• PERSAUDARAAN

    Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha :Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan.

  • SETIA

    "Suro Diro Joyo Diningrat Lebur Dening Pangastuti" artinya segala kesempurnaan hidup ( Kesaktian, Kepandaian, Kejayaan, dan Kekayaan ) dapat diluluhkan dengan budi pekerti yang luhur.

  • HATI

    "Tega Larane, Ora Tego Patine" artinya bahwa orang SH Terate itu berani untuk menyakiti seseorang namun hanya kalau dengan niat untuk memperbaiki bukan merusak.

  • TERATE

    "IRENGAN" IKU JULUKANKU, ORA BERARTI SESAT ALIRANKU, KAFAN CEKELANKU ORA BERARTI SETAN PANUTANKU, SEDULURAN LANDASANKU BERSUMBER TEKO ATI LAKUKU, KESATRIO TANPO MONTRO, SAKTI TANPO NDADI, MENANG TANPO PAREWANGAN, KUWILAH WONG "IRENGAN" LAN UREP TANPO GABUNGAN, KARENO KITO UREP SECORO SEDULURAN, CAHYO TEJANE "TERATE" SUMBERING SOKO BUDI PEKERTI KANG LUHUR ! SH TERATE TETEP JAYA SELAMANYA ..

MELALUI MEDIA INI AKU CERITAKAN KISAH HIDUP Q TENTANG DUKA LARA, TAWA BAHAGIA, KARENA HANYA DENGAN HURUF-HURUF INILAH AKU BISA JUJUR DENGAN DIRI KU SENDIRI

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive for 2012-12-02

Dalam kisah hidup ini Q selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik meskipun semua itu terlalu berat untuk Q perankan. Tapi itulah kehidupan,semuanya itu adalah langkah yang harus Q tapaki. Langkah demi langkah telah Q pijaki dan disetiap langkah itu meninggalkan jejak,jejak yang terabadikan atau hanya bagian dari kisah untuk dilupakan, banyak sudah kisah yang Q rasa,semuanya Q hayati dan Q perankan sebagaimana layaknya seorang hamba yang tercipta untuk menopang ketentuan_Nya.

    Terkadangg Q tersenyum ketika menyadari tentang apa yang terjadi dan apa yang sudah terjadi. Bumi yang telah Q pijak menuntun Q pada satu pandangan hidup apa yang ada sekarang tidaklah lepas dengan apa pernah kita kerjakan di masalalu.


Masa lalu selalu menyadarkan Q bahwa Q adalah bagian dari dirinya yang semua itu tidak bisa Q sebutkan dan Q jabarkan dengan kata-kata. Masalalu yang Q lewati membuat Q tengelam dan larut dalam kenangan lalu. Dia ,dia,dia,dan dia bagian yang pernah mengisi kisah hidup Q dan sekarang Q di sini tanpa dia,dia,dan dia. Hanya ada satu yang sekarang ini, Dia. Dan Q mempercayainya bahwa dengan Dia yang ada sekarang ini akan mampu memberikan ketegarannya dalam menyongsong episode selanjutnya.


Dulu,ketika Q dan kamu bersama,banyak angan tercipta yang menjadikan cabuk untuk segera kita wujudkan bersama lalu bersujud syukur dan tertawa bangga akan hasil yang telah terwujud. Dulu kala jemari masih erat bertautan banyak waktu terukir melantunkan nada damai dalam jiwa. Bagi Q semua begitu indah sekalipun akhir dari semua itu adalah kesakitan,satu kepenatan yang membuat batin ini tersayat-sayat. Tapi semua itu sudah menjadi jalan cerita dari kisah kehidupan yang musti Q perankan.


Di sana kamu sekarang Q tahu,bagaimana kamu sekarang Q tak pernah tahu.dan Q tertawa dalam tanggis yang tertahan merasakan apa yang Q alami. Mungkin disana kamu melihat Q dan tahu rasa yang Q rasakan sekarang ini ??”... ach,,,,apalah arti dari sebuah pertanyaan kalau Q tak temukan jawabannya dari mu,Q tak pernah bertanya lagi ( walau kadang sebuah tanya datang menyayat-nyayat batin Q ini) karena apa yang ada sekarang ini sudah memberi suatu bukti nyata bahwa tak akan Q dapati sebuah jawaban karena kini kita berbeda alam.


Q slalu berusaha untuk tidak menyesali tentang semuanya yang terjadi, dan apa yang terjadi ini adalah atas keinginan_Nya.
Apapun yang terjadi,sampai detik ini Q masih percaya dan merasakan bahwa kamu masih sosok terbaik yang Q kenal,sekalipun Q dan kamu tak akan pernah menjadi KITA,namun Q masih percaya ada dunia kedua untuk mewujudkan semua itu.


KEPEREMPUANAN TOKOH MATSUMI DALAM NOVEL PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG DAN TOKOH SRINTIL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI
(Kajian Intertekstual)
oleh : R.A. Hartyanto






A. Pengantar

Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 2003 : 167). Mengenai hubungan kesejarahan ini diperkuat pula oleh pendapat Riffaterre (dalam Pradopo, 2003 : 167) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain.
Dalam menciptakan karya sastra, pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri (Sitanggang, 2003:81).
Pada tulisan ini akan dibahas intertekstualitas antara tokoh Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun (PKJ) karya Lan Fang dan tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari dari segi keperempuanan. Oleh karena itu, akan sedikit disinggung juga mengenai teori feminis yang berkait dengan hal keperempuanan dimana akan dibahas selanjutnya sebagai dasar untuk melihat fenomena pandangan ”Keperempuanan” menurut Lan Fang sebagai wanita penulis dan Ahmad Tohari sebagai lelaki penulis sehingga memungkinkan munculnya bias gender didalamnya.
Baik tokoh Matsumi dalam PKJ maupun tokoh Srintil dalam RDP sama-sama merupakan tokoh perempuan yang terjebak dalam kekuasaan politik, jeratan hidup, budaya serta tuntutan profesi yang selalu membawa mereka dalam permasalahan-permasalahan yang tak jarang memaksa untuk meneteskan air mata, mengurai senyum, serta membenamkan harga diri dalam suatu kekecewaan. Matsumi dalam PKJ adalah sebagai seorang Geisha, sedangkan Srintil dalam RDP adalah sebagai seorang Ronggeng.




