- HOME
- Daftar Isi
- Contact Us
- Services
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Very Long Item
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Fully Flexible
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
Archive for 2013-01-06
1.
Pengertian
Klausa
Klausa
adalah satuan gramatikal yang memiliki tataran di atas frasa dan di bawah
kalimat, berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnyaterdiri atas subjek dan
predikat, dan berpotensi untuk menjadi kalimat (Kiridalaksana, 1993:110).
Dikatakan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat karena meskipun bukan
kalimat, dalam banyak hal klausa tidak berbeda dengan kalimat, kecuali dalam
hal belum adanya intonasi akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat.
Dalam
konstruksinya yang terdiri atas S dan P klausa dapat disertai dengan O, Pel,
dan Ket, ataupun tidak. Dalam hal ini, unsur inti klausa adalah S dan P.
tetapi, dalam praktiknya unsur S sering dihilangkan. Misalnya dalam kalimat
majemuk (atau lebih tepatnya kalimat plural) dan dalam kalimat yang merupakan jawaban.
(Ramlan 1987:89). Misalnya :
(1) Bersama
dengan istrinya, Bapak Soleh datang membawa oleh-oleh.
Kalimat
(1) terdiri atas tiga klausa, yaitu klausa (a) bersama dengan istrinya, klausa (b) Bapak Soleh datang, dan klausa (c) membawa oleh-oleh. Klausa (a) terdiri atas unsur P, diikuti Pel,
klausa (b) terdiri atas S dan P, dan klausa (c) terdiri atas P diikuti O.
Akibat penggabungan ketiga klausa tersebut, S pada klausa (a) dan (c)
dilesapkan.
2.
Ciri-ciri
Klausa
Adapun
ciri-ciri klausa adalah sebagai berikut:
(1) dalam klausa terdapat satu predikat, tidak lebih dan tidak kurang; (2)
klausa dapat menjadi kalimat jika kepadanya dikenai intonasi final; (3) dalam
kalimat plural, klausa merupakan bagian dari kalimat; (4) klausa dapat
diperluas dengan menambahkan atribut fungsi-fungsi yang belum terdapat dalam
klausa tersebut; selain dengan penambahan konstituen atribut pada salah satu
atau setiap fungsi sintaktis yang ada.
3.
Jenis-jenis
Klausa
Klausa
dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu (1) kelengkapan unsur internalnya:
klausa lengkap dan klausa tak lengkap, (2) ada–tidaknya kata yang menegatifkan
P: klausa negative dan klausa positif, (3) kategori primer predikatnya: klausa
verbal dan klausa nonverbal, (4) dan kemungkinan kemandiriannya untuk menjadi
sebuah kalimat: klausa mandiri, klausa tergabung.
a.
Klausa
Lengkap dan Klausa Tak Lengkap
Berdasarkan
kelengkapan unsur internalnya, klausa dibedakan menjadi dua yaitu, klausa
lengkap dan klausa tak lengkap. Klausa lengkap ialah klausa yang memiliki unsur
internal lengkap, yaitu S dan P. Klausa lengkap ini berdasarkan struktur
internalnya, dibedakan lagi menjadi dua yaitu klausa susun biasa dan klausa
lengkap susun balik.
Klausa
lengkap susun biasa ialah klausa lengkap yang S-nya terletak di depan P. adapun
klausa lengkap susun balik atau klausa
lengkap inversi ialah klausa lengkap yang S-nya berada di belakang P,
misalnya :
(2) Tulisan
Hendi sangat berbobot.
Klausa
(2) disebut klausa lengkap susun biasa karena S-nya yaitu tulisan Hendi berada di depan P, sangat berbobot.
Klausa
tak lenngkap atau dalam istilah Verhaar (1999:279) klausa buntung merupakan klausa yang unsure internalnya tidak
lengkap karena di dalamnya tidak terdapat unsur S dan hanya terdapat unsur P,
baik disertai maupun tidak disertai unsur P, Pel, dan Ket. Misalnya :
(3) terpaksa
berhenti bekerja di perusahaan itu
Klausa
(3) bisa berubah menjadi klausa lengkap jika di sebelah kirinya ditambah S,
misalnya ditambah frasa istri saya sehingga
menjadi (3) Istri saya terpaksa berhenti
bekerja di perusahaan itu.
b.
Klausa
Negatif dan Klausa Positif
Berdasarkan
ada tidaknya kata negatif pada P, klausa dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu klausa negatif dan klausa positif. Klausa negatif ialah klausa yang di
dalamnya terdapat kata negative, yang menegasikan P.menurut Ramlan (1987: 137),
yang termasuk kata negatif, yang menegasikan P ialah tidak, tak, tiada, bukan, dan belum. Berikut ini adalah contoh
klausa negative :
(4) Deni
tidak mengurus kenaikan pangkatnya.
Klausa
(4) merupakan klausa negatif karena terdapat kata tidak yang menegasikan mengurus.
c.
KLausa
Verbal dan Klausa Nonverbal
Berdasarkan
kategori primer kata atau frasa yang menduduki fungsi P pada konstruksinya,
klausa dibedakan atas klausa verbal dan klausa nonverbal. Klausa verbal ialah
klausa yang P-nya terdiri atas kata atau frasa golongan V. dilihat dari
golongan verbanya klausa verbal dibagi lagi menjadi klausa verbal intransitif
dan klausa verbal transitif. Klausa verbal transitif ialah klausa yang
mengandung verba transitif, dan klausa verbal intransitif ialah klausa yang
mengandung verba intransitif.
Contoh
klausa verbal intransitif ialah sebagai berikut :
(5) Taufik
Hidayat tampil tidak maksimal di Jepang.
(6) Pengidap
AIDS bertambah.
