MELALUI MEDIA INI AKU CERITAKAN KISAH HIDUP Q TENTANG DUKA LARA, TAWA BAHAGIA, KARENA HANYA DENGAN HURUF-HURUF INILAH AKU BISA JUJUR DENGAN DIRI KU SENDIRI

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

SasBan

Posted by Erstyn.S.N - -



pendahuluan
Objek kajian dalam penelitian kesusastraan sesungguhnya begitu komprehensif. Barangkali juga, selama manusia memerlukan sastra, selama itu pula terbuka peluang bagi siapa pun untuk melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan keberadaan sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.
Pertama, penelitian sastra meliputi cakupan yang begitu komprehensif. Dilihat dari rentang pembagian batas waktunya, penelitian sastra dapat mencakupi penelitian terhadap sastra tradisional sastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.
Kedua, penelitian sastra berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat dari ragamnya, penelitian sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa─novel dan cerpen— drama, dan esai kritik.
Ketiga, penelitian sastra berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah selesai, mengingat sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dilihat dari objek kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks sastra yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati. Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri.
Keempat, penelitian sastra dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan apa pun yang berhubungan dengan perjalanan dan perkembangan sastra. Dilihat dari kelahiran dan perjalanannya, penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah karya atau sejumlah karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh memusatkan perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya dalam rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah satu karya sastra dalam konteks sejarahnya.
Kelima, penelitian sastra dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteksnya. Dilihat dari sistem sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya, penerbit─termasuk media massa─sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya itu lahir dan menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca kritis atau kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam bidang sastra dengan berbagai aspeknya.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan faktor lain lebih panjang. Dalam hal ini, keseluruhan penelitian itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah teknisnya disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam pengertian itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.
Langkah apa saja yang perlu dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah satu aspek kesusastraan yang begitu komprehensif itu. Bagaimana pula kita dapat dengan mudah memilih dan menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu, apanya yang akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu.
Penelitian sastra secara akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada sejumlah syarat dan prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah mensyaratkan pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang sering menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau salah dua) pendekatan—dari sejumlah pendekatan yang ada—yang dapat kita pandang tepat dan pas sebagai alat analisisnya. Sejumlah hal itulah yang─barangkali—membuat kita─belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan teori dan metodologi, tanpa merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri yang justru hendak dijadikan objek atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu pula yang membawa dunia akademis terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif terhadap teori dan metodologi, tetapi acap kali atau bahkan cenderung mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah salah satu problem penelitian sastra di lingkungan dunia akademik.
Sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan kalangan akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menggairahkan penelitian sastra, baiklah kita mencermati dahulu pendapat Tanaka. Ronald Tanaka membagi penelitian sastra atas dua sistem besar, yaitu sistem makro dan sistem mikro. Meskipun konsep ini sejalan dengan gagasan Rene Wellek dan Austin Warren mengenai apa yang disebutnya sebagai pendekatan esktrinsik dan pendekatan intrinsik, gagasan Tanaka, khasnya mengenai sistem makro, meliputi penelitian yang jauh lebih luas. Dalam hal ini, Tanaka mencoba memasalahkan keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, peranan penerbit yang ditempatkannya dalam kerangka sistem produksi dan reproduksi, pembaca sebagai pemberi makna, dan kritikus yang terkadang ikut mempengaruhi citra pengarang. Untuk memberi gambaran lebih  jauh, mari kita periksa duduk persoalannya.