B. Intertekstualitas Sastra

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi. (Ratna, 2004 : 173)
Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjutnya Riffaterre (dalam Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya.
Frow (dalam Endraswara, 2003:131), mengemukakan interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni:
1. konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks,
2. teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks,
3. ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu,
4. bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implicit,
5. hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu,
6. pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,
7. dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan
8. analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih terfokus pada pengaruh.



C. Keperempuanan


Tidak seperti feminisme yang lebih cenderung mengekspos superioritas perempuan dan menghapus inferioritasnya, maka makalah ini membahas perempuan dengan segala keadaannya baik itu yang menjadi superioritas maupun inferioritasnya. Dalam makalah ini diambil beberapa focus pembahasan yang menyangkut diri perempuan, yakni mengenai cinta, seksualitas dan kekuasaan perempuan.
Konsep mengenai cinta menurut Erich Fromm (2007 : 232) ini mungkin dapat mewakili pendangan cinta bagi perempuan. Menurutnya, cinta tidak dapat dipisahkan dengan kebebasan dan kemandirian. Bertolak belakang dengan konsep cinta semu, asumsi dasar dari cinta adalah kebebasan dan kesetaraan. Cinta adalah kekuatan, kemandirian, integritas diri yang dapat berdiri sendiri dan menanggung kesunyian. Asumsi ini mempertahankan kebenaran untuk mencinta dan juga untuk dicintai orang. Cinta merupakan sebuah tindakan spontan, dan spontanitas berarti juga secara harfiah kemampuan untuk bertindak atas keinginannya sendiri.jika kecemasan dan kelemahan diri membuat tidak mungkin untuk individu agar berakar pada dirinya sendiri, dapat dikatakan ia tidak bisa mencintai.
Bachofen dalam Erich Fromm (2007 : 6) mengemukakan hubungannya cinta pada perempuan. Menurut Bachofen, “Di masa mudanya, perempuan lebih dahulu menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap makhluk lain ketimbang laki-laki, dan melampaui batas-batas ego, dan menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk melindungi dan memperbaiki eksistensi orang lain. Perempuan, pada tahap ini merupakan khazanah dari setiap kebudayaan, dari sebuah kebaikan, dari seluruh pemujaan, dari segenap perhatian terhadap kehidupan dan rasa duka cita terhadap kematian”.
Apa yang diutarakan mengenai cinta tersebut, masih sebagian kecil dari sekian banyak hal yang ada pada seorang perempuan. Arti pentingnya keperawanan bagi perempuan misalnya, mengapa ketika pada malam pertama pernikahan dua jenis manusia yang berlainan maka yang akan dipertanyakan adalah mengenai keperawanan bukan keperjakaan. Ini dikarenakan ada hubungan berat sebelah yang telah tercipta secara turun temurun. Seperti yang dikatakan Selden (1996 : 137) bahwa perempuan terikat dalam hubungan berat sebelah denan laki-laki. Laki-laki adalah yang satu, perempuan adalah yang lain.
Jadi keperempuanan dalam hal ini tidak hanya menginterpretasikan bagaimana perempuan melawan, bagaimana perempuan menjadi kuat, tetapi juga bagaimana perempuan memainkan perasaan, bagaimana perempuan meneteskan air mata dan bagaimana perempuan menempatkan diri sesuai dengan apa yang dimiliki dari dalam dirinya yang seutuhnya.

D. Interteks Keperempuanan Tokoh Matsumi dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang dan Tokoh Srintil dalam Novel Rongeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.