Klausa
verbal transitif, dilihat dari wujud ketransitifan P-nya dapat dibedakan
menjadi (1) klausa aktif, (2) klausa pasif, (3) klausa reflektif, dan (4)
klausa resiprokal (Ramlan, 1987: 145-149). Klausa aktif ialah klausa yang P-nya
berupa verba transitif aktif. Klausa pasif ialah klausa yang P-nya berupa verba
transitif pasif. Klausa reflektif ialah klausa yang P-nya berupa verba
transitif reflektif, yaitu verba yang menyatakan “perbuatan’ yang mengenai
‘pelaku’ perbuatan itu sendiri. Pada
umumnya verba itu berprefiks meng- yang
diikuti kata diri. Adapun klausa
resiprokal adalah klausa yang P-nya berupa verba transitif resiprokal, yaitu
verba yang menyatakan kesalingan.
Klausa
nonverbal ialah klausa yang berpredikat selain verba. Klausa nonverbal masih
bisa dibedakan lagi menjadi (1) klausa nominal, (2) klausa adjektival, (3)
klausa preposisional, (4) klausa numeral, dan (5) klausa adverbial. Contoh:
(7) Yang
kita bela kebenaran
(8) Budi
pekertinya mulia
(9) Aku
bagai nelayan yang kehilangan arah
(10)
Yang dikorupsi 300 juta rupiah
(11)
Kedatangannya kemarin sore
d.
Klausa
Mandiri dan Klausa Tergabung
Klausa
mandiri merupakan klausa yang kehadirannya dapat berdiri sendiri. Klausa
mandiri berpotensi untuk menjadi kalimat tunggal. Misalnya :
(12)
Merokok dapat menyebabkan kanker
Klausa
tergabung
a)
Klausa
Mandiri
Klausa mandiri atau klausa bebas
merupakan klausa yan kehadirannya dapat berdiri sendiri. Klausa mandiri
berpotensi untuk menjadi kalimat tunggal. Misalnya:
- Merokok
dapat menyebabkan kanker
- Nirina
sedang belajar
b)
Klausa
Tergabung
Klausa tergabung atau klausa
terikat adalah klausa yang kehadirannya untuk menjadi sebuah kalimat plural
tergabung dengan klausa lainnya. Dalam kalimat plural, klausa tergabung dapat
berupa klausa koordinatif, atau klausa subordinatif. Contoh:
(1)
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan
kehamilan dan janin.
(2a)
Nirina sedang belajar ketika terjadi gempa itu.
(2b) Karena baru pulang sesudah
tugasnya selesai, Sri tidak dapat menghadiri rapat.
Jika dicermati, konstruksi (1)
berbeda dengan konstruksi (2). Dalam konatruksi (1) terdapat klausa-klausa
tergabung secara koordinatif, sedangkan dalam konstruksi (2) terdapat
klausa-klausa tergabung secara subordinatif.
Klausa Koordinatif
Klausa koordinatif dapat dijumpai
dalam kalimat plural atau majemuk setara. Dalam kalimat plural atau majemuk
setara, semua klausanya berupa klausa koordinatif. Klausa tersebut dinamakan
klausa koordinatif karena secara gramatik dihubungka secara koordinatif oleh
penghubung-penghubung koordinatif dan,
atau, tetapi, lagi pula, lalu, namun, sebaliknya, malahan, dan lain-lain.
Klausa koordinatif terdiri atas (1)
koordinasi netral, (2) koordinasi kontrastif, (3) koordinasi alternatif, (4)
koordinasi konsekutif, yang berturut-turut dapat dilihat dalam contoh-contoh
kalimat berikut.
(1) Saya menulis artikel itu,
menyunting, dan mengirimkannya ke
media massa
(2) Mencari ilmu itu sulit, tetapi mengamalkannyajauh lebih sulit
(3) Saudara mau bekerja atau melanjutkan studi ke jenjang S-2?
(3) Harga sepeda motor itu relative
mahal, jadi perlu diangsur.
Klausa Subordinatif
Klausa subordinatif dapat dijumpai
dalam kalimat plural bertingkat. Jadi, dalam kalimat plural bertingkat selain
terdapat klausa atasan yang biasa dikenal dengan klausa induk, Klausa inti, atau
klausa matriks terdapat pula klausa bawahan atau klausa sematan atau klausa
subordinatif. Klausa bawahan dapat dibedakan lagi menjadi klausa berbatasan dan
klausa terkandung.
Klausa
berbatasan, merupakan klausa bawahan yang tidak
wajib hadir dalam kalimat plural. Klausa berbatasan dapat dibedakan menjadi
enam tipe yaitu klausa-klausa berbatasan:
(1) final, contoh
Irfan rajin
mengaji agar tidak menyesal dalam
kehidupan setelah mati.
(2) kausal, contoh
Rombogan
Suciwati merasa kecewa karena tidak
diperkenankan menjenguk Presiden Soeharto
(3) kondisional, contoh
Jika
diundang, ia mau datang.
(4) konsekutif, contoh
Pendapatannya
kecil, sehingga sampai sekarang belum
mampu membeli mobil.
(5) konsesif, contoh
Orang itu tetap
rendah hati meskipun telah menyandang
banyak prestasi.
(6) temporal, contoh
Rui
Costa, playmaker asal Portugal datang
ke La Viola setelah tiga musim memperkuat
Benfica.
Dalam contoh-contoh tersebut,
klausa yang dimulai dengan konjungsi subordinatif seperti agar, karena, jika, sehingga, meskipun, dan setelah-lah yang berturut-turut dinamakan sebagai klausa
berbatasan.
Klausa
terkandung, merupakan klausa bawahan yang
kehadirannya bersifat wajib. Berdasarkan fungsinya dalam kalimat plural bertingkat,
klausa terkandung dapat dikelompokkan menjadi klausa pewatas atau klausa
modifikasi dan klausa pemerlengkap.
§ Klausa
pewatas
Klausa pewatas atau klausa
pewatasan ialah klausa subordinatif yang kehadirannya berfungsi mewatasi atau
mempertegas makna kata atau frasa yang diikutinya. Contohnya ialah beberapa
klausa dari sejumlah klausa dalam kalimat plural berikut:
- Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.