1.1       Latar Belakang
            Dewasa ini, era globalisasi telah merambah ke berbagai belahan dunia. Makin maraknya barang-barang luar negeri yang berdatangan ke Indonesia menjadi suatu hal yang tak asing lagi. Mulai dari produk Cina hingga produk yang berasal dari negeri Paman Sam itu. Namun, hal ini sepertinya tidak menjadi masalah terhadap karya-karya sastra di Indonesia sendiri.
            Mengapa demikian??” Hal ini karena karya-karya sastra di Indonesia memiliki tempat sendiri dihati para penggemarnya. Ya, itulah keunggulan orang-orang Indonesia yang gemar membaca. Apalagi kalau karya sastra itu berupa puisi, pasti sudah tak asing lagi di mata orang-orang Indonesia.
            Puisi-puisi karya orang-orang Indonesia. Bisa terbilang banyak sekali bahkan ada pula puisi yang tidak dicantumkan identitasnya atau yang biasa disebut dengan puisi anonim. Puisi-puisi itu menjadi cikal bakal akan lahirnya puisi-puisi lagi pada setiap generasi yang berbeda.
            Ada dua puisi yang mengandung unsur religius dari dua pengarang yang berbada Angkatan di Indonesia. Puisi-puisi itu yakni puisi “Doa” karya Chairil Anwar dan Puisi “Padamu Jua” karya Tengku Amir Hamzah. Sekilas dapat kita lihat adanya persamaan pada kedua puisi itu yakni pada pemilihan judul puisinya yang mengarah pada unsur religius. Namun, belum tentu hanya karena melihat judulnya sama maka isinya sama pula atau memang benar isinya serupa.
            Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai isi yang terkandung dalam kedua puisi itu. Penulis menggunakan tinjuan struktural dan Semiotik guna mengupas lebih dalam isi yang terdapat dalam kedua puisi itu untuk mendapatkan perbandingan di antara keduanya.
1.2       Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penulis merumuskan sebuah rumusan masalah yakni dengan memparafrasekan puisi DOA
 karya Chairil Anwar dan puisi Padamu jua karyaAmir Hamzah kedalam bentuk prosa.
1.3       Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membandingkan puisi DOA karya Chairil Anwar dan puisi Padamu jua karyaAmir Hamzah adalah:
µ  Untuk mengetahui pemanfaatan unsur-unsur pembangun seperti: diksi, citraan, bahasa kias, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide dalam DOA karya Chairil Anwar dan puisi Padamu jua karyaAmir Hamzah.
µ  Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat membantu penikmat dalam memahami puisi DOA karya Chairil Anwar dan puisi Padamu jua karyaAmir Hamzah, serta dapat membantu penikmat dalam memilih karya sastra yang bernilai tinggi.
µ  Sebagai salah satu tugas akhir mata kuliah kajian sastra bandingan sebagai pengganti UAS.
II.        Landasan Teori
2.1.      Pengertian Puisi
            Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Puisi biasa dibuat oleh pengarang dengan tiga sasaran yaitu pertama, untuk dirinya sendiri sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pendapat-pendapat pengarang terhadap sesuatu; kedua, untuk redaksi maksudnya setelah puisi itu dibuat maka redakturlah yang memiliki kewajiban menyebarluaskan puisi tersebut kepada masyarakat; ketiga, untuk penikmat dan kritikus, bagi mereka puisi digunakan sebagai objek pengamatan ataupun hanya sekedar bahan bacaan.
Seperti diketahui bahasa puisi memiliki karakter tersendiri yang dalam istilah bahasa disebut bahasa konotasi. Bahasa konotasi tidak hanya didukung oleh artikel material tetapi lebih banyak berorientasi pada pengertian-pengertian non fisik yang ditopang oleh symbol-simbol, emosi, dan suasana hati. Oleh karena itu puisi lahir dari pertemuan dunia batin sumber inspirasi dan dunia batin penyairnya.
Menurut Vicil C. Coulter, kata poet berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980:10).
Ada beberapa pengertian lain.
1. Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
2. Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
3. Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
4. William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
5. Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
6. Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
7. Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.

2. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
1. Sense (tema, arti)
            Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
2. Feling (rasa)
            Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
3. Tone (nada)
            Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
4. Intention (tujuan)
            Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
1. Diction (diksi)
            Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
2. Imageri (imaji, daya bayang)
            Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
a) citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan.
b) Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran.
c) Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan.
d) Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
e) Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
f) Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.
g) Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.
3. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
4. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain;
a) Perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
b) Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
c) Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
d) Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
e) Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
f) Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
g) Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
5. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
a) Metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
b) Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
1. dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
2. Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
3. Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
6. Rima
            Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
a) Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b) Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi).
d) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e) Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f) Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h) Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a) Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b) Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d) Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
e) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
f) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i) Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j) Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k) Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d).
Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
a) Lapis bunyi (sound stratum), dan merupakan barangkali merupakan seluruh bunyi
Puisi merupakan satuan-satuan suara: suara suku kata. Jadi lapisan bunyi dalam suau sajak atau puisi adalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
b) Lapis arti (units of meaning)
Puisi itu terdiri dari satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satu-kesatuan makna.
c) Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
Pada lapisan ini diketahui bahwa dalam puisi terdapat latar, tokoh, dan dunia pengarang
d) Lapis implisit
Ada makna-makna tersembunyi yang ada pada setiap kata pada sebuah puisi.
e) Lapis metafisika (metaphysical qualities)
Lapisan ini yang membuat seorang pembaca dapat berkotemplasi ataupun berimajinasi terhadapa pusis yang dibacanya.
2.2 Pengertian Semiotik
Semiotika modern dipelopori oleh dua orang tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure (1855 – 1913), seorang ahli linguistik dan Charles Sander Peirce (1839 – 1914), seorang ahli filsafat. Saussure menyebutnya semiologi sedangkan Pierce menyebutnya semiotika (semiotics). Baik semiotika maupun semiologi, keduanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotic pada dasarnya adalah lanjutan dari pendekatan dengan semiotic karena karya sastra itu merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna.
Pengertian semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda–tanda (Pradopo dalam Jabrohim, 2003: 67). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signitied). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanta adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya.
Semiotika adalah ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda dalam hal ini dapat berupa kata, gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda (Sudjiman dan Zoest, 1996).
Istilah semiotika baru digunakan pada abad XVIII oleh Lambert seorang ahli filsafat Jerman. Orang baru memikirkan secara sitematis tentang penggunaan tanda dan ramai membahasnya dalam abad XX, kemudian banyak muncul pakar tentang semiotika. Misalnya Ronald Barthes dalam bukunya “Element de Semioligie (1953), J- Kriteva di dalam Semiotike (1969), Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics, dan lain – lain.
Semiotik adalah ilmu tanda- tanda. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.Dalam hubungannya antara penanda dan petanda ada beberapa jenis tanda yaitu ikon, indesk, dan symbol. Yang pertama ikon adalah tanda yang menununjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan ini adalah hubungan persamaan artinya ada yang dilihat dan dikatakan sama fengan faktanya. Kedua indeks adalah tanda yang yang menunjukkan hubungan kausal. Yang ketiga simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer. Artinya tanda itu ditentukan oleh konversi.
 Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified).
Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda.
 Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Pada penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang sering digunakan yaitu tanda yang menunjukkan hubungan sebab- akibat.

2.3       TEORI INTERTEKSTUAL
            Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan bahwa kajian intertekstual merupakan terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Mengacu pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren, 1990 :49).
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5)  pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata  berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami   dengan kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada dasarnya adalah membina atau membangun acuan. Adapun acauan itu didapat dari pengalaman membaca  teks-teks lain dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca: karya sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya disebut hipogram (hypogram). Dalam hubungan antar teks tersebut terdapat dua hal yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5), yaitu:7 (1) ekspansi (expansion), dan (2) konversi (conversion). Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram, sedangkan konversi adalah pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping itu, Partini Sardjono (l986: 63) menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh Riffaterre tersebut, yaitu: (3) modifikasi (modification) atau pengubahan, dan (4) ekserp (exerpt). Lebih lanjut Partini Sardjono menjelaskan bahwa modifikasi biasanya merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran kesastraan ialah manipulasi tokoh (protagonis) atau plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu unsur atau episode dari hipogram.
Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.



III        Pembahasan
3.1       Metode semiotik dalam penelitian sastra
Sastra (karya sastra) merupakan seni yang mempergunakan bahasa sebagi mediumnya. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra, sudah mempunyai sistem dan konversi sendiri, maka disebut sistem semiotik tingkat pertama. Sastra mempunyai sistem dan konversi sendiri yang mempergunakan bahasa, disebut sistem semiotik tingkat kedua.
Dikemukakan Preminger dkk (1974: 98) bahwa penerangan semiotik itu memandang obyek–obyek atau laku– aku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa, system linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis. Dikatakan selanjutnya aleh Preminger bahwa studi semiotic sastra adalah uasaha untuk menganalisis system tanda–tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menetukan konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Sebagai contohnya, kita akan menganalisis puisi. Puisi merupakan sistem tanda yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan. Tanda–tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi–konvensi (dalam) sastra. Contoh dari konvensi–konvensi puisi diantaranya adalah konvensi kebahasaan, konvensi ambiquitas, dan konvensi visual.
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi–konvensi sastra pada umumnya. Konvensi itu merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra, perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun temurun, bahkan kemudian sudah menjadi hakekat sastra sendiri.
2. Pembacaan semiotik: heuristik dan hermeneutik atau retroaktif,untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik/ retroaktif (Reffeterre dalam Jabrohim, 2003: 80).
3.2       Analisis Data
A.1.     Puisi 1 (Puisi “DOA” karya Chiril Anwar)
            DOA