Dari sedikit penjelasan mengenai “keperempuan” diatas maka selanjutnya hubungan intertekstualitas ini akan difokuskan dalam beberapa hal, diantaranya :
  1. Cinta
    • Persamaan :
Baik tokoh Matsumi dalam PKJ maupun tokoh Srintil dalam RDP sama-sama memiliki rasa cinta kepada lawan jenis. Tokoh Matsumi misalnya, jatuh cinta pada lelaki bernama Sujono, seorang kuli angkut barang yang telah memiliki istri dan anak, yang kemudian mampu membuat Matsumi mampu mengambil keputusan penting dalam hidupnya yakni memutuskan untuk tidak menjadi seorang geisha.
Kesadaran Matsumi mengenai perasaan cintanya terhadap Sujono dapat dilihat dalam kutipan berikut :
Kusadari…… aku sudah terlibat perasaan dengan Sujono. Sujono membuat dunia berbeda di mataku. Ia memujaku. Ia mencintaiku. Ia ingin memilikiku. Ia begitu menyihirku. Sujono seperti sake. Ia manis. Ia memabukkan. Ia melambungkan. Ia adalah mimpi. (hal. 137)
Perasaan cinta dan kasih sayang yang dimiliki oleh Matsumi ini tidak terlepas dari konsep mengenai cinta yang sebelumnya telah dimiliki oleh Matsumi sebagai seorang perempuan. Dapat dilihat dalam kutipan berikut ;
Bukankah tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain menjadi milik orang yang mencintai kita dan kita cintai ?. (hal. 139)
Perasaan cinta yang mendalam dirasakan juga oleh Srintil dalam RDP, yakni ketika Srintil jatuh cinta pada Rasus, seorang lelaki dari pedukuhan yang sama dengan dirinya, bahkan teman bermain sejak kecil yang pada akhirnya menjadi seorang tentara dan membuat Srintil mabuk asmara. Kisah cinta antara Rasus dan Srintil ini menjadi pembicaraan warga pedukuhan, yang beberapa diantaranya seperti terlihat di bawah ini ;
“Eh dengar! Pernahkah terjadi seorang Ronggeng mabuk kepayang terhadap seorang lelaki?” kata seorang perempuan yang bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka.
“Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian.” Jawab perempuan kedua. “Yang baku, seorang laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun. Lha bagaimana kalau dia sendiri dimabuk cinta demikian ?”.
“Ya Srintil memang aneh. Nah, kalau sudah terjadi demikian maka Nyai Kartareja yang bersalah.”(hal. 115)
Kejadian jatuh cintanya seorang ronggeng kepada seorang pemuda ini dirasa janggal oleh warga pedukuhan, namun besarnya perasaan cinta Srintil terhadap Rasus mampu membuat Srintil mengambil keputusan penting untuk menolak naik pentas.
“Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus, Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas. Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangan.” (hal. 115)
    • Perbedaan :
Yang berbeda dari kedua tokoh ini dalam hal percintaan adalah ketika pada akhirnya Matsumi tidak tahan terhadap prilaku Sujono yang dirasanya semakin enaknya sendiri sehingga pada akhirnya perasaan cinta yang dirasakan Matsumi berangsur pudar dan berubah menjadi rasa benci. Berbeda dengan Srintil yang dengan menghilangnya Rasus dari hidupnya tidak pernah mampu menghapus rasa cinta yang bertahun-tahun tetap disimpan hingga akhir hayat.
  1. Keperawanan
    • Persamaan :
Dalam hal keperawanan, tokoh Matsumi dalam PKJ dan tokoh Srintil dalam RDP sama-sama mengalami proses semacam pelelangan keperawanan yang bagi sorang geisha seperti Matsumi dinamakan mizuage sedangkan bagi seorang ronggeng seperti Srintil dinamakan bukak-klambu. Proses pelelangan keperawanan ini maksudnya adalah dimana keperawanan seorang perempuan akan diakhiri oleh lelaki beruntung yang memenangkan proses pelelangan. Penentuannya adalah dengan menobatkan siapa lelaki yang mampu membayar (menghargai) sang perempuan dengan harga yang paling tinggi adalah sebagai lelaki yang berhak untuk mengakhiri keperawanan sang ronggeng maupun sang geisha.
Berikut kutipan yang menunjukkan proses pelelangan keperawanan yang dialami oleh tokoh Matsumi :
Ketika usiaku mencapai empat belas tahun, aku menjadi Geisha. Sebelumnya aku menjalani mizuage, yaitu proses melelang keperawananku kepada penawar dengan harga tertinggi. Waktu itu, menurut induk semangku, ada tiga orang kaya dan terpandang di Kyoto yang menawariku. Induk semangku membawa aku ke hadapan mereka. Mereka, satu persatu, melihatku dalam keadaan telanjang bulat. Induk semangku melepaskan kimono dan obiku satu persatu, sampai aku polos di hadapan mereka. (hal. 104)
Dan berikut adalah kutipan yang menunjukkan ketika Srintil harus mengalami proses pelelangan keperawanan :
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (hal. 51)
    • Perbedaan :
Proses pelelangan keperawanan Matsumi diakhiri dengan harga mizuage-nya yang mencapai harga tertinggi sehingga laki-laki yang berani memberi harga tertinggi berhak untuk benar-benar mengakhiri keperawanan Matsumi saat itu.
Dan sungguh mengejutkan ketika mizuage-ku ternyata mencapai harga tertinggi untuk geisha seangkatanku di Gion. Bahkan menurut Yuriko, harga mizuage-ku melampaui harga mizuage-nya. (hal.104)
Sedangkan yang terjadi pada Srintil tidaklah demikian, sebab sesaat sebelum proses bukak-klambu berakhir dengan penawaran tertinggi dari seorang pemuda bernama Dower, ternyata Srintil telah menyerahkan keperawanan yang dianggapnya sangat bernilai itu kepada lelaki yang benar-benar ia cintai, yakni kepada Rasus yang saat itu berada di belakang rumah dalam keadaan gelap dan tak terlihat :
Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai yang berlaku pada pribadi-pribadi. Orang berpikir lebih primitive dalam suasana tanpa cahaya. Dan sebuah prilaku primitive memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun tangan mengguruiku dan Srintil. Boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah, karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh. (hal.76)
Sehingga pemuda bernama Dower yang telah memenangkan sayembara bukak-klambu atas diri Srintil tidak pernah tahu bahwa perempuan yang disayembarakan ternyata telah tidak perawan :
“Kau telah memperoleh hadiah sayembara bukak-klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas bukan ?”
Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah keinginannya memperoleh sebutan sebagai pemuda yang mewisuda ronggeng Srintil. Virgin atau tidak virgin ronggeng yang ditidurinya, menjadi naïf Dower. (hal. 77)
  1. Seksualitas
    • Persamaan :
Sebagai seorang Geisha, Matsumi tidak hanya melayani laki-laki untuk mencapai kepuasan dengan kemampuannya memainkan gairah seksual, tetapi lebih daripada itu, ada seni yang dimiliki oleh Matsumi. Seni sebagai seorang Geisha yang perlu bertahun-tahun untuk mempelajari dan menguasainya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
Setidaknya aku juga perempuan. Aku juga perempuan yang melayani laki-laki untuk mencapai kepuasan tertinggi. Tetapi aku tidak hanya sekadar mengangkang untuk dimasuki puluhan laki-laki dalam sehari. Aku bisa manyanyi, menari, bermain shamisen, memandikan laki-lakiku di ofuro, sampai mereka terbang mengoyak langit. Meretas dalam erangan panjang. (hal. 116)
Sebagai seorang Ronggeng, Srintil juga tidak sekadar menundukkan laki-laki dengan permainan birahinya. Lebih daripada itu, Srintil bisa menari, mengikuti nada calung yang mampu menggetarkan dan membius penontonnya sebelum akhirnya banyak penonton yang akan menginginkannya dan bernafsu untuk menidurinya.
Dan siapapun yang mengikuti perkembangan Srintil sejak awal tidak akan menemukan perubahan-perubahan dalam gaya tariannya meski dia hampir enam tahun menjadi ronggeng. Kecuali malam itu yang terbukti lain. Si buta Sakum justru yang pertama merasakannya. Sakum mendengar suara gesekan kaki Srintil. Semuanya berubah. Srintil seakan menari dalam keadaan marah. Andaikan mata sakum awas, tentulah dia dapat melihat betapa Srintil mengangkat kedua lengannya lebih tinggi hingga tampak putih kulit ketiaknya. Goyang pundaknya lebih berani. Bila sedang pacak gulu mata Srintil tidak terarah pada penonton seperti telah menjadi ciri khasnya. Mata Srintil menantang bintang-bintang. (hal. 191)
    • Perbedaan :
Perbedaan zaman menjadi sangat kentara dalam hal ini dimana Matsumi dalam pelayanannya terhadap birahi laki-laki selalu diukur dengan kekuatan uang, berbeda dengan Srintil yang pada zamannya masyarakat belum sepenuhnya menganggap uang sebagai alat tukar utama untuk menunjukkan kekayaan sehingga dalam beberapa kesempatan, Srintil juga menerima pemberian berupa barang dari lelaki yang ingin menidurinya.
  1. Kekuasaan
    • Persamaan :
Kekuasaan yang ditunjukkan Matsumi sebagai seorang perempuan adalah ketika dia mampu membuat lelaki tunduk dan berlutut hingga mampu menciptakan rasa cemburu bagi lelaki yang ingin memilikinya. Seperti terjadi pada Sujono yang akhirnya merasa cemburu dan memaksa Matsumi untuk meninggalkan kelab hiburan malam tempatnya melayani tamu lelaki :