- Rombongan
Suciwati tidak diperkenankan menjenguk mantan presiden Soeharto yang sedang
berbaring di Rumah Sakit Pusat Pertamina Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
§ Klausa
Pemerlengkap
Klausa pemerlengkap atau klausa
pemerlengkapan merupakan klausa yang berfungsi melengkapi (atau menerangkan
spesifikasi hubungan yang terkandung dalam) verba matriks. Klausa pemerlengkap
dibedakan lagi menjadi: (1) klausa pemerlengkap preposisional, (2) klausa
pemerlengkap eventif, (3) klausa pemerlengkap perbuatan.
Klausa pemerlengkap dikatakan
bersifat preposisional karena klausa tersebut biasanya berpenanda kata bahwa yang menyatakan suatu proposisi.
Contoh:
- Dokter
berkata, “ASI sangat baik untuk anak.”
Dokter berkata bahwa ASI sangat baik untuk
anak.
- Berita
bahwa mahasiswa Unnes juara I dalam LKTIM
bidang sosial, tingkat wilayah B, pada tanggal 22-23 Mei 2006 menjadi
sorotan media kampus.
Klausa eventif meliputi klausa yang
menyatakan peristiwa dan klausa yang menyatakan proses. Misalnya ialah klausa
yang dimulai dengan kata peristiwa dan proses pada kalimat-kalimat berikut.
- Peristiwa Joko
mengundurkan diri (Peristiwa pengunduran diri Joko) dari pekerjannya sudah
terduga sebelumnya.
- Proses orang
menyusun sebuah artikel (Proses penyusunan sebuah artikel) hanya diketahui oleh
para penulis.
Adapun klausa perbuatan dapat
dibedakan lagi menjadi klausa perbuatan yang dilakukan, klausa perbuatan yang
tidak dilakukan, dan klausa perbuatan yang mungkin dilakukan.
Klausa perbuatan yang dilakukan dapat
ditandai oleh verba melihat, menyaksikan,
mengetahui, berhasil, berhenti, dan mulai.
Misalnya:
- Saya
melihat (perbuatan) Zahra mendorong
Ela
Zahra mendorong Ela
- Prof.
Dr. Fathur Rokhman mulai meneliti masalah itu pada tahun yang lalu
Prof. Dr. Fathur Rokhman meneliti
masalah itu
Klausa perbuatan yang tidak
dilakukan dapat ditandai oleh verba mencegah,
menolak, gagal, dan lupa. Misalnya:
- Ayah
mencegah kami membawa uang saku ke
sekolah
Kami tidak membawa uang saku ke
sekolah
- Imron
gagal mengikuti lomba
Imron tidak mengikuti lomba
Adapun klausa perbuatan yang
mungkin dilakukan dapat ditandai oleh verba bermaksud,
berniat, bertekad, merencanakan, menganjurkan, dan menyarankan. Misalnya:
- Farah
bermaksud memohon izin untuk tidak
datang ke kampus
Farah memohon izin; Farah tidak
memohon izin
- Samdum
mengajak Dian pergi ke Mal Ciputra
Dian pergi ke Mal Ciputra; Dian
tidak pergi ke Mal Ciputra
SUMBER:
Baehaqie, Imam. 2008. Sintaksis Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaar. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masalah
Pemerolehan
bahasa oleh anak merupakan suatu proses menakjubkan yang terjadi sangat singkat
dan menjadi perhatian oleh para pembelajar bahasa dan ahli psikolinguistik.
Pemerolehan bahasa yang terjadi pada manusia tanpa disadari itu merupakan
proses yang rumit tetapi mampu dilalui hanya dalam hitungan waktu. Pemakaian
bahasa terasa lumrah karena memang tanpa diajari oleh siapa pun seorang bayi
akan tumbuh bersama dengan pertumbuhan bahasanya. Pemerolehan bahasa yang
terjadi berawal dari mengujarkan satu bentuk bunyi yang akan berkembang menjadi
ujaran kata, dua kata bahkan menjadi kalimat yang kompleks akan diperoleh anak
hanya dalam waktu kurang lebih lima tahun.
Dalam
pembelajaran bahasa ada beberapa teori yang mempunyai perbedaan dalam pendapat
masing-masing, dan merekan mempunyai dasar yang mampu menguatkan pendapat
mereka.Adapun kelompok yang berpendapat tentang teori belajar bahasa, pertama
teori behavioris yang berorientasi pada psikologi behaviorisme, yang kedua
teori generatif yang berdasarkan pada teori nativisme dan teori kognitivisme,
dan yang ketiga teori fungsional yang mengacu pada teori psikologi
konstruktivisme.
Ketiga
teori tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam ilmu bahasa yang berkaitan
erat dengan pemerolehan bahasa atau pemebelajaran bahasa. Berdasar pada ketiga
teori tersebut, maka dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai ketiga teori
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Teori Behavioris
Behaviorisme
adalah salah satu aliran psikologi yang berpengaruh di masyarakat
ini.Behaviorisme mengikuti metode eksperimen penelitian ilmiah yang menjadi
perhatian adalah segala hal yang dapat diamati secara ilmiah.Kaum behavioris
berpendapat bahwa bahasa merupakan bagian fundamental dari keseluruhan perilaku
manusia.Pendapat ini diperkuat oleh Jenkins dan Palermo (1964), yang menyatakan
bahwa anak mungkin memperoleh kerangka tata bahasa struktur frase dan belajar
ekuivalensi stimulus respon yang dapat diganti dalam tiap kerangka.Imitasi
merupakan sesuatu yang penting karena untuk menentukan hubungan stimulus
respon.
Pendapat
para ahli psikologi behaviorisme yang menekankan pada observasi empiric dan
metode ilmiah hanya dapat menjelaskan keajaiban pemerolehan bahasa dan ranah
kajian bahasa yang sangat luas belum dapat tersentuh dan hany adapat diogali
dengan pendekatan yang lebih dalam.
