian menjemput dengan tandu. Yang menyaksikan Raden Soekra di atas tandu merasa kasihan.
Setiba di Kasindurejan, Raden Arya Sindureja melihat putranya dan sudah diberi tahu masalahnya. Seketika Raden Patih lupa pada gustinya. Sinar matanya merah, dadanya juga memerah. Kanjeng Pangeran menganiaya abdi, orang yang tak berdosa. Istrinya berusaha menenagkannya sambil terus dipegangi. Akhirnya Raden Sindureja menjadi tenang dan menerima nasib yang menimpanya. Ia amat kasihan kepada putranya. Raden Soekra berkata kepada ayahnya, “Hamba pamit mati. Hamba akan mengamuk di Kadipaten malam hari. Hamba akan berenang di antara tombak, berpegangan pada pedang”.
Diceritakan bahwa Raden Soekra mengasuh tujuh puluh orang Bugis selain yang diasuh oleh ayahandanya. Raden Arya Sindureja berkata kepada putranya, “aduhai putraku, nyawaku, perangilah hawa nafsumu. Sadarilah sebagai kawula, jika mampu, maka segala hendak Paduka harus dijalani, asal jangan samnpai mati. Meski mati pun bila seimbang dengan dosanya, sudah menjadi kewajiban kawula, ia tidak dapat memilih mati”. Raden Soekra tampak takut kepada ayahandanya tetapi di dalam hati ia membayangkan bertanding dengan Pangeran Adipati”.

3. Bentuk Afinitas dalam cerita Penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi dengan Puisi Penangkapan Sukra Karya Goenawan Muhamad
Kalau diperhatikan dengan cermat antara puisi Penangkapan Sukra dalam puisinya Goenawan Muhamad dengan cerita penangkapan Raden Soekra dalam Babad Tanah Jawi jelas sekali memiliki banyak kesamaan cerita. Aku lirik dalam puisi Penangkapan Sukra karya Goenawan Muhamad ini, merujuk kepada tokoh Sukra yang tampan, yang bisa menarik simpati dan perhatian para perempuan, dan yang tersiksa karena di aniaya. Untuk mengambarkan tokoh Raden Arya Sindureja (ayah dari Sukra), Goenawan Muhamad dalam puisinya ini memakai bangsawan perkasa. Sedangkan untuk mengambarkan orang yang menyuruh prajurit menculik Sukra, Goenawan Muhamad memakai kata Gusti.
Cerita yang diangkat dalam puisinya Goenawan Muhamad ini, juga sama dengan cerita penangkapan Raden Soekra yang ada dalam Babad Tanah Jawi. Kesamaan-kesamaan itu diantaranya : (1) Raden Sukra itu orang Kertasura; (2) Sukra ditangkap dengan ditutup matanya; (3) Sukra bertanya-tanya kenapa dirinya ditangkap oleh prajurit-prajurit itu; (4) ternyata prajurit-prajurit yang mau menyulik Sukra ada yang menyuruh; (5) orang yang menyuruh menangkap Raden Sukra itu iri dengan ketampanan yang di miliki oleh Sukra; (6) Saat ditangkap, Raden Sukra dipukuli; dan (7) mata Raden Sukra itu dimasuki dengan semut sehingga Raden Sukra merasa sangat kesakitan.
Jadi, secara tidak langsung ternyata bisa dikatakan bahwa Goenawan Muhamad dalam menulis puisinya yang berjudul Penangkapan Sukra itu, mengambil inspirasi dari cerita yang ada di Babad Tanah Jawi. Dan yang menjadi hipogram dalam kajian ini adalah cerita penangkapan Sukra dari Babad Tanah Jawi.

Simpulan
Dari apa yang sudah dijelaskan di atas bisa di tarik benang merah bahwa yang menjadi hipogram atau induk dari cerita penangkapan Raden Soekra ini adalah dari cerita yang ada di Babad Tanah Jawi. Sedangkan Goenawan Muhamad hanya mengambil inspirasi saja dari cerita di Babad Tanah Jawi itu. Dari inspirasi tersebut sehingga menghasilkan puisi yang berjudul Penangkapan Sukra.

Wringinanom, 20 April 2010

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko dan Sonya Sondakh (Penyunting). 2004. Babad Tanah Jawi: Buku 1 sampai 6. Jakarta: Amanah Lontar.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
................. . 2009. Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Hastuti, Sri. 1986. Ringkasan Sejarah Sastra Indonesia Modern. Klaten: PT Intan Pariwara.
Hosillos, Lucia V. 2001. Sfera Konsentrik dalam Kesusastraan Bandingan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Kurnia, Fabiola Dharmawanti. 2010. Pelangi Sastra dan Budaya. Surabaya: Unesa Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya: Lentera cendekia.
Trisman, B., Sulistiati, dan Marthalena. 2002. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Buku Wajib:
1. Kitab Babad Tanah Jawi yang Anonim, berbahasa Jawa dan masih memakai ejaan lama.
2. Puisi Goenawan Muhamad yang berjudul Penangkapan Sukra dalam antologi puisinya Asmaradana




Pengaruh Puisi The Young Dead Soldiers Karya Archibald Macleish dengan Kerawang Bekasi
Karya Chairil Anwar: Kajian Sastra Bandingan


Berikut ini adalah puisinya Archibald Macleish!

THE YOUNG DEAD SOLDIERS

The young dead soldiers do not speak
Nevertheless they are heard in the still houses.
( who has not heard them? )
They have a silience that speaks for them at night
And when the clock counts
They say,
We were young, we have died, remember us.
They say,
We have done what we could
But until it is finished it is not done
They say,
We have give our lives
But until it is finished no one know what our lives gave.
They say
Our death are not ours
They are yours,
They will mean what you make them
They say
Whether our lives and our deaths were for peace and new
hope
Or for nothing.
we cannot say, it is you who must say this.
They say,
We leave your our deaths.
Give them their meaning.
Give them an and to the war and a true peace.
Give them a victory that ends the war and a peace after words.
Give their meaning.
We were young, they say,
We have died
Remember us.
ARCHIBALD MACLEISH

Berikut ini adalah terjemahan kedalam bahasa Indonesia puisi The Young Dead Soldiers:

PRAJURIT MUDA YANG TELAH MATI

Prajurit-prajurit muda yang telah mati tidak berbicara
Namun mereka masih terdengar dalam rumah yang damai
( siapa yang telah tidak mendengarkan mereka? )
Mereka punya perkataan bisu untuk mereka dalam malam
Dan ketika jam berdering
Mereka berkata,
Kami masih muda, kami telah mati, ingatlah kami.
Mereka berkata,
Kami telah melakukan apa yang kami bisa
Tetapi sampai itu berahir itu belum selesai
Mereka berkata,
Kami telah berikan hidup kami.
Tetapi sampai itu berahir tak seorangpun bisa tahu apa yang kehidupan kami berikan.
Mereka berkata,
Kematian kami bukan milik kami
Itu milikmu.
Itu akan berarti apa kamu membuat mereka
Mereka berkata,
Baik kehidupan dan kematian kami untuk perdamaian dan sebuah harapan baru

Atau tidak untuk apapun
Kami tidak dapat berkata, itu kamu yang harus berkata ini
Mereka berkata,
Beri mereka keinginan mereka,
Beri mereka sebuah ahir peperangan, perdamaian yang sesungguhnya
Beri mereka sebuah kemenangan dalam ahir peperangan, perdamaian yang abadi.
Beri merka keinginan mereka.
Kami masih muda, mereka berkata,
Kami telah mati
Ingatlah kami.
ARCHIBALD MACLEISH

Berikut ini adalah puisinya Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi:
Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar

Chairil Anwar adalah tokoh atau penyair yang unik dalam sejarah sastra kita, ia dianggap sebagai pelopor suatu pembaharuan sastra sekaligus dituduh sebagai penyair yang suka mencuri karya penyair asing ( Damono, 2005: 31). Tapi pada analisis ini, tidak dibahas tentang curi-mencuri karya penyair asing, tapi disini akan membahas tentang pengaruh puisi Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi dengan puisinya Archibald Macleish yang berjudul The Young Dead Soldiers.
Yang mana puisi dari Archibald Macleish itu kami terjemahkan dengan Prajurit muda yang telah mati. Pengaruh yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah menentukan adanya persamaan dan juga perbedaan pada kedua puisi tersebut yaitu puisi yang berjudul Kerawang-Bekasi dengan puisi yang berjudul The Young Dead Soldiers. Pada puisinya Archibald Macleish yang berjudul The Young Dead Soldiers ini mengisahkan seorang prajurit muda yang gugur di dalam peperangan, dan mereka gugur untuk bisa selalu diingat oleh banyak orang, karena mereka gugur bukan untuk dirinya sendiri tetapi mereka gugur untuk membela dan memperjuangkan tanah air yang sekarang di tempati oleh orang-orang tersebut.
Hal ini bisa di katakan sama dengan puisinya Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi, bahkan bait-bait yang terdapat dalam kedua puisi ini memunyai adanya kemiripan. Berikut ini akan dijelaskan tentang beberapa perbandingan antara kedua puisi tersebut yaitu puisinya Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi dengan puisinya Archibald Macleish yang berjudul The Young Dead Soldiers:

Kerawang-Bekasi The Young Dead Soldiers
Kami yang kini terbentang antara Kerawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. The young dead Soldiers do not speak
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami. Neverthelles they are heard in the still houses.
( Who has not heard them
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak They have a sillince that speaks for them at night
And when the clock counts
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami They say,
We were young. We have died. Remember us.
Kami sudah coba apa yang kami bias They say,
We have done what we could
But until is finished it is not done.
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa They say,
We have given our lives
But until it is finished no one can know what our lives gave.
Kami Cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan
nilai tulang-tulang berserakan They say,
Our deaths are not ours
They are yours,
they will mean
What you make them
Atau jiwa kami melayang untuk
kemerdekaan kemenangan dan
harapan atau tidak untuk apa-apa
kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

kaulah sekarang yang berkata They say,
whether our lives and our deaths were for peace and a new hope
or for nothing we cannot say : it is you who must say this.
Kami bicara padamu dalam
Hening dimalam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam
Dinding yang berdetak

Karena kemenangan kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus digaris batas
Pernyataan dan impian They say,
we leave you or deaths,
Give them their meaning,
Give them an end to the was and a true peace ,
Give then a victory the ends the
war and a peace afterwards,
Give them their meaning.

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
We were young, they say,
We have died,
Remenber us.
Beribu kami terbaring antara
Krawang-bekasi
Chairil Anwar (1948) Archibald Macleish (1941)

Jadi setelah kita bandingkan kedua puisi itu secara cermat, tampak jelas bahwa sebenarnya Chairil Anwar telah menciptakan sesuatu yang baru dalam puisinya itu dengan meminjam dan sekaligus diilhami oleh beberapa larik pada puisinya Archibald Macleish. Puisi Archibald Macleish mengandung nilai-nilai yang bisa diterima di mana saja, para prajurit muda yang telah mati dalam puisi yang berjudul The Young Dead Soldiers. Itu tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Mereka bukan prajurit yang merebut kekuasaan dari bangsa lain, mereka juga tidak menyebut-nyebut musuh. Mereka itu mungkin saja prajurit Jepang, Amerika, Italia, Jerman, atau Australia yang meninggal dalam sebuah perang entah kapan atau di mana. Sebaliknya dalam puisinya Chairil Anwar yang berjudul Krawang-Bekasi jelas terikat oleh tempat yakni karawang-bekasi. Dan tentunya juga terikat oleh waktu yakni jaman perjuangan fisik. Para perjurit yang mati dalam Karawang-Bekasi jelas mempunyai musuh yakni penjajah dalam arti perjuangan mereka jelas yakni merebut kemerdekaan.
Dengan demikian puisi ini tidak mengandung nilai-nilai yang dengan mudah bisa diterima di mana dan kapan saja. Dengan kata lain puisi ini terikat pada yang namanya sejarah. Selain itu nada yang tersirat dalam puisinya Chairil Anwar yang berjudul Karawang-Bekasi jelas berbeda dengan puisinya Archibald Macleish yang berjudul The Young Dead Soldiers. Puisi Chairil Anwar mengobarkan semangat perjuangan, sedangkan puisinya Archibald Macleish itu memimpikan yang namanya perdamaian. Para penyair Indonesia itu boleh dikatakan telah mempengarui puisi yang sudah diterjemakannya.Terjemahan sebenarnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap karya sastra milik bangsa lain di zaman tertentu pula (Damono,2005:37).
Pada puisi Kerawang-Bekasi bisa dianggap seperti tafsir bangsa Indonesia pada zaman perjuangan fisik terhadap puisinya Archibald Macleish yang berjudul The Young Dead Soldiers tentang adanya Perang Dunia II. Jadi dengan “mengubah dirinya” karya sastra bisa menembus yang namanya ruang dan waktu.
Jadi sangat sering terjadi, pembaca tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk berhubungan langsung dengan karya sastra yang berasal dari zaman atau negeri lain. Jadi bila demikian halnya maka kita tidak perlu gegabah memandang rendah seorang penyair yang terpengaruh oleh penyair lainnya. Lebih-lebih pada masalah adanya pengaruh kemiripan antara puisinya Chairil Anwar yang berjudul Kerawang-Bekasi dengan puisinya Archibald Macleish yang berjudul The Young Dead Soldiers.