Kuminta Matsumi meninggalkan Kembang Jepun-Kelab hiburan Hanada-san. Aku ingin Matsumi hanya milikku. Tidak ingin berbagi lagi dengan laki-laki lain. Ia menurutiku. (hal. 184)
Perasaan cemburu juga terjadi pada diri Rasus dalam RDP. Segala yang ada pada diri Srintil telah membuah Rasus rapuh dan jatuh hati hinga yang terjadi adalah ketidakrelaan ketika Srintil harus melayani lelaki lain :
Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul Buntung! Pikirku. Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula hanya sakit hati karena aku tidak mungkin memenangkan sayembara akibat kemelaratanku serta usiaku yang baru empat belas tahun. Lebih dari itu, Memang Srintil telah dilahirkan untuk menjadi Ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Tetapi mendengar keperawanan disayembarakan, hatiku panas bukan main. Celakanya lagi, bukak-klambu yang harus dialami oleh Srintil sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapapun tak bisa mengubahnya, apa pula aku yang bernama Rasus. Jadi dengan perasaan perih aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi (hal.51)
    • Perbedaan :
Kekuasaan yang digambarkan oleh Matsumi harus diakhiri dengan kecerdikan Sujono yang mampu benar-benar memilikinya. Berbeda dengan Srintil yang sekalipun begitu besar rasa cemburu yang dimiliki oleh Rasus atas diri Srintil tidak mampu membuat keduanya bersatu seperti pada kutipan dalam RDP di bawah ini :
Sering kusumpahi diriku mengapa aku jadi merasa tersiksa karenanya. Kuajari diriku : kecantikan Srintil bukan hanya milikku, melainkan miliknya. Cambang halus di pipinya yang makin enak dipandang bukan milikku, melainkan miliknya juga. Kalau Srintil tersenyum sambil menari aku dibuatnya gemetar. Tetapi Srintil tersenyum bukan untukku, melainkan untuk semua orang. (Hal. 39)
  1. Pertemuan dengan laki-laki yang lemah
    • Persamaan :
Setelah meninggalkan Sujono yang mengecewakannya, Matsumi akhirnya kembali bertemu dengan lelaki lain yang bernama Takeda, sebagai seorang laki-laki, Takeda mengalami kelemahan pada masalah seksualitasnya :
Takeda bukan pencinta yang mahir. Ia jarang menciumku. Kalaupun mencium, itu hanya sekilas. Padahal aku ingin lebih lama, lebih dalam dan lebih mesra. Aku selalu terengah-engah seperti pelari haus mencari air. Takeda bukan pelari marathon. Ia selalu terlambat mengambl posisi lari dan terlalu cepat berhenti di tengah karena napas yang tersengal, karena gemetar dan tak mampu menahan gejolak yang memuncak. Ia tidak pernah mencapai titik akhir yang sempurna (hal. 272)
Kelemahan dalam diri Takeda juga terlihat dalam kutipan berikut :
“Aku takut tidak bisa memuaskanmu. Aku tidak kuat, katanya saat kami bercinta untuk kedua kalinya. Takeda hanya mengatakan itu satu kali. Sama seperti ia mengatakan ia mencintaiku. (hal. 274)
Hal yang sama juga terjadi pada diri Srintil ketika dia harus menjadi gowok dan ternyata dia harus bertemu dengan Waras sebagai lelaki yang lemah :
Dengan pertimbangan yang dalam Srintil menjawab dengan anggukan kepala. Waras terpesona. Dipandangnya Srintil dengan tatapan mata penuh rasa heran, sungguh-sungguh heran. Melalui anggukan kepala itu sesungguhnya Srintil sedang melakukan upaya kali terakhir. Penjajakan. Tetapi yang terbaca dari wajah Waras adalah sikap memustahilkan ragawi antara dua manusia lelaki dan perempuan, apapun namanya Srintil harus menelan ludah berkali-kali karena harus meyakini keadaan Waras, dia benar-benar hilang dari dunia kelelakian dan Srintil pasti tak sanggup lagi menemukannya. (Hal. 224)
    • Perbedaan :
Dalam pertemuannya dengan lelaki yang lemah, Matsumi dalam PKJ selalu diakhiri dengan persetubuhan :
“Sekejap saja ketika ia mencoba memasukiku, gairahnya membuncah. Buyar…! Usai… (hal 273)
Berbeda dengan Srintil dalam RDP yang tidak pernah terjadi persetubuhan dalam pertemuannya dengan lelaki yang lemah karena hilangnya kelelakian dari Waras (lelaki yang ditemui Srintil) :
Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu dalam keadaan seorang rongeng yang sebenarnya, dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikitpun menyelipkan kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar. Bahkan kosong. Waras hanya berhenti pada bermain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin lama geraknya semakin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi bocah. (hal. 223)
Terhadap lelaki yang lemah tersebut juga Matsumi pada akhirnya merasakan cinta, cinta dari seorang perempuan yang merasa iba atas kelemahan yang dialami oleh lelaki (Takeda), seperti yang diungkapkan sendiri oleh Matsumi dalam kutipan PKJ berikut ini :
“Kalau kali berikutnya persetubuhan itu terjadi. Itu karena aku sungguh ingin memberikan diriku untuknya. Kenapa ? Aku tidak tahu. Untuk apa ? Aku juga tidak tahu. Keinginan itu muncul tiba-tiba saja. Bukan karena gairah tapi karena aku merasa setiap hari perasaanku semakin bertambah dalam untuknya. (hal. 273)
Yang terjadi pada Srintil justru sebaliknya sebab tak ada rangsangan berahi yang dirasakan oleh Srintil ketika bertemu dengan Waras :
Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan menciuminya. Srintil pasrah saja. Atau geli. Tak ada rangsangan berahi. (hal. 214)
Dan perbedaan yang paling menonjol dalam hal pertemuannya dengan lelaki yang lemah bagi Matsumi adalah ketika akhirnya Matsumi kembali mengembalikan kelaki-lakian Takeda atas hasil jerih payahnya :
“Bagaimana rasanya ?!” tanyaku pada Takeda
“Tidak tahu. Bukankah kau yang merasakannya! Apa kaurasakan ?! Takeda selalu melempar balik pertanyaanku.
“Ya sekarang semakin lama semakin baik. Begini jawabku. (Hal. 274)
Sedangkan Srintil harus kecewa karena ternyata selama dia menjadi gowok bagi Waras, Srintil tak berhasil mengembalikan kelaki-lakian Waras yang hilang. Kekecewaan Srintil atas kegagalan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut :
Sebuah saputangan dalam genggaman Srintil penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak bisa mengusir rasa perih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakan sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. (Hal. 225)
  1. Naluri keibuan
    • Persamaan :
Pada dasarnya seorang perempuan tidak akan pernah terlepas dari naluri keibuannya, naluri untuk memiliki keluarga bahagia, naluri untuk memiliki seorang anak dari rahimnya. Matsumi dalam PKJ juga mengalami hal sedemikian rupa ketika akhirnya Matsumi hamil oleh Sujono dan memutuskan untuk berhenti menjadi geisha. Berikut kutipannya ketika Matsumi harus menerima penghinaan karena berencana untuk berhenti menjadi geisha :
“Apakah kau lupa bahwa kau geisha tercantik ?! tidak pernah seorang Geisha hamil, melahirkan, dan mempunyai anak. Geisha adalah penghibur! Geisha harus selalu menjaga kecantikan wajah dan keindahan tubuh. Hamil, melahirkan, punya anak akan membuat wajah dan tubuhmu yang indah menjadi rusak…!”(hal. 141)
Demikian naluri keibuan yang dirasakan Srintil juga terlihat ketika dia merasa terhibur dengan keberadaan Goder (anak dari tetangganya) yang lucu dan membuat Srintil kembali bersemangat :
Srintil yang sedang merana secara ragawi maupun rohani bisa menerima keajaiban suasan ayang dibawa oleh si kecil Goder. Meski badannya lemah, dia berusaha duduk dan meminta. Tampi menyerahkan bayinya. Demikian setiap hari bila Tampi menjenguk Srintil di rumah Sakarya. (Hal. 136-137)
Yang jelas celoteh Srintil tentang bayi dan perkawinan hanya sebagai ungkapan perasaan secara emosional, tanpa suatu alasanyang mendukungnya. Lagipula aku merasa rendah diri karena Srintil telah menjadi seorang ronggeng yang benar-benar kaya.Namun seandainya keinginan Srintil memperoleh seorang bayi terdorong ketakutannya menghadapi hari tua. Aku tak bisa berbuat lain kecuali iba. Sangat iba ! (hal. 90)
    • Perbedaan :
Pada akhirnya keinginan Matsumi untuk memiliki seorang anak tercapai ketika dia melahirkan anak dari hasil hubungannya dengan Sujono yang akhirnya bayi tersebut diberinya nama Kaguya :
Dengan persediaan uang yang amat sedikit, aku melahirkan anak perempuanku. Seorang dukun bayi menolongku melahirkannya. Aku melahirkan menjelang matahari terbit. Sepanjang malam aku mengerang kesakitan. Hanya pembantuku yang menemaniku karena Sujono sudah pulang ke rumahnya. (hal. 149)
Keinginan memiliki seorang anak tidak terjadi pada diri Srintil karena sebelumnya Nyai Sakarya yang menjadi dukun Ronggengnya telah memijat indung telur Srintil hingga pecah dan membuat Ronggeng Dukuh Paruk tersebut tidak bisa memiliki seorang anak.