2.
Teori Generatif
Teori
generatif menggunakan pendekatan rasionalitik, maksudnya adalah mencari
penjelasan yang gamblang dan jelas tentang rahasia pemerolahan danbelajar
bahasa.Ada dua tipe teori generatif yang dikenal dalam penelitian bahasa, kedua
teori tersebut yaitu:
a. Nativisme
Istilah
nativisme muncul dari pernyataan bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh
bakat.Sejak manusia lahir itu sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar
bahasa. Teori tentang bakat bahasa ini mendapatkan banyak penguatan, salah
satunya Eric Lenneberg (1967) bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus
manusia dan bahwa cara pamahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan
mekanisme bahasa lain yang berhubungan ditentukan secara biologis. Chomsky
(1965) menyatakan bahwa eksisitensi bakat tersebut bermanfaat untuk menjelaskan
rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu yang singkat.Selain itu,
Chomsky juga menyatakan bahwa bakat bahasa itu terdapat dalam kotak hitam (black
box) yang disebutnya sebagai language acquisition device (LAD) atau
piranti pemerolehan bahasa.
McNeill
mendeskripsikan LAD terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
a)
kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang
lain dalam lingkungannya;
b)
kemampuan
mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
c)
pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin
dan sistem yang lain yang tidak mungkin;
d)
kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan
bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana
dari data kebahasaan yang diperoleh.
Untuk memahami dengan baik konsep LAD, diperlukan
praktek dengan anak-anak yang ada di lingkungan sekitar anda. Misalnya anak
yang berusia 2,5 tahun sudah mampu membedakan bunyi bahasa yang berasal dari
alat ucap manusia dengan bunyi lain, yaitu bunyi tokek, anjing, kucing dll. Hal
ini membuktikan bahwa manusia telah diakaruniai bakat sejak lahir, kemampuan
untuk dapat membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi lain yang ada di
sekitarnya.
Kemampuan
manusia yang ada sejak lahir yaitu bakat memilki pengetahuan tentang kalimat
yang mungkin dan yang tidak mungkin bisa dicontohkan saat anak dininabobokkan
yaitu anak mampu mengganti “digigit nyamuk” dengan “dididit aum” (aum maksudnya
harimau). Selain itu kemampuan untuk membedakan kalimat yang gramatikal dan
kalimat yang tidak gramatikal juda meruupakan bakat bawaan manusia. Kemudian
dalam perkembangannya manusia juga mengevaluasi sistem bahasa yang diujarkan
secara terus-menerus yang pada akhirnya menjdi bentuk yang diterim oleh
lingkungan, contohnya adalah ketika anak masih kecil belum mampu untuk
mengucapkan bunyi [l, r] lambat laun ia akan terus berusaha untuk
mengucapkannya menjadi ucapan yang semestinya.
Argumantasi
McNeill tentang LAD begitu tepat dan langsung sasaran, karena menurutnya teori
stimulus-respon itu terbatas, sehingga maslah pemerolehan dan pembelajarab
bahasa akanjauh dari jangkauan. Proposisi LAD mengarah pada aspek rawan pemerolehan
bahasa, yaitu aspek makna, keabstrakan, dan kreativitas.
Kaum
nativistis juga berpendapat bahw abahasa anak adalah sistem yang sah dalam sistem
mereka.Perkembangan anak sedikit demi sedikit Perkembangan bahasa anak itu
dalam setiap tahapan itu sisitemik, maksudnya anak secara terus-menerus
membentuk hipotesis dengan dasar masukan yang diterimanya dankemudian
mengujinya dalam ujarannya sendiri dan pemahamannya. Selam bahasa anak itu
berkembang, hipotesis itu akan terus direvisi, dibentuk lagi secara konsisiten
diucapkannya.
Jean
Berko (1965) menunjukkan bahwa belajar bahasa itu bukan sebagai urutan yang
terpisah-pisah,tetapi sebagai system yang integral. Berko melakukanpenelitian
dengan menggunakan tes kosakata yang tak bermakna, dan menemukan bahwa anak
berbicara bahasa Inggris sejak usia 4 tahun mnerapkan kaidah pembentukan jamak,
present progressive, past tense, tunggal ketuga dan posesif.
McNeill
dan kawan-kawannya menyajikan tentang hakikat pemerolehan bahasa anak secara
sistemik.Tata bahasa merupakan representasi formal dari struktur batin,
struktur yang tidak terwujud secara nyata dalam ujaran.Tata bahasa awal aak
mengacu pada tata bahasa tumpu (pivot grammar).Berdasarkan observasi,
ujaran anak satu dua kata mula-mula merupakan perwujudan dua kelas kata
terpisah dan bukan hanya dua kata yang dilemparkan secara bersamaan secara
acak.Berikut adalah kaidah pertama bagi tata bahasa generatif.
Kalimat
------kata tumpu + kata terbuka
Pendekatan
nativisme kepada bahasa anak sekurang-kurangnya mempunyai dua sumbangan penting
untuk memahami proses pemerolehan bahasa pertama, yakni:
1)
bebas dari keterbatasan daro metode ilmiah untuk
menjelajah sesuatu yang tidak tampak, tak dapat diobservasi, berada di bawah
permukaan, tersembunyi, struktur kebahasaan yang bastrak yang dikembangkan oleh
anak;
2)
deskripsi bahasa anak sebagai system yang sah, taat
kaidah, dan konsisten; dan
3)
konstruksi sejumlah kekayaan potensian dari tata
bahasa universal.
b. Kognitivisme
Kerangka nativis pun masih mempunyai kelemahan-kelemahan. Akhir tahun 60-an
merupakan saksi pergeseran kontinuum, tetapi bergerak lebih pada hakikat
bahasa. Slobin (1971) mengatakan bahwa dalam semua bahasa, belajar semantic
bergantung pada perkembangan kognitif. Urutan perkembangan itu lebih ditentukan
oleh kompleksitas semantic daripada kompleksitas struktural. Bloom (1976)
menyatakan bahwa penjelasan perkembangan bahasa bergantung pada penjelasan
kognitif yang terselubung. Apa yang diketahui anak akan menentukan kode yang
dipelajarinya untuk memahami pesan dan menyampaikannya.