Surabaya, 24 Maret 2009

Daftar Pustaka

Badudu, J.S. 1983. Sari Kesusastraan Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Prima.

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.

Jassin, H.B. 1978. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Djakarta: Gunung Agung.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.

Rosidi, Ajip. 1985. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?. Jakarta: Gunung Agung.

Teeuw, A.1983. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.




       Berbicara tentang pengaruh dalam sastra bandingan, kita tidak melepaskan diri dengan kajian atau teori intertekstualitas. Hutomo (1993b: 13-14) menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori intertekstualitas. Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil transformasi dari teks lain. Hal ini dibenarkan oleh Julia Kristeva (dalam Junus, 1996: 120) hubungan intertekstual bukan hanya berupa rujukan dengan teks lain, tetapi merupakan penyerapan atau transformasi. Adanya teks atau karya sastra yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya menjadi fokus utama dalam mengkaji dengan menggunakan kajian intertekstualitas.

        Ratna (2005: 217, 2010: 211-212) mendefinisikan secara etimologi, bahwa interteks, berasal dari kata inter + teks. Prefiks inter yang berarti (di) antara, dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks intra, trans, dan para. Teks berasal dari kata textus (Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan. Intertekstual dengan demikian mendefinisikan sebagai hubungan atau jaringan antara satu teks dengan teks-teks lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam karya penulis tunggal. Transtekstual merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer. Sedangkan paratekstual melibatkan hubungan antara teks sastra dan teks sosial melalui judul, pembukaan, kulit buku, ilustrasi, dan sebagainya (Zaimar, 2008: 50-55).

       Pendekatan atau kajian ilmu sastra muttakir yang paling menonjol adalah hubungan intertekstual antara teks sastra dengan berbagai macam teks lainnya, yang kesemuanya itu dilihat sebagai suatu produk budaya pada kurun waktu tertentu (Junus, 1996: 121; Budianta, 2002: 43). Kajian atau teori intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik diantara teks-teks yang dikaji. Kajian interteks disini berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun ia ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya termasuk semua konvensi yang terjadi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks sastra yang ditulis sebelumnya (Nurgiantoro, 2010: 50).

        Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitan dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-65). Hal ini juga diperkuat oleh Wellek dan Warren (1989: 79) bahwa faktor sejarah dan lingkungan juga ikut membentuk karya sastra. Menurut Pradopo (2002: 55, 2005: 227) dasar dari kajian intertekstualitas adalah prinsip persamaan teks yang satu dengan teks yang lain. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Julia Kristeva (dalam Pradopo, 2002: 55) bahwa setiap teks itu merupakan mozaik kutipan-kutipan dari teks lain.

      Sebuah karya sastra mempunyai hubungan sejarah dengan karya sastra yang sezaman, yang mendahuluinya, ataupun yang kemudian. Hubungan ini bisa berupa persamaan ataupun pertentangan. Dengan demikian, sebaiknya kalau mengkaji sebuah karya sastra harus membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya (Pradopo, 2007: 167).

      Dalam dunia sastra, Julia Kristeva dikenal sebagai tokoh terpenting yang mengintroduksi teori interteks, yang secara luas diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain (Ratna, 2007: 130). Menurut Julia Kristeva (dalam Hutomo, 1993b: 13-14) teori intertekstualitas itu mempunyai kaidah dan prinsip tertentu, diantaranya: (1) pada hakikatnya sebuah teks itu mengandung berbagai teks; (2) studi intertekstualitas itu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah teks; (3) studi intertekstualitas itu mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat; (4) dalam kaitan dengan proses kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks merupakan hasil yang diperoleh dari teks-teks lain; dan (5) dalam kaitan dengan studi intertekstualitas, pengertian teks (sastra) janganlah ditafsirkan terbatas pada bahan sastra, tetapi harus mencakup seluruh unsur teks, termasuk bahasa.

       Hutomo (1993b: 14) menyatakan bahwa kajian bandingan harus memahami hipogram. Hal ini juga diperkuat oleh Ratna (2004: 20) bahwa konsep terpenting dalam interteks adalah hipogram. Hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya) (Hutomo, 1993a: 13; 1993b: 14). Hipogram dapat berupa perluasan atau ekspansi, pemutarbalikan atau konversi, modivikasi, dan ekserp. Modivikasi dapat berupa manipulasi kata dan kalimat serta unsur kesusastraan, sedangkan ekserp merupakan intisari dari suatu cerita yang dikembangkan oleh pengarang lain (dalam Hutomo, 1993a: 13; 1993b: 14; Sudikan, 2001: 118).

        Menurut Endraswara (2008: 132) ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkannya. Secara sederhana ekserp dapat dianalogikan dengan kalimat berikut. Misalnya dalam sebuah cerita teks satu menceritakan masalah di dalam penjara selanjutnya di teks dua juga menceritkan masalah di dalam penjara. Dari sini dapat diketahui bahwa teks dua mengambil secara utuh episode masalah di dalam penjara dari teks satu.

         Kajian bandingan merupakan kajian antara dua karya sastra yang dibatasi oleh beberapa ketentuan seperti negara, bangsa, dan bahasa. Salah satu titik terpenting dalam kajian sastra bandingan adalah pengaruh. Menurut Saman (1994: 98) kajian pengaruh dalam kesusastraan bandingan melakukan kerja membandingkan bahasa bacaan antara yang sedang dihadapi dengan segala bacaan yang telah silam. Dengan demikian, kajian pengaruh dalam sastra bandingan harus membandingkan dua karya sastra atau lebih dengan kurun waktu penulisan dan penerbitan dalam tenggang waktu yang cukup lama. Studi pengaruh dalam sastra bandingan tidak dapat membandingkan dua karya sastra dalam waktu penciptaan dan penerbitan dengan waktu yang sama.