E. Penutup
Dari beberapa paparan mengenai keperempuanan tokoh Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang dan tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, maka dapat diketahui bahwa terdapat intertekstual dalam hal cinta, keperawanan, kekuasaan, seksualitas, dan naluri keibuan yang dimiliki oleh kedua tokoh perempuan tersebut.
Persamaan-persamaan yang ditemukan dalam kedua novel tersebut menunjukkan adanya hipogram karya sastra yang meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. (2) konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang diresepsi pengarang (Endraswara, 2003:132)
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalamnya juga menunjukkan bahwa pada karya sesudahnya terdapat pengembangan yang sifatnya berupa kreatifitas dari pengarang mengenai fenomena-fenomena yang timbul dari karya sebelumnya. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan karya sastra yang serupa tapi tak nampak sama. Sebabnya adalah karena ada sesuatu yang lain diantara keduanya.
DAFTAR RUJUKAN
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Lan Fang. 2006. Perempuan Kembang Jepun. Jakarta : Gramedia
Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki (Kajian Komprehensif tentang Gender). Yogyakarta : Jalasutra
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
______ 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogya : Gadjah Mada University Press.
Sitanggang, S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana
Tohari, Ahmad. 2004. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta : Gramedia.

Pendahuluan
Fenomenologi dan hermenutika telah menjadi semakin populer dewasa ini. Keduanya memiliki karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang hermeneutika berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita yang eksistensinya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan hermenutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Fenomenologi dengan Edmund Husserl-nya mampu “mengusung” menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-fulsup lain di abad 20, sedangkan hermeneutik, dengan Friedrich  Schleiermacher-nya (dikenal sebagai Bapak Hermeneutika modern), dijadikan banyak peneliti sebagai metode-metode penelitian tidak hanya menguak makna teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial.