3. Teori
Fungsional
Munculnya konstruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun
terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di
bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan. Penelitian bahasa anak-anak mulai
memusatkan perhatiannya pada bagian linguistik yang paling rawan, yakni fungsi
bahasa dalam wacana. Gelombang baru ini merupakan revolusi penelitian dalam
pembelajaran dan pemerolehan bahasa. Jantung bahasa fungsi komunikatif diteliti
sampai dengan segala variabilitasnya.
Para peneliti mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi
kemampuan kognitif dan afektif untuk dapat menjelajah dunia, untuk berhubungan
dengan orang lain, dan juga untuk keperluan terhadap diri sendiri sebagai manusia.
Lebih lagi kaidah generatif yang diusulkan di bawah naungan kerangka nativisme
itu bersifat abstrak, formal, eksplisit, dan logis; meskipun sebenarnya kaidah
itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional
yang lebih dalam dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
a.
Kognisi dan Perkembangan Bahasa
Slobin menyatakan bahwa dalam semua
bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif dan urutan
perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu daripada
kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua yang menentukan model: (1) pada
aras fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas komunikatif
dan konseptual, yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin kognisi; dan
(2) pada aras formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan pemrosesan
informasi, yang bekerja dalam konjungsi dalam skema batin tata bahasa.
b.
Interaksi Sosial dan Perkembangan Bahasa
Akhir-akhir ini semakin jelaslah bahwa
fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran kognitif dan struktur
memori. Di sini tampak bahwa konstruktivis sosial menekankan perspektif
fungsional. Dalam model resiprokalnya tentang perkembangan bahasa, Holzman
(1984) menyatakan bahwa sebuah sistem behavioral resiprokal bekerja di antara
bahasa yang dikembangkan bayi-anak dan pengguna bahasa dewasa yang kompeten di
alam peran socializing-teaching-nurturing.
Beberapa penelitian mengkaji interaksi antara pemerolehan bahasa anak dan
pembelajaran tentang bagaimana sistem itu bekerja di dalam perilaku manusia.
Kajian yang lain tentang bahasa anak terpusat pada komunikasi interaksi bahasa,
yang merupakan kawasan kajian yang rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana. Bahasa
pada hakikatnya digunakan untuk komunikasi interaktif. Oleh sebab itu, kajian
yang cocok untuk itu adalah kajian tentang fungsi komunikatif bahasa: apa yang
diketahui anak tentang berbicara dengan ank-anak yang lain? Tentang bulir-bulir
wacana yang berhubungan (hubungan antara kalimat-kalimat; interaksi antara
pendengar dan pembicara; isyarat percakapan. Dalam perspektif semacam itu,
jantung bahasa, fungsi pragmatic dan komunikatif dikaji dengan segala
variabilitasnya.
4. Isu penting
dalam Pembelajaran Bahasa
a.
Kompetensi dan Performansi
kompetensi mengacu pada pengetahuan yang mendasari sistem,
peristiwa, atau tindakan. Kompetensi itu tidak dapat diobservasi. Performansi
merupakan perwujudan atau realisasi kompetensi yang dapat diamati secara jelas.
Kompetensi merupakan suatu perbuatan aktual seperti berjalan, menyanyi, menari,
dan berbicara. Dalam masyarakat teknologi perbedaan kompetensi dan performansi
digunakan dalam semua sisi kehidupan, misalnya, diasumsikan anak-anak memiliki
komptenesi tertentu bahwa kompetensi itu dapat diukur dan dinilai dengan teknik
observasi dari sampel yang dipilih dengan apa yang disebut tes atau ujian.
b.
Komprehensi dan Produksi
Komprehensi dan produksi dapat merupakan aspek performansi maupun
kompetensi. Mitos yang tersebar selama ini dalam pembelajaran bahasa adalah
anggapan bahwa komprehensi, yakni menyimak dan membaca, sama dengan kompetensi,
dan produksi, yakni berbicara dan menulis sama dengan performansi. Perlu
diketahui bahwa masalah bukanlah demikian itu. Produksi tentu saja dapat
diamati secara lebih langsung, tetapi komprehensi juga merupakan performansi
seperti halnya produksi (kalau kita pinjam istilah Ferdinand de Sassure adalah
keinginan bertindak).
c.
Dasar versus Ajar (nature versus nurture)
Kaum nativis yakin bahwa anak itu sejak lahir sudah diberi bakat
bawaan yang disebut piranti pemerolehan bahasa (language acquisition device), atau tata bahasa universal (universal grammar). Hipotesis bakat bawaan
ini mungkin merupakan pemecahan masalah atas kontradiksi yang berkembang dalam
alirah behaviorisme yang menyatakan bahwa bahasa itu adalah seperangkat
kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses kondisioning dan penguatan.
Namun, harus diakui bahwa kondisioning semacam ini terlalu lamban dan tidak
efisien, serta kurang dapat dipertanggungjawabkan untuk sebuah proses
pemerolehan bahasa yang begitu kompleks.
d.
Kesemestaan
Linguis structural sangat yakin bahwa bahasa itu dapat
berbeda-beda satu dengan yang lain tanpa batas. Sebaliknya linguis generatif
transformasi yang dipelopori oleh Chomsky sangat percaya bahwa ada kesemestaan
bahasa, ada tata bahasa universal. Kalau tidak, bagaimana seorang anak dapat
belajar bahasa apapun yang dipajankan padanya?kenyataannya anak-anak di dunia
ini belajar bahasa dengan cara yang hampir sama. Anak-anak memperoleh /p/ dan
/b/, kemudian /t/ dan /d/ baru kemudian memperoleh /k/ dan /g/. Begitu juga
anak akan memproduksi kalimat satu kata dulu, baru dua kata, dan kemudian tiga
kata.
e.