        Menurut Mahayana (1995a: 213) kajian pengaruh yang mempengaruhi dunia sastra merupakan hal yang wajar. Adanya kesamaan tema, gaya, maupun bentuk pada dua karya sastra, mungkin hanya akibat pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya yang lain. Tetapi dengan ini tidak harus mutlak demikian. Boleh jadi kesamaan itu suatu kebetulan saja. Dan kemunculannya pun bisa pada saat yang bersamaan atau dalam kurun waktu yang berbeda. Dengan demikian, bisa jadi terjadi kemiripan antara karya sastra di suatu negara dan karya sastra di negara lain. kemiripan tersebut bisa dikaji dengan kajian sastra bandingan. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahayana (1995b: 61) yang menyatakan bahwa membandingkan dua karya sastra atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, dalam studi sastra, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan.

        Pengaruh di dalam sastra bandingan termasuk ke dalam kajian dengan menggunakan pendekatan genetik. Lubis (1994: 37) membagi pendekatan genetik ke dalam lima aspek, yaitu: (1) pengaruh; (2) saduran (adaptasi); (3) jiplakan (plagiat); (4) peniruan (imitasi); dan (5) terjemahan. Di antara kelima aspek itu yang agak sulit dipisahkan yaitu antara peniruan dan pengaruh. Untuk menilai suatu karya sastra meniru atau mendapatkan pengaruh sebenarnya yang paling tahu adalah pengarangnya sendiri, karena batas antara peniruan dan pengaruh adalah unsur kesengajaan dan ketidaksengajaan. Peniruan dilakukan dengan sengaja, sedangkan pengaruh dilakukan secara tidak sengaja. Namun, jarang pengarang yang secara jujur mengakui bahwa karya ciptaannya meniru atau terpengaruh.

         Menurut Blok (dalam Saman, 1994: 95) kajian pengaruh merupakan kajian yang penting dalam sastra bandingan. Blok mengatakan bahwa pengaruh dapat diuraikan menjadi beberapa bagian, di antaranya: (1) merupakan bagian dari seni atau kreatifitas seni, menggunakan masa silam sebagai inspirasi; (2) faktor hubungan dan keterkaitan pengarang dengan pengarang; (3) sesuatu yang tidak disengaja; (4) merupakan sumber proses penciptaan; dan (5) merupakan interaksi estetik, dan tidak mudah dilihat dengan mata kasar.
Pengaruh menurut Hosilos (2001: 16) tidak langsung terlihat dalam karya seorang pengarang, karena jalinannya yang halus ke dalam bentuk, stail, tema, dan unsur seni. Untuk karya-karya pengarang yang belum dapat menghasilkan mutu karangan yang baik, pengaruh cenderung sebagai peniruan, dan mempunyai banyak kemiripan pada karya yang di tiru.

         Menurut Kasiyun (2011: 12) pengaruh berbeda dengan peniruan. Pengaruh adalah kesan yang ditangkap seseorang tentang adanya keterkaitan suatu karya dengan karya lain dari pengarang atau penyair yang berbeda. Sedangkan peniruan adalah mengambil suatu karya sastra sebagai contoh (model) untuk mencipta karya yang lain. Hutomo (1993b: 13) menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori intertekstualitas. Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil transformasi dari teks lain.

        Sastra bandingan merupakan disiplin baru dalam kesusastraan Melayu, baik di Indonesia, Malaysia, maupun di Brunei Darussalam (Siregar, 1995: 136). Hutomo (1993b: 1) menyatakan bahwa istilah sastra bandingan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, Comparative Literature, atau dari bahasa Perancis, La Literature Comparee. Menurut sejarahnya, sastra bandingan sebagai ilmu mempunyai dua aliran, yaitu aliran Perancis dan aliran Amerika. Aliran Perancis dipelopori oleh Paul van Tieghem, Jean Marie Carre, Fernand Baldensperger, dan Marius Francois Guyard. Sedangkan aliran Amerika dipelopori oleh Sekolah Amerika. Aliran Perancis disebut dengan aliran lama dan aliran Amerika disebut dengan aliran baru.
Perbedaan yang sangat mencolok pada kedua aliran itu terletak pada objek kajiannya. Aliran Perancis menekankan perbandingan karya sastra dari negara yang berbeda, sedangkan aliran Amerika disamping membandingkan dua karya sastra dari negara yang berbeda, juga membandingkan karya sastra dengan bidang ilmu dan seni tertentu seperti sejarah, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain.

        Menurut Gaither (1990: 138) kajian sastra bandingan aliran Amerika mempunyai tiga bandingan utama, yaitu hubungan bentuk dan kandungan, pengaruh, dan sintesis. Ketiga hubungan yang ditawarkan oleh Gaither ini hanya terjadi dalam beberapa karya seni saja. Misalkan hubungan antara novel dengan film, yang mana film itu mengangkat cerita yang bersumber dari novel.

        Damono (2009: 1) mengatakan bahwa kajian sastra bandingan merupakan kajian dalam ilmu sastra yang tidak bisa menghasilkan teori sendiri. Jadi, kajian sastra bandingan dapat menerapkan berbagai teori, sepanjang teori itu tidak menyimpang dari prinsip-prinsip kajian bandingan. Menurut Remak (1990: 12) setiap objek kajian bandingan mempunyai pendekatan yang dianggap paling sesuai dan paling efektif.

       Clements (dalam Damono, 2005: 7-8; Saman, 2004: 22-23; Christomy, 2003: 50) menentukan lima pendekatan yang bisa dipergunakan dalam penelitian sastra bandingan, yakni: (1) tema atau mitos; (2) genre atau bentuk; (3) gerakan atau zaman; (4) hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dengan disiplin ilmu lainnya; dan (5) pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir. Berbeda dengan Clements, Jost (dalam Damono, 2005: 8-9) membagi-bagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang, yakni: (1) pengaruh dan analogi; (2) gerakan dan kecenderungan; (3) genre dan bentuk; serta (4) motif, tipe, dan tema.