Fenemoneologi didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran[1] sedang hermeneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-teks historis[2].
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya.
Ricoeur (1985), kemudian menyimpulkan bahwa fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi tidak berfungsi dengan baik dalam memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subjek. Untuk keperluan penafsiran itu, menurut Ricoeur sangat dibutuhkan disiplin lain yaitu hermeneutika. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur menggunakan metode fenomenologi hermeneutik.
Metode ini dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode penafsiran yang rigorous (ketat), dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang fenomena secara apa adanya, menyeluruh dan sistematik terutama dalam menjelaskan tentang identitas diri tanpa mengabaikan aspek objektivitasnya.
 Uraian singkat di atas mengisyaratkan ada perbedaan dan hubungan yang jelas antara dua bidang ilmu ini. Namun perbedaan dan hubungan itu belum terlihat begitu jelas sebelum mengarungi lebih jauh lagi.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan perbandingan fenomenoloogi dan hermeneutik sebagai bagian dari epistemologi.  Perbandingan ini difokuskan kepada persamaan/perbedaan dan juga kelemahan dan kekuatan masing-masing. Cuff dan Payne (1980: 3), menyebutkan suatu cabang ilmu pada dasarnya dibedakan mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkan[3]. Perbandingan yang baik tentu harus memperhatikan hal-hal tersebut[4].
Sebelum melakukan perbandingan, saya mencoba memaparkan secara singkat asal muasal pemikiran dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dibelakang “kesuksesan” epistemologi tersebut serta pokok-pokok pikirannya, ini dimaksudkan supaya lebih mudah untuk membandingkannya keduanya.

Fenomenologi
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-1777), seorang filsuf Jerman dalam bukunya Neues Organon (1764). Sebelum Lambert, istilah fenomenologi juga pernah dikemukan oleh filsup-filsup lainnya; Immanuel Kant (1724-1804) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Kant menyebutkan untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. Selain Kant, Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakitu suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomena menurut Hegel tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia[5].
Kemudian Edmund Husserl (1859–1838) membawa fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision dan Lebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi[6].
Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju kepada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala presuposisi. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.
Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak[7], atau ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran. Hegel (1807) menyebutkan pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia[8].
Husserl menyebut tugas utama fenomenologi adalah menjalin keterkaitan antara manusia dengan realitas. Keterkaitan ini mendorong manusia untuk mempelajari fenomena-fenomena yang ada dengan pengalaman langsung dengan realitas tersebut. Sehingga pengalaman tersebut akan memberikan sebuah penafsiran, yaitu esesnsi dari realitas tersebut. Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori-kategi yang sudah ada dalam pikiran. Husserl menyebutnya dengan istllah “kembalilah pada realitas itu sendiri”[9].
Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena dengan apa yang ada dalam pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berjalan apa adanya. Karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman indrawi yang bersifat relatif subjektif sedangkan fenomena adalah realitas yang bersifat objektif.
Dengan melepaskan segala pikiran tentang fenomena tersebut dan dari segala yang bukan esensi dari fenomena, maka akan terciptalah pengertian murni. Jadi fenomenologi ‘hanya’ sebagai jembatan untuk mengungkapkan noumena dari fenomena. Untuk menjalankan fungsinya, fenomenologi tidak terlepas dari tiga asumsinya: (1) pengetahuan adalah kesadaran, maksudnya diperoleh secara sadar; (2) makna sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan hubungan sesuatu itu dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa merupakan kendaraan makna.
Pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi yaitu (1) merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan (2) fenomenologi sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena–noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena (realitas di luar yang kita kenal).
Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak, tanpa harus dipengaruhi tanpa harus dipengaruhi oleh apapun. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

Tokoh di belakang Fenemenologi
Edmund Husserl (1859-1938)
Ia menyebut fenomenologi merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, fenemenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada “kesadaran yang murni”. Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu (1) Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan. (2) Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda, (3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni, dan (4) Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Menerapkan empat metode epoche, maka seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang diamati[10].

Max Scheler (1874-1928)
Ia menyebut metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam hubungan ini diperlukan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).
Ajaran Scheler terfokus kepada tiga hal yang mempunyai peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu: (1) fakta natural, (2) fakta ilmiah, dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.

Maurice Merlean-Ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman, dengan begitu nantinya akan menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, hanya memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real.
Fenomenologi menjadi “boming” dan arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. pemikiran ini mempengaruhi filsup-filsup besar lainnya seperti Ernst Cassier (neo-Kantianisme), Mc.Taggart (idealisme), Fregge (logisisme), Dilthey (hermeneutika) Kierkergaard (filsafat eksistensial), Derida (poststrukturalisme).