Sistemasitas dan Variabilitas
Asumsi yang muncul dalam pemerolehan bahasa anak adalah sistemasitas
proses pemerolehan. Dari tata bahasa tumpu (atau tata bahasa pivot) sampai pada
ujaran tiga atau empat kata, serta sampai pada kalimat lengkap yang hampir tak
dapat ditentukan panjangnya, anak menunjukan kemampuan yang luar biasa untuk
menyususn kaidah tentang fonologi, struktur, leksikal, serta semantik suatu
bahasa. Proses belajar anak itu bervariasi. Penguasaan bunyi-bunyi bahasa
mungkin urutannya dapat diramalkan dan bersifat universal. Tetapi, kapan anak
memperoleh, tepatnya waktunya kapan, dari anak sangat bervariasi.
f.
Bahasa dan Pikiran
Menurut pandangan behavioristik, kognisi tak layak dibahas karena
terlalu berbau mentalistik dan tidak dapat diamati secara langsung. Padahal
menurut Piaget (1972) perkembangan kognitif merupakan organism manusia yang
paling utama dan bahwa bahasa bergantung pada dan bersemi karena perkembangan
kognitif.
Isu yang penting di sini adalah bagaimanakah bahasa itu
mempengaruhi pikiran dan bagaimanakah pikiran itu juga mempengaruhi bahasa.
Yang jelas adalah bahwa bahasa itu ialah pandangan hidup kita, bahasa adalah
fondasi keberadaan kita, dan berinteraksi secara simultasn dengan pikiran dan
perasaan.
g.
Imitasi (Peniruan)
Penelitian menunjukkan bahwa anak adalah peniru yang baik.
Peniruan merupakan strategi yang penting yang digunakan anak dalam pemerolehan
bahasa. Kesimpulan itu tidak akurat dalam tataran global. Memang, penelitian
menunjukkan bahwa strategi peniruan merupakan strategi yang banyak digunakan
pada awal perkembangan bahasa anak.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Adapun simpulan dalam makalah ini sebagai berikut.
1)
Kaum behavioris yakin bahwa
belajar bahasa pada hakikatnya adalah masalah pembiasaan dan pembentukan
kebiasaan. Proses pembelajaran yang penting adalah adanya stimulus dan respons
dan adanya penguatan.
2)
Teori generatif menggunakan pendekatan rasionalitik,
maksudnya adalah mencari penjelasan yang gamblang dan jelas tentang rahasia
pemerolahan danbelajar bahasa. Ada dua tipe teori generatif yang dikenal dalam
penelitian bahasa, kedua teori tersebut yaitu nativisme dan kognitivisme. Teori
generatif menyatakan bahwa manusia lahir dengan bakatnya.
3)
Teori fungsional menekankan pandangan bahwa bahasa
merupakan perwujudan kemampuan kognitif dan afektif, untuk menyiasati dunia,
untuk berkomunikasi dengan orang lain, dan untuk diri sendiri; serta menngkaji
fungsi bahasa menjadi pumpunan para penganut fungsional.
4)
Beberapa isu pentinmg yang berhubungan dengan
pembelajaran bahasa, yaitu:
a.
kompetensi dan performasi
b.
komprehensi dan produksi
c.
ajar versus dasar
d.
tata bahasa universal
e.
sistematisitas dan variabilitas
f.
bahasa dan pikiran
g.
peniruan (imitasi)
h.
masukan
i.
wacana
Sastra
bandingan merupakan salah satu bidang pengkajian yang cukup luas ruang
lingkupnya serta memiliki sifat yang rentan. Tokoh-tokoh yang
berkecimpung dalam disiplin ilmu sastra bandingan memiliki pandangan
yang berbeda-beda mengenai disiplin tersebut. Pada saat tertentu fungsi
dan kaidah sastra bandingan bertumpang tindih dengan bidang pengkajian
sastra yang lain seperti teori, sejarah, dan kritik sastra.
Perbedaan
tanggapan para tokoh tersebut terlihat begitu jelas pada tokoh-tokoh
dari madzab Perancis (lama) dan madzab Amerika (modern). Tokoh-tokoh
dari madzab Perancis seperti H. M. Posnett, Yoseph Texte Terdinand
Baldensperger, M. F. Guyard, Paul van Tieghem, dan Jeane Marie Carre
menanggapi sastra bandingan dalam hubungan “historiko saintifik” (pengkajian secara biologis dan menurut teori-teori evolusi).
M.
F. Guyard menganggap sastra bandingan dalam konteks sebagai sejarah
hubungan kesusastraan antarbangsa. Jean Marie Carre menganggap sastra
bandingan sebagai cabang sejarah kesusastraan, sedang Paul van Tieghem
menganggap sastra bandingan semata-mata bertujuan mengkaji karya sastra
antarbangsa dan hubungannya.
Tanggapan
tokoh-tokoh madzab Amerika seperti Frank Waldeigh Chandler, Henry
Remak, A. Owen Aldridge, Rene Wellek, dan Austin Warren lebih luas dan
memberi implikasi bahwa sastra bandingan merupakan satu bidang
pengkajian yang lebih menyeluruh tapi terpusat pada teks sastra.
Karena
perbedaan tanggapan seperti yang telah diuraikan di atas, maka sastra
bandingan cenderung ke ranah yang sangat luas, dalam, dan rentan. Dari
sinilah timbul berbagai kerumitan yang harus dihadapi oleh seorang
pengkaji dalam mengaplikasikan sastra bandingan. Misalnya aspek genetik
yang merupakan salah satu pendekatan atau kaidah dalam pengkajian sastra
bandingan.