        Menurut Awang (1994: 58) ada lima aspek yang digunakan dalam kajian bandingan diantaranya: (1) kritikan dan teori kesusastraan; (2) gerakan kesusastraan; (3) kajian tema; (4) kajian bentuk dan jenis sastra; dan (5) hubungan sastra dengan ilmu-ilmu yang lain. Berbeda dengan Awang, Abas (1994: 72) menyatakan bahwa di dalam kajian bandingan itu yang dibandingkan adalah ciri-ciri keindahan yang terdapat dalam berbagai aspek sastra, seperti tema, jalan cerita (fabula), plot, perwatakan, latar, masa, uraian dan ceritaan, metra, dan sebagainya.

        Ruang lingkup kajian sastra bandingan cukup luas sekali. Sastra bandingan dapat membandingkan karya sastra dari dua negara yang mempergunakan bahasa yang berbeda. Sastra bandingan dapat membandingkan dua karya sastra dari dua negara yang berbeda dalam bahasa yang sama atau dalam dialek yang berbeda. Kajian sastra bandingan dapat membandingkan karya sastra seorang warga negara pindahan dari negara lain dengan karya pengarang negara asal pengarang itu. Sastra bandingan dapat mengkaji karya sastra yang ditulis dengan bahasa lain dalam satu negara. Sastra bandingan dapat membandingkan karya seorang penulis yang menulis dalam bahasa yang berbeda (Hutomo, 1993b: 7-10; Abas, 1994: 76-77). Sesuai dengan pendapat Hutomo dan Abas di atas, menunjukkan bahwa sastra bandingan telah mengalami perkembangan dari konsep yang dikemukakan oleh aliran Perancis. Sastra bandingan tidak harus membandingkan karya dua pengarang dari negara yang berbeda, tetapi dapat membandingkan dua karya sastra yang ditulis oleh pengarang dalam satu negara, asalkan bahasa yang dipergunakan berbeda.

        Menurut Endraswara (2011: 95) ruang lingkup sastra bandingan lebih luas daripada ruang lingkup sastra nasional, baik secara aspek geografis mupun bidang penelitiannya. Sastra bandingan dapat dikatakan sebagai suatu penelitian yang mencangkup bandingan karya-karya sastra, dari sastra nasional yang belum terkenal hingga karya-karya agung, hubungan karya sastra dengan pengetahuan, agama atau kepercayaan, karya-karya seni, pembicaraan mengenaai teori, sejarah, dan kritik sastra. Penelitian sastra bandingan berangkat dari asumsi dasar bahwa karya sastra tidak mungkin terlepas dari karya-karya sastra yang pernah ditulis sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa dalam penelitian sastra bandingan itu tidak mungkin dilepaskan dari adanya unsur kesejarahannya. Hal ini juga diperkuat oleh Jant Brand Cortius (dalam Endraswara, 2011: 20) bahwa karya sastra merupakan wujud paket himpunan karya-karya sebelumnya. Hal ini juga mirip dengan pendapat dari Julia Kristeva bahwa karya sastra merupakan barisan teks. Kedua pendapat ini menguatkan asumsi bahwa hampir sulit menemukan karya-karya yang benar-benar murni atau steril. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap sebuah karya sastra pun harus diperhatikan dengan mempertimbangkan unsur kesejarahan dalam kreativitas sastra.

A. Pengantar

      Karya sastra merupakan karya imajinatif, dan mempunyai hubungan yang erat dengan hal-hal yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Menurut Wellek dan Warren (1990: 79) bahwa faktor lingkungan juga bisa membentuk yang namanya karya astra. Oleh karena itu, tema yang sama dapat ditulis oleh lebih dari seorang pengarang. Hal itu bisa terjadi karena suatu karya sastra mengangkat tema kehidupan yang terdapat di alam masyarakat tertentu.
Brunei Darussalam dan Indonesia merupakan negara serumpun yang berdekatan. Ada kesamaan budaya dan adat dari keduanya. Selain itu, Brunei Darussalam dan Indonesia juga mempunyai bahasa nasional yang bersumber dari bahasa yang sama, yakni bahasa Melayu. Dari faktor-faktor itulah memungkinkan adanya hubungan timbal balik antara kedua negara tersebut, terutama dalam bidang budaya (khususnya sastra).
Hubungan timbal balik di alam sastra terbukti dengan terbentuknya Mastera (Majelis Sastera Asia Tenggara) yang anggotanya terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Mastera menjalin kerjasama dalam hal pengembangan sastra. Bentuk kerjasama ini dibuktikan dengan dimuatnya karya sastra dari sastrawan ketiga negara itu di majalah sastra masing-masing negara. Di Indonesia kerjasama itu direalisasikan dengan munculnya “Lembaran Mastera”di majalah sastra Horison. Lembaran ini memuat esei sastra, puisi-puisi, dan cerpen-cerpen karya pengarang Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Pada kajian ini saya mencoba untuk membandingkan dua fiksi mutakir dari Negara Brunei Darussalam dengan Negara Indonesia. Dari Negara Brunei Darussalam saya mengambil novelnya Muslim Burmat yang berjudul Makna Sebenar Sebuah Ladang sedangkan dari Indonesia saya mengambil novelnya Abrar Yusra yang berjudul Tanah Ombak. Kedua fiksi ini diterbitkan bersamaan pada tahun 2002.
Sisi menarik dari novel Makna Sebenar Sebuah Ladang dengan novel Tanah Ombak terletak pada tema yang diangkat pada masing-masing novel. Tema yang diangkat pada kedua karya sastra tersebut adalah masalah tanah. Dan dari tema inilah saya mengangkat menjadi sebuah kajian untuk tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sastra Bandingan ini.