Hermeneutik
Akar permulaan hermenÄ“uein dan hermÄ“nia bisa ditemukan dalam Organon, Peri hermÄ“neias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On Interpretation” . Kata ini juga ditemukan dalam Oedipus at Colunus karya Plato, juga beberapa karya lainnya dari penulis awal yang terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus[11].
Dalam Organon, Peri hermÄ“neias dipaparkan kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari sebuah pengalaman mental, dan kata-kata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan. Tulisan ini dipercaya menjadi titik tolak bagi dimulainya pembahasan hermeneutika di era klasik. 
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Intensioanalisme diawali sejak hermeneutika romantisis dengan tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran Hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi produsernya. Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya, dan itu adalah tugas pembaca untuk mencarinya.
Menurut hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya, sehingga makna sudah ada dan hanya akan keluar jika diinterpretasikan. Pengertian ini didasarkan pada arti “makna” (meinen), yang menunjukkan arti bahwa makna suatu teks, tindak, hubungan, dan seterusnya adalah sesuatu yang ada dalam pikiran produsen, yang kemudian dikeluarkan melalui suatu tindak seperti memproduk teks. Dengan kata lain makna telah ada dan menanti untuk dipahami. Makna hanya berasal dari aktifitas produsen teks, bukan dari aktifitas orang lain, termasuk aktifitas interpretasi penafsir. Dengan kata lain, pembaca atau penafsir harus memahami teks yang ia baca, dan pembaca atau penafsir dapat menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasinya, keyakinan, dan keinginannya, namun dengan catatan penafsir harus menemukan alasan pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.
Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer memberikan defenisi berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika gadamerian bukan terletak pada instensi produsernya, melainkan pembacanya itu sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis, dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca.
Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri. Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca. Gagasan ini dengan sendirinya menyangkal origin. Dengan kata lain ia menolak suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya.
Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini, diasosiasikan pada Dewa Hermes[12] seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter[13] kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa.
Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada Hermes, dari kata kerja hermenÄ“uein ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu to express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan), dan to say (menyatakan). Makna-makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggirs “to interpret”, yang membentuk makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Oleh karenanya, interpertasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda  yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan dari bahasa lain[14].
Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan. Indikasi keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi mengetahui makna pesan yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga berarti harus mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Pengalihbahasaan merupakan bentuk lain dari penafsiran. Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Kehadiran hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam analisis Werner, ada tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika, dari masa interpretasi bibel hingga saat ini. Ketiga yang dimaksud Werner terbut yaitu (1) Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani, (2) Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab “suci” agama mereka, dan (3) Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan[15].
Richard E. Palmer (2005) menyimpulkan enam defenisi hermeneutika, keenam definisi tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi yang berkenaan dengan hermeneutika.
“Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswissenschaften, (5) fenomenologi esistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraik makna di balik mitos dan simbol” (Palmer 2005: 38)
Definisi yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran terutama penafsiran teks, defenisi tersebut dapat disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, geisteswissenschaften, eksistensial, dan kultural. Setiap defenisi merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat, melahirkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda namun memberi ruang bagi tindakan interpretasi, khususnya teks.


Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk hermeneutik, di sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran, melainkan metode. Tokoh utamanya adalah  J.C.Dannhauer. Pada masa ini, bentuk hermeneutika memunculkan banyak aliran serta corak yang terkadang saling bertolak belakang. Tokoh selanjutnya adalah Schleiermacher, dengan mencetuskan hermeneutika modern. Schleiermacher juga berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi secara metodologis.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural[16].

Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Dalam defenisi ini, hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian teks dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami pergeseran.
Menerapkan metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang terpenting adalah sang penafsir tidak hanya menarik nilai-nilai moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami “roh” yang berada di balik teks tersebut, dan menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama-agama. Tokoh pada masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh kalangan gereja[17].
Kajian terpenting dari fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.

Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari metode filologi, hermeneutika berkembang kearah sebuah ilmu yang memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu untuk memahami berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi teks. Filsuf yang banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik kepada hermeneutika adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa dikatakan semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami bahasa. Schleiermacher kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus kepada metode filologi, tetapi juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi[18].

Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Dalam defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai penafsiran melihat fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Martin Heidegger, dalam merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi seperti yang dikemukakan Edmund Husserl.  Dalam bukunya Being and Time (1927), ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein[19].
Heidegger tidak menyebut hermeneutika sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.

Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan hermeneutika kembali pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks”

Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di mana relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.

Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia) Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan pemahaman sejarah.  Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan mengurusi pemahaman sejarah[20].

Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol dengan cara membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini adalah Paul Richouer. Ia membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. 
Di samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan pada perkembang hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.  Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis.

Tokoh dibelakang Hermeneutika
Perubahan perspektif dan perkembangan hermeneutika tidak terlepas dari peran tokoh besar di baliknya. Setiap tokoh membawa pengaruh dan corak yang berbeda dengan dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Sumaryono (1999) dan Palmer (2005) menyebutkan beberapa tokoh tersebut.

Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)
Tokoh hermeneutika romantisis, memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Schleiermacher menyebutkan, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
F.D.E Schleiermacher ditempatkan sebagai tokoh Hermeneutik . Ia membedakan hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik yang mendefinisikan sebagai studi tentang memahami itu sendiri ( Richard E. Palmer, 1969 : 40 ). Scleiermacher menulis sebagai berikut: Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir , Hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis ( Schleiermacher, 1977 : 97 ). Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang teologis, filosofis, sebab merupakan ” bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya Schleiermacher menyatakan bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita. Namun bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai ” Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya interpretasi menjadi penting”.

Wilhelm Dilthey (1833 -1911)
Hermeneutika metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman hermeneutika bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikan nya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften[21]. Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan, Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang.

Edmund Husserl (1889 -1938)
Hermeneutika fenomenologis, ia beranggapan bahwa pemahaman teks harus dibiarkan berdiri sendiri tanpa adanya prasangka dan perspektif dari dari penafsir. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.

Martin Heidegger (1889 -1976)
Hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan.

Hans-Georg Gadamer (900-2002)
Hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis (1) kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”, (2) situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan, (3) setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. (4) menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna objektif teks.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya

Jurgen Habermas (1929)
Hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.
Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter

Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005)
Ia selalu menekankan betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang hidup di masyarkaat. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Kenyataan selalu tidak akan pernah lepas dari simbol-simbol yang harus di tafsirkan. Seperti halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. “Setiap teks mempunyai 3 macam otonomi, yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi cultural dan kondisi social pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu dimaksudkan” (Sumaryono, 1999,109)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.

Jürgen Habermas (1929)
Hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.