Dalam
mengkaji asal-usul sebuah karya sastra, terdapat lima aspek yang harus
diberi tumpuan, yaitu: 1) pengaruh; 2) saduran (adaptasi); 3) jiplakan
(plagiat); 4) peniruan (imitasi); 5) terjemahan. Masalah yang cukup
menonjol disini ialah menentukan garis panduan yang baku mengenai kelima
aspek tersebut.
Dari
permasalahan tersebut, mungkin saja terjadi kekeliruan atau salah
tafsir terhadap unsur-unsur yang diperbincangkan. Hal ini tentu
menciptakan salah satu kerumitan yang harus dihadapi oleh pengkaji
genetik.
Dalam
pengkajian genetik, pengkaji perlu meneliti unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik satu per satu karya sastra. Dari segi intrinsik, pengkaji
akan meneliti aspek-aspek struktural dua karya sastra atau lebih.
Pengamatan ekstrinsik (evolusi) selanjutnya dapat dikaji melalui latar
belakang kehidupan pengarang.
Pengkajian
genetik memang rumit. Pengkaji perlu melengkapi diri dengan pengetahuan
dan ilmu kesusastraan yang luas dan mendalam. Pengkaji juga perlu
mengenal karya-karya sastra di berbagai bangsa dan pada pelbagai zaman.
Pengkaji
juga perlu mempunyai banyak pengetahuan dalam berbagai disiplin lain
dan fenomena universal yang diperkirakan dapat membantu kerja pengkaji.
Semua ini cukup penting agar rumusan atau hasil kajian ini rasional dan
berwibawa.
Pengkajian
genetik ini cukup membantu dalam mengenal pasti keaslian sebuah karya
sastra. Pengkajian ini juga dapat menyingkap fenomena dan motif
kelahiran karya sastra, dan sekaligus dapat melihat karya sastra-karya
sastra dalam skenario yang kedudukannya lebih universal.
Pengkajian
genetik ini timbul karena minat yang begitu besar untuk memahami dan
menanggapi dunia kesusastraan dalam perspektif yang lebih mendalam,
meluas, dan bermakna. Pengkajian ini membuktikan bahwa bidang
kesusastraan tidaklah menyendiri dan terasing dari bidang-bidang lain.
Bidang kesusastraan merupakan salah satu bidang studi yang yang
bersama-sama dengan bidang studi lain dan saling berinteraksi, baik
secara sadar atau tidak sadar, dan secara langsung atau tidak langsung.
Pengaruh
Pengaruh
merupakan unsur ekstrinsik yaitu kejadian lingkungan pengarang seperti
pergolakan politik, sosial-ekonomi, sosial budaya, yang mempengaruhi dan
menggelitik perasaan dan jiwa pengarang, sehingga tanpa sadar pengarang
‘terpaksa’ menciptakan karya sastra. Namun dalam kenyataannya
seringkali ditemukan bahwa hal-hal yang mempengaruhi karya sastra yang
memiliki kemiripan bukan hanya sekadar hubungan pengaruh karya sastra
satu dan yang lain, namun juga adanya pengaruh secara sosio-historis
maupun pengaruh kultural. Terutama pada karya sastra yang bertema
universal, seperti cinta, diferensiasi sosial, ketuhanan, kepahlawanan,
dan sebagainya.
Kajian
konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra
bandingan. Karya yang terpengaruh dengan karya sebelumnya, tentu akan
memiliki identitas tersendiri. Dari proses pengaruh-mempengaruhi itu
akan terdapat berbagai aspek bandingan yang disebut varian. Dalam
konteks ini, memang karya sebelumnya dianggap karya “super”, artinya
bisa mempengaruhi karya berikutnya. Seberapa jauh keterpengaruhan
tersebut, tergantung kemampuan pengarang. Keterpengaruhan ini jelas akan
dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain : (a) perkembangan karir
pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya
pengarang. Dari tiga hal ini, manakala pengarang berikutnya bersikap
ceroboh, tentu akan terdapat pengaruh yang langsung atau semakin jelas.
Berbeda dengan pengarang yang kreatif, tentu pengaruh tersebut semakin
halus dan hampir tersembunyi. Pengarang yang banyak membaca karya lain
dan sering bermigrasi ke mana-mana, seringkali terpengaruh sumber.
Ada
sebuah kasus, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal
sebagai Hamka, seorang ulama yang sejak muda membangun tradisi menulis,
sehingga setiap langkah dalam pemikirannya bisa diperiksa dan
mempertanggungjawabkan dirinya sendiri, seperti yang kemudian
berlangsung dalam tuduhan plagiat atas Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
(1938). Meski novel ini sudah terbit sebelum proklamasi kemerdekaan
Indonesia, ternyata baru menjadi polemik tahun 1962 setelah mengalami
cetak ulang untuk kedelapan kalinya, yang sangat beruntung terkumpul
dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik (Junus Amir
Hamzah, 1963).
Mengikuti
polemik dalam buku tersebut, Hamka dituduh menjiplak karya Musthafa
al-Manfaluthi berjudul Magdalaine (disebut juga Madjdulin) yang
berbahasa Arab, dan telah diceritakan kembali dalam bentuk film di Mesir
dengan judul Dumu-El-Hub (Airmata Cinta). Disebutkan bahwa Manfaluthi
ternyata juga ”mentjarternja” dari karya berbahasa Perancis, Sous les
Tilleuls (Di Bawah Lindungan Bunga Tilia) yang ditulis Alphonse Karr.
Jika dalam hal Manfaluthi sumber bahasa Perancis itu disebut dengan
jelas; dalam hal Hamka, yang disebutkan sangat menyukai karya-karya
Manfaluthi, memang tidak. Setelah menyebutkan berbagai kemiripan pada
berbagai paragraf, termasuk bagaimana Hamka telah berkiat mengubahnya,
para penyerangnya memastikan status plagiator tersebut kepada Hamka,
sebagai kontradiksi terhadap status sosialnya sebagai agamawan.