B. Seputar Tentang Muslim Burmat

        Muslim Burmat merupakan nama penanya. Sedangkan nama asli dari Muslim Burmat adalah Awang Haji Muslim bin Haji Burut. Muslim Burmat merupakan salah satu dari orang yang berketurunan Kedayan. Muslim Burmat merupakan salah satu pegarang dari Negara Brunei Darusalam. Dia juga pernah bekerja di Dewan Bahasa dan Pustaka Negara Brunei Darussalam. Karya-karya Muslim Burmat banyak terpublikasikan dalam media massa seperti Radio Brunei, Pelita Brunei, Dewan Bahasa, Dewan Sastera, Suara Brunei, Pangsura, dan Bintang Harian.
Kesungguhan Muslim Burmat dalam berkarya mengangkat karyanya sampai memenangi beberapa hadiah. Novel Beliau yang berjudul Hadiah Sebuah Impian mendapatkan tempatan kedua dalam Peraduan menulis novel Sempena tahun 1980 dari Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam. Pada tahun 1983 novelnya yang berjudul Puncak Pertama mendapatkan penghargaan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam. Tahun 1982 cerpennya yang berjudul Hujan Hingga ke Senja mendapatkan penghargaan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam. Dan pada tahun 1992 novelnya yang berjudul Terbenamnya Matahari juga mendapat tempat pertama dalam Peraduan Menulis Novel Sempena dari Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam.
Selain itu, novel-novel Muslim Burmat yang lain dan sudah diterbitkan adalah Lari Bersama Musim, Sebuah Pantai di Negeri Asing, Urih Pesisir, Terbang Tinggi, Makna Sebenar Sebuah Ladang, dan Maka. Dan semua novelnya itu diterbitkan oleh penerbit yang sama yaitu Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam.

C. Seputar Tentang Abrar Yusra

        Abrar Yusra di lahirkan di Sumatra Barat pada tanggal 28 Maret 1943. Beliau mempunyai latar belakang dan berpendidikan sebagai guru. Belaiu pernah mengajar di INS Kayutanam, tetapi itu semua tidak berlangsung lama. Karena beliau lebih memilih menjadi seorang wartawan. Bidang kewartawanan yang dipilih beliau ditekuninya hamper sudah sepuluh tahun.
Pada saat hijrah ke Jakarta, Abrar Yusra mengembangkan kemampuan yang dimilikinya menjadi seorang penulis. Beliau juga pernah menjadi salah satu anggota dari Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 1991-1993. Tulisannya banyak dimuat dalam majalah sastra Horison, Media Indonesia, dan Pelita.
Karya-karya Abrar Yusra diantaranya adalah kumpulan puisi Siul, Amir Hamzah sebagai Manusia dan Penyair, Catatan Seorang Pamong-Memori Pemerintahan Hasan Basri Durin, Gubernur Sumatera Barat, dan Tak Menggantang Asap. Novel-novel Abrar Yusra yang pernah diterbitkan di antaranya adalah Kabar Burung, Nyanyian Laut, Biografi si Jaim, dan Tanah Ombak.

D. Sinopsis Novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat

        Novel ini memuat enam belas bab dan mengandung seratus delapan puluh delapan halaman. Novel ini mengisahkan tentang perjuangan hak di antara dua bangsa yaitu bangsa Brunei yang diwakili oleh Puak Melayu Kedayan dan bangsa Inggris yang diwakili oleh Richardson. Puak Melayu Kedayan berjuang mempertahankan hak milik mereka yaitu tanah warisan nenek moyang mereka. Manakala bangsa Inggris berhasrat memperjuangkan hak tanah berlandaskan undang-undang dan secara langsung ingin merampas kekayaan yang ada di bumi Darussalam. Peristiwa ini berlaku ketika Brunei masih dibawah naungan pemerintahan Residen Inggris yaitu pada tahun 1915 Masehi.

E. Sinopsis Novel Tanah Ombak Karya Abrar Yusra

       Novel ini mengisahkan tentang seorang wartawan yang bekerja sebagai redaktur pelaksana pada salah satu surat kabar. Wartawan tadi mengambil inspirasi untuk menulis sebuah novel. Dia mengambil bahan ceritanya yaitu tentang kehidupan seorang wanita penghibur dari tanah Minang. Di sini tokoh yang dijadikan tokoh utama dalam novelnya di beri nama Yasmi. Yasmi digambarkan sebagai wanita penghibur di sebuah night club.

F. Konsep Tema dalam Karya Sastra

      Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu di ingat (Stanton, 2007: 36). Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir akan munjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema (Stanton, 2007: 37).
Menurut Stanton (2007:44) tema hendaknya memenuhi criteria sebagai berikut: (1) interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita dan criteria ini yang paling penting; (2) interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi; (3) interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya implicit); dan (4) interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita yang bersangkutan.

G. Tema dalam Kedua Novel Tersebut

      Novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat menceritakan tentang pemaparan politik di Negara Brunei Darussalam yang mana pada saat itu yang dituntu adalah hak kemerdekaannya. Novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat bisa dikatakan sebagai novel simbolik. Karena kalau kita telaah dengan ilmu semiotik, dari judulnya saja sudah mempunyai makna yang tersirat.
Novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra menceritakan tentang pendeskripsian sosiopolitik di Negara Indonesia. Novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra ini juga bisa dikatakan sebagai novel simbolik. Kalau kita cermati judulnya dengan ilmu semiotik, tanah di sini mengacu pada tanah air sedangkan ombak di sini mengacu atau melambangkan suatu kehidupan

H. Perbandingan Masalah Tanah dalam Kedua Novel

1. Masalah Tanah dalam Novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat
Dalam novel ini digambarkan bahwa tokoh Richardson di sini membuka ladang getah yang ada di kawasan tanah warisan dari nenek moyangnya. Dengan cara menghancurkan semua tempat bercocok tanam dan dusun-dusun dari orang Kedayan. Pembukaan ladang tersebut mendapat tantangan dari orang Kadayan itu.
Orang Kedayan semua melakukan tantangan. Dan tantangan itu diketuai oleh Munap. Mereka semua berusaha untuk merebut kembali tanah yang ditanami getah itu. Tanah seluas 400 hektar itu dicoba untuk direbut lagi oleh orang Kedayan. Usaha mempertahankan hak warisan dari nenek moyang yang dilakukan oleh orang Kedayan itu sangat wajar sekali.