Perbandingan
Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat beberapa persamaan dan perbedaan dari fenomenologi dan hermeneutika. Beberapa persamaan dan perbedaan bisa dilihat berikut ini.
Teks ketika dipahami seseorang, secara tidak langsung akan memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak yang memungkinkan terciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi[22].
Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral, kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam memandang hakikat dan fungsi bahasa: Intensionalisme dan Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir. Sementara Hermeneutika Gadamerian sebaliknya memandang makna dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya. Hermeneutika Gadamerian dianggap sebagai sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks (meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the texts). Makna di balik teks , berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan teks berarti ditemukan (invented)[23].
Pada dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis pengalaman yang bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi, keinginan, kehendak yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial termasuk aktivitas berbahasa.
Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa menjadi medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat diungkap. 
Sedang makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat tidak dengan menunggu secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif terhadap tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui bahasa, peneliti fenomenlogis harus berusaha menemukan makna tersebut. Dalam keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan makna (create a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial, sehingga mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa.
Bahasa jelas merupakan sangat esensial bagi fenomenologi dan hermeneutika. Kedua disiplin ini tidak mungkin bisa menjalankan perannya tanpa menggunakan bahasa dalam “program-programnya”.
Fenomenologi dan hermeneutik juga menganggap bahwa pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada objek menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik yang memadai untuk melakukan pengertian, predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik, penempatan linguistik sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses penafsiran.
Ricoeur (1986) menggunakan analogi sebuah permainan dari pengalaman seni yang pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik. Pengalaman seni yang dimaksud adalah yang mengandung unsur permainan. Ketika seseorang mendapatkan pengalaman seni, dan suatu waktu ia memamerkan atau menampilkan pengalaman tersebut. Maka secara tidak langsung, kegiatan memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan dari medium linguistik. Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh penontonnya juga melalui medium linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunan dari pengalaman yang dihayati subjek, baik sebagai pameran maupun penonton.
Selain bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan sebagai teori pengalaman atau teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan pengalaman. Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutik berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual tersebut. Keduanya membicarakan objek sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang melingkupi.
Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Labenswelt (dunia-kehidupan) dalam fenomenologi, oleh hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep Labenswelt, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis.
Hermeneutik dan fenomenologi juga memiliki persamaan yang memungkinkan subjek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya akan tradisi historis.
Fenomenologi harus dibiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Seperti kata Husserl dengan menyebutnya dengan ”kembalilah pada realitas itu sendiri”. Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang ada dengan pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berbicara apa adanya. Hal ini disebabkan karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena adalah realitas yang bersifat obyektif. Berbeda dengan hermeneutika, dalam dalam menjalankan tugasnya hermeneutika harus memperhatikan sejarah, konteks, prinsip, religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Dengan memperhatikan beberapa kaidah tersebut hasil kajian hermeneutika akan jauh lebih sempurna.
Jika dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan hermeneutika jelas sangat berbeda. Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy, dengan pertanyaan utama ”apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar dari teologi, filsafat, dan kritik sastra, dengan pertanyaan utama, ”apa kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku atau produk yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran makna?”
Disamping persamaan dan perbedaan, fenomenologi dan hermeneutika juga mempunyai kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan dan kelemahan tersebut bisa dilihat di bawah ini.
Salah satu kekuatan filsafat fenomenologi adalah fenemenologi sebagai suatu metode keilmuan dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan.
Kekuatan fenomenologi lainnya adalah dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu,  ini dimaksudkan agar hasil dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran benar-benar objektif.
Kekuatan lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Di samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri. Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan[24]. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya tanpa perlu “intervensi” oleh apapun dan siapapun. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan, mengatasi krisis metodologi, dan mampu menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-fulsup lain di abad 20.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles." 
Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Ilmu dianggap bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Beberapa prinsip fenomenologi adalah: 1. kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; 2. hubungan antara peneliti dan subjek saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; 3. lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; 4. sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; 5. inkuiri terikat nilai, bukan values free.
Hermeneutika yang awalnya “hanya” interpretasi terhadap teks-teks kitab suci, dalam perkembangannya semakin melebarkan sayapnya hingga ke bidang-bidang lainnya dalam ilmu sosial: filologi, dassein dan pemahaman eksistensial, Interpretasi, dan sistem penafsiran.
Hermeneutika setidaknya disusun dalam tiga kesatuan yang sangat penting, yaitu (1) adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks, (2) harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap pesan itu. (3) adanya perantara atau kurir antara kedua belah pihak.
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutika yaitu hermeneutika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Kedua saling berbeda dalam meletakan posisi makna: di “produksi” atau di “pemirsa”.
Fenomenologi dan hermeneutika akhirnya dikawinkan oleh Ricoeur. Fenemenologi dianggap tidak bisa berdiri sendiri, harus didampingi oleh hermeneutika. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang “tak tergantikan” bagi hermeneutika, dan sebaliknya fenomenologi tidak bisa menjalankan programnya dengan baik jika tidak didukung oleh hermeneutika.
Bahasa merupakan peran yang sangat esensial bagi fenomenologi dan hermeneutika, melalui bahasa makna sebuah fenomena bisa diinterpretasi dengan baik.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, kedua disiplin ilmu ini jika digabungkan tentu akan akan untuk mendapatkan “efek luar biasa”. Fenomenologi dan Hermeneutis seperti sepasang suami istri yang ideal untuk “disandingkan”, mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing, dan juga saling “meninggikan” dengan kelebihan yang dimiliki*** [Derichard H. Putra]


DAFATAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Afandi, Abdullah Khozin. Fenomenologi. Int. (http://akhozinaffandi.blogspot.com /2010/02/fenomenologi.html/diakses 20 Januari 2011)
Ahimsa-Putra. 1985. Etnosains dan Etnometodologi, Sebuah Perbandingan. Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XII Nomor 2, hlm.103-133. Jakarta: LIPI.
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Delgaauw, Bernard. 2001. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Harfiah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hadiwijono, Hasan. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9. Yogyakarta: Kanisius
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Kuswarno, Engkus. Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitati. Int. (http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-penelitian-kualitatif/ diakses tanggal 19 Januari 2010)
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Reka Sarasin.
Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian, Jogjakarta: Ar-Ruzmedia.
Raharjo, Mudjia. Hermeneutika. Apa Manfaatnya? (http://mudjiarahardjo.com/ artikel/103-hermeneutika-apa-manfaatnya.html diakses pada 22 Januari 2011)
Suryaman, Oni. 2005. Hermeneutika, Selayang Pandang. Int., (http://id.wordpress.com/tag/hermeneutika/, diakses tanggal 20 Januari 2010)
Sutrisno, et.al.. 2005. Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2004. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Supriyono, J. 2004. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Titus, 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terj. M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Wuisman, J.J.J.M. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid I: Asas-Asas. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.

Klik "Show" untuk melihat Foto >>>>>>>>>> <<<<<<<<<< Foto melihat untuk "Show" Klik
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Merbabu dan Merapi.
  • Merbabu dan Q.
  • Merbabu dan Q.
  • Bersama kita BISA.

RepubliC_GothiC

""