Menurut
Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang akhirnya diterjemahkan
sebagai Magdalena (1963), ”Memang ada kemiripan plot, ada pikiran-
pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi
ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri.
Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi,
kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam
serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat
serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam
di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri….”
Ditambahkannya, ”Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri
demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali
kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka, adalah terlalu
gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di
Senen.”
Saduran
Saduran
atau adaptasi adalah penulisan kembali suatu karya sastra dalam genre
yang berbeda dengan genre pertama. Dalam menyadur biasanya unsur-unsur
intrinsik seperti alur, perwatakan, tema, dan sebagainya tetap sama
dengan karya yang disadur. Unsur-unsur intrinsik inilah yang dirunut
oleh pengkaji untuk menemukan asal-usul karya sastra (secara evolusi).
Pengkaji akan mengalami kerumitan lagi apabila karya yang disadur itu
karya asing.
Contoh
saduran yaitu novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata yang disadur
dalam bentuk film, drama musikal, dan mini seri. Cerpen Asma Nadia yang
berjudul “Emak ingin Naik Haji” yang disadur dalam bentuk film. Novel
“Ayat-Ayat Cinta” Karya Habiburrahman El Shirazi yang disadur dalam
bentuk film.
Jiplakan
Jiplakan
(plagiat) merupakan pengambilan bahan karya sastra orang lain yang
dikemukakan sebagai karya sendiri. Masalah awal pengkaji ialah
menentukan kriteria-kriteria jiplakan “pengambilan bahan karya orang
lain” yang bagaimanakah, atau hingga ke tahap manakah yang dapat
dianggap jiplakan? Pengertian plagiat itu subjektif, dan mungkin saja
keliru dengan gejala pengaruh, saduran, atau tiruan.
Dalam
hal sajak saduran dan terjemahan yang termuat di media cetak dengan
nama Chairil Anwar sebagai penulisnya, tanpa nama penulis sajak yang
menjadi sumbernya, seperti Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du
Perron, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden, itulah yang
disebut sebagai sajak plagiat. Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish, “The Young Dead Soldier”. Namun,
melalui perbandingan atas karya asli dalam bahasa Inggris dan Belanda,
dengan hasil saduran dan terjemahan Chairil dalam bahasa Indonesia,
sungguh HB Jassin sebaliknya telah menunjukkan ”kebesaran” Chairil
Anwar, yang harus bekerja dengan ”modal” bahasa dan pencapaian karya
sastra Indonesia seadanya yang tersedia sampai tahun kematiannya, yakni
1949.
Peniruan
Peniruan
(imitasi) mempunyai konotasi yang membawa implikasi yang kurang
menyenangkan, terutama bagi pengarang. Oleh karena itu, pengkaji
hendaknya berhati-hati dalam menentukan suatu karya sastra itu tercipta
karena pengaruh atau peniruan.
Saran
Saman (1986:104). “pengkajian pengaruh hendaknya dijadikan penerangan
terhadap proses penciptaan sebuah karya sastra.” Bahkan menurut Alridge:
“suatu karya sastra tidak akan terwujud tanpa pengarangnya membaca
karya sastra-karya sastra pengarang sebelumnya.” Sama dengan pendapat
Prof. Dr. A. Teeuw: “Karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan.”
Menurut
Barthes, teks bukan lagi deretan kata dengan makna teologis, yakni
bahwa ada ”pesan” dari pengarang yang berperan bagaikan Tuhan, melainkan
teks sebagai ruang multidimensi tempat telah dikawinkan dan
dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang aslinya: teks adalah
suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Seorang
pengarang diibaratkannya hidup di dalam kamus raksasa, tempat ia hidup
hanya untuk meniru buku, dan buku ini sendiri hanya merupakan jaringan
tanda, peniruan tanpa akhir. Suatu teks terdiri dari penulisan ganda,
beberapa kebudayaan yang bertemu dalam dialog, dalam hubungan-hubungan,
yang terkumpul bukan pada pengarang (yang kekiniannya sudah berlalu)
tetapi pada pembaca, ruang tempat teks diguratkan tanpa ada yang hilang.
Pembaca adalah seseorang yang memegang semua jalur dari mana tulisan
dibuat dalam medan yang sama. Sehingga, menurut Barthes, mitos harus
dibalik: Kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang.
Terjemahan
Terjemahan
adalah pemindahan suatu karya sastra dalam suatu bahasa ke bahasa yang
lain. Terjemahan juga merupakan suatu unsur yang dapat dikaji untuk
mengungkapkan asal-usul sebuah karya. Karya terjemahan sebenarnya tidak
menimbulkan banyak masalah bagi pengkaji genetik, karena penerjemahan
merupakan suatu proses dan aktivitas yang mempunyai konsep, kaidah, dan
garis panduan tertentu. Misalnya, Trisno Sumardjo menerjemahkan Romeo and Juliet (1595) karya William Shakespeare dengan Romeo dan Julia (Jakarta: Pembangunan, 1955; cetakan kedua diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1976). Nama Julia digunakan tentu saja dimaksudkan agar nama itu lebih akrab dengan pembaca Indonesia.
Simpulan
Lima
fenomena (pengaruh, saduran, tiruan, jiplakan, dan terjemahan) itu
sangat penting dikaji atau diteliti dalam usaha menemukan sumber dan
asal-usul sebuah karya sastra. Yang lebih penting dalam mengkaji sumber
dan asal-usul sebuah karya sastra, pengkaji perlu mendapatkan
bahan-bahan lain seperti karya sastra, tulisan nonsastra, tulisan dari
bidang-bidang lain, yang kemudian akan dapat mengkaji secara
perbandingan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2008. Teropong: Plagiarisme dan Kepengarangan. Jakarta : Kompas
Baribin, Raminah. 2003. Sastra Bandingan. Semarang : Universitas Negeri Semarang.