2. Masalah Tanah dalam Novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra
Dalam novel ini diceritakan bahwa tokoh Pak Sutan berjuang untuk mendapatkan modalnya dalam mengerjakan atau menggarap tanah warisan dari istrinya. Untuk mendapatkan modal itu, Pak Sutan pergi mengembara atau merantau ke Padang. Namun kenyataannya berbanding terbalik. Pak Sutan saat di Padang malahan membangun gubuk di atas rawa-rawa yang di miliki oleh pemerintah. Sampai Pak Sutan beranak-cucu.
Pak Sutan di sini adalah ayah kandung dari Yasmi. Pada saat ayahnya meninggal (Pak Sutan maksudnya), Yasmi dan keluarganya mulai mengalami yang namanya kesempitan hidup. Yasmi dan keluarganya merasakan kemiskinan setelah ditinggal oleh Ayahnya meninggal dunia. Tanah tempatnya tinggal itu selalu dijadikan oleh Pemerintah sebagai lahan untuk pembangunan.
Yasmi sampai rela bekerja di night club sebagai wanita penghibur untuk bias memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kehidupan Yasmi dan keluarganya sangat menderita sekali. Rumahnya yang dekat dengan pantai membuat dia malah sangat menderita. Apalagi kalau terjadi hujan rebut dan banjir.
Pada akhir cerita, Yasmi yang sebagai lonte tua menjadi tak laku lagi untuk meneruskan kesulitan hidupnya. Dalam cerita ini tampak kalau tokoh Yasmi berusaha untuk menghindari penderitaan hidupnya. Dan tokoh Yasmi di sini juga berusaha untuk keluar dari dunia kegelapan yaitu dunia yang sudah ditekuninya selama ini. Selain itu, tokoh Yasmi di sini juga sangat memperlihatkan perjuangan untuk memilki tanah yang ditinggalinya itu. Walaupun tokoh Yasmi di sini berada dalam penggembaraan atau dalam perantauan.

3. Perbandingan
Perbandingan antara novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat dengan novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra terletak pada usaha yang dilakukan oleh pemilik tanah dalam cerita pada masing-masing novel. Dalam novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat digambarkan bahwa tanah orang Kedayan yang diambil oleh Richardson mendapatkan penentangan dari orang Kedayan itu sendiri.
Sedangkan dalam novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra dideskripsikan bahwa tanah pemerintah yang ditempati atau diambil oleh Pak Sutan ayah dari Yasmi tidak mendapat penentangan dari pihak pemerintah itu sendiri. Itulah Perbandingan antara novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat dengan novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra.

4. Persamaan
Persamaan antara novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat dengan novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra ini terletak pada masalah tanah yang dibahas dalam kedua novel tersebut. Dalam novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat dijelaskan bahwa tokoh Richardson sebagai orang pendatang sekaligus pengurus ladang getah menduduki tanah milik orang Kedayan untuk dijadikan ladang getah.
Sedangkan dalam novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra digambarkan bahwa Pak Sutan sebagai orang pendatang menduduki tanah milik pemerintah untuk dijadikan pemukiman. Itulah persamaan antara novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat dengan novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra.

I. Simpulan

        Dalam kajian ini bisa ditarik benang merah bahwa masalah tanah yang dibahas dalam novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat dengan novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra itu memiliki sedikit persamaan dan juga perbedaan. Dan masalah utama yang dibahas dalam novel Makna Sebenar Sebuah Ladang Karya Muslim Burmat dengan novel Tanah Ombak karya Abrar Yusra adalah masalah yang memperjuangkan tanah.

Bumi Wringinanom, 6 Juni 2011

Daftar Pustaka

Burmat, Muslim. 2002. Makna Sebenar Sebuah Ladang. Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Sastera Indonesia Modern: Sastera Hibrida (Siri Kuliah Kesusasteraan Bandingan Mastera). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
............................ 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa
............................ 2009. Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Media Pressindo.

Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Saman, Mohd. Sahlan. 2004. Sastera Malaysia dalam Hubungan dengan Sastera Nusantara. Bahan Seminar Kesusasteraan Bandingan Majelis Sastera Asia Tenggara di Universitas Negeri Surabaya tanggal 1 Oktober 2004.
Stanton, Robert. 2007. Teori Prosa Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Trisman, B., Sulistiati, dan Marthalena. 2002. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia.

Yusra, Abrar. 2002. Tanah Ombak. Jakarta: Kompas.
Zaidan, Abdul Rozak. 2005. “Dari Peristiwa ke Pemikiran dan dari Pemikiran ke Peristiwa” dalam Dari “Pemburu” ke “Terapeutik”: Antologi Cerpen Mastera (editor Dendy Sugono dan Abdul Rozak Zaidan). Jakarta: Pusat Bahasa.







        Upaya untuk mengkaji unsur-unsur sastra dari unsur intrinsik termasuk ke dalam wilayah kajian struktural. Di dalam kajian struktural, analisis difokuskan pada unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur dari luar sastra, termasuk pembaca dan biografi pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sesuatu yang otonom. Strukturalisme genetik merupakan teori yang menekankan adanya pemahaman bahwa individu bukanlah makhluk yang bebas. Tapi paham teori ini menekankan kenyataan individu tetaplah pendukung kelas-kelas sosial yang dalam masyarakat sehingga teks sastra dianggap sebuah representasi institusi sosial yang dapat berubah dan sarat pertentangan kelas (Taum dalam Wahedi, 2010: 13). Pernyataan ini sangat erat kaitannya dengan kenyataan bahwa pengarang juga merupakan bagian dari masyarakatnya.

          Strukturalisme genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra sebagai struktur. Karena itu usaha strukturalisme genetik memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan struktur karya itu (Hudayat, 2007: 62). Menurut Endraswara (2008: 55) strukturalisme genetik merupakan cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling tidak kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.

        Strukturalisme genetik adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subyek penciptanya atau subyek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu (Faruk, 1999:13). Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldman, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pencees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali tahun 1956. Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya, Jurnal Ilmiah The Philosophical Forum (Vol. XXIII, 1991-1992) secara khusus menerbitkan karya-karya ilmiah dalam kaitannya dengan kepakarannya, khususnya terhadap teori strukturalisme genetik (Ratna, 2006: 121-122).

        Goldman mencoba untuk menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Ia berpendapat bahwa karya utama sastra dan filsafat memiliki kepaduan total, dan bahwa unsur-unsur yang membentuk teks itu mengandung arti hanya apabila bisa memberikan suatu lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya tersebut (Damono, 1978: 40-41; 2009: 55). Unsur materialisme historis dan dialektik ini yang membedakan dengan analisis struktural yang otonom itu. Goldman (dalam Faruk, 2010: 71) menyatakan bahwa strukturalisme genetik menganggap karya sastra sebagai semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Eagleton (dalam Kasiyun, 2004: 25) menyatakan bahwa dengan strukturalisme genetik Goldman memusatkan perhatian pada hubungan visi dunia dengan kondisi-kondisi historis yang memunculkannya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam kesusastraan akan berpengaruh kepada masyarakat modern, kalau kita mempunyai tanggapan lain daripada arti modern bagi masyarakat (Sastrowardoyo, 1992: 67). Kata modern disini dihubungkan dengan tahap perkembangan pandangan dunia serta proses pengalaman hidup.

        Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi di awali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realita masyarakatnya. Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Endraswara, 2008: 56).

       Strukturalisme genetik menurut Iswanto (2001: 62) lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal, karena pendekatan strukturalisme dianggap mempunyai beberapa kelemahan. Goldman (dalam Faruk, 2010: 56) menyatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur karya sastra merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi, dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Goldman ingin menunjukkan adanya hubungan situasi historis tertentu dari suatu kelompok sosial yang telah diubah melalui perenungan dan penulisan dengan struktur sebuah karya sastra yang dihasilkannya (Kasiyun, 2004:25). Sehingga Goldman mengamati hubungan struktural antara teks sastra, visi dunia, dan sejarah.

        Menurut Teeuw (1988: 153) strukturalisme genetik Goldman menerangkan karya-karya dari homologi, persesuaiannya dengan struktur sosial. Dengan strukturalisme genetik Goldman, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya dari latar belakang struktur sosial tertentu. Kelebihan analisis strukturalisme genetik dengan analisis strukturalisme terletak pada unsur genetiknya. Unsur genetik karya sastra yang dimaksudkan di sini adalah asal-usul karya sastra. Hal ini dipertegas oleh Ratna (2009: 21) ciri dari strukturalisme genetik adalah asal-usul karya sastra dengan konstruksi struktur sosial. Unsur genetik yang dikembangkan berasal dari pengarang dan kenyataan sejarah yang turut serta untuk mengondisikan karya sastra.
Menurut Faruk (2010: 56) konsep dasar yang turut membangun teori strukturalisme genetik adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, serta pemahaman dan penjelasan. Konsep-konsep dasar itu berperan untuk membangun sebuah karya sastra. Lingkungan sekitar merupakan objek yang bisa dikembangkan oleh seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra.

        Iswanto (2001: 64) menjelaskan bahwa ada tiga langkah yang harus dilakukan dalam penelitian yang menggunakan teori strukturalisme genetik, yaitu: (1) penelitian dimulakan pada kajian unsur intrinsik sastra; (2) mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang sebagai komunitas kelompok; dan (3) mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang mengondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang.

        Secara definitif, Ratna (2006: 127) strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitiannya, Ratna memberikan langkah-langkah sebagai berikut: (1) meneliti unsur-unsur karya sastra; (2) hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra; (3) meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra; (4) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat; dan (5) hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

        Goldman (dalam Selden, 1996: 38) percaya bahwa penemuannya tentang homolog (persamaan bentuk) struktural di antara bermacam-macam bagian tata masyarakat membuat teori kemasyarakatannya khas Marxis. Menurut Goldman ada homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 2010: 64). Selanjutnya menurut Faruk (2010: 64) yang menjadi pusat perhatian dalam strukturalisme genetik adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya. Dibanding dengan struktural otonom, analisis strukturalisme genetik selain berpusat pada aspek intrinsik, juga mempertimbangkan aspek ekstrinsik. Aspek ini meliputi relasi antartokoh dengan objek yang ada di sekitarnya, latar belakang sejarah, zaman, lingkungan sosial, dan pandangan dunia pengarang.

        Goldman (dalam Junus, 1986: 26) merumuskan metode kerjanya dalam strukturalisme genetik menjadi sebagai berikut: (1) penelitian dilakukan terhadap karya sastra yang dilihat sebagai suatu kesatuan, apabila seorang menulis lebih dari satu karya sastra, maka dihubungkan dengan perbedaan waktu, akan memperlihatkan satu perkembangan; (2) karya sastra yang dianalisis hanya karya sastra yang mempunyai nilai sastra; (3) selanjutnya dia bekerja dengan mengawali dari hipotesis yang menyeluruh tentang hubungan antara unsur-unsur dan keseluruhan sebuah karya sastra. Hipotesis itu diperiksa berdasarkan keadaan dalam karya sastra yang diselidiki itu, sehingga dapat ditemukan suatu model, yang mungkin berbeda dengan hipotesis awal; dan (4) sesudah mendapatkan kesatuan dari keragaman sebuah karya sastra, baru dibuat hubungan dengan latar belakang sosial.

         Junus (1986: 26-27) menjelaskan bahwa hakikat struktural yang dilakukan oleh Goldman ini terletak pada dua hal yaitu cara penelitian karya sastra itu sendiri dan penghubungannya dengan sosiobudaya. Ini sesuai dengan pengertian hubungan yang begitu penting pada pendekatan strukturalisme. Goldman (dalam Fananie, 2001: 119) merumuskan tentang langkah-langkah dalam melakukan analisis strukturalisme genetik. Langkah-langkah itu sebagai berikut: (1) penelitian terhadap karya sastra dilihat sebagai suatu kesatuan; (2) karya sastra yang dianalisis mempunyai nilai sastra yang mengandung tegangan antarkeragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan yang padat; dan (3) analisis hubungan kesatuan dengan latar belakang sosial.

         Menurut Damono (1978: 44; 2009: 60) strukturalisme genetik dapat memberikan beberapa sumbangan. Strukturalisme genetik bisa menunjukkan berbagai pandangan dunia yang ada pada suatu zaman tertentu, di samping menyoroti baik isi maupun makna karya sastra yang ditulis di zaman itu. Telaah strukturalisme dapat menunjukkan hubungan anatra salah satu pandangan dunia dan tokoh-tokoh serta hal-hal yang diciptakan dalam karya sastra tertentu. Selain itu, strukturalisme juga menunjukkan hubungan antara alam ciptaan pengarang dengan perlengkapan sastra yang dipergunakan pengarang dalam menulis.





Klik "Show" untuk melihat Foto >>>>>>>>>> <<<<<<<<<< Foto melihat untuk "Show" Klik
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Merbabu dan Merapi.
  • Merbabu dan Q.
  • Merbabu dan Q.
  • Bersama kita BISA.

RepubliC_GothiC

""