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
CahyaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Sangat aneh kalau do’a dibuka dengan keragu-raguan. Dalam termangu, dalam keragu-raguannya, antara percaya dan tidak atau antara perlu tidaknya menghadap Tuhan. Si aku masih menyebut-nyebut nama Tuhan, masih mengingat-Nya, masih berdo’a kepada-Nya, mengadukan nasibnya yang malang.
Sesungguhnya bagi si aku, berdo’a dengan menyebut-nyebut nama Tuhan adalah sesuatu yang sangat susah, sangat sukar untuk dilakukan karena si aku masih ragu-ragu, masih termangu-mangu akan perlunya menghadap Tuhan. Masih perlukah si aku menghadap Tuhan, adakah gunanya menghadap dan berharap kepada Tuhan?. Rupanya si aku sajak Chairil Anwar ini tidak bisa setegas Sartre yang berpendapat bahwa Tuhan itu, meskipun ada, tetapi tidak ada pengaruh dan campur tangan-Nya apa pun atas nasib dan keberadaan manusia di dunia ini. Jadi, tidak perlu menyebut-nyebut nama Tuhan. Tetapi, tidak sedemikian atheis itu si Chairil. Betapapun sukarnya untuk melakukan hal itu, akhirnya ia menghadap Tuhan juga. Hal ini mengingat bahwa Kau, Tuhan, penuh seluruh, sungguh ada, Maha ada, solid. Efek kebulatan atau kepenuhan dalam sajak ini diperkuat oleh bunyi vocal u yang berulang dan diintensifkan bunyi h akhir: penuh seluruh.
Bagi si aku, dalam ketermanguannya itu, cahaya Tuhan yang panas, yang memancar dengan penuh kesucian menerangi hati manusia dari kegelapan, yang memanaskan orang yang kedinginan (kiasan untuk orang yang menderita), kini dalam hati si aku tinggal sekecil kerdipan lilin dalam kegelapan di tempat yang sunyi. Jadi, tidak cukup memberi penerangan. Padahal si aku ini membutuhkan penerangan, membutuhkan tumpuan untuk mengadukan nasibnya karena si aku ini hilang bentuk  dan remuk. Si aku sudah tidak berwujud lagi.
Dalam hidupnya ini, si aku merasa bahwa ia mengembara di negeri asing, kebingungan tak tahu arah, tidak ada kawan, sendirian, sebatang kara, tidak tahu apa yang dikerjakan. Si aku ini adalah “aku yang terlempar”, kata Sartre, tokoh filsafat eksistensialisme. Maka, satu-satunya teman, penolong atau penyelamat hanyalah Tuhan. Maka ketika si aku mengetuk pintu rumah Tuhan(berdo’a, sembahyang atau dzikir), dia tidak bisa berpaling lagi.
Dari uraian di atas, ternyata kata-kata “Do’a” Chairil Anwar dapat ditafsirkan bermacam-macam dan saling melengkapi. Itu pun masih belum mencukupi sepenuhnya. Hal ini disebabkan penggantian arti dan penyimpangan arti kata yang menciptakan ucapan yang tidak langsung.
A.2      biografi Chairil Anwar
            Chairil anwar dilahirkan 26 juli 1922 di Medan dan meninggal di Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Hari wafatnya dikenang & diperingati sebagai hari Chairil Anwar yang kemudian menjadi Hari Sastra Indonesia. Pendidikannya sampai MULO (tidak tamat). Pernah menjadi redaktur  “gelanggang”(ruang budaya majalah “Siasat” (1948-1949) dan redaktur “Gema Suasana” (1949)
            Kumpulan sajaknya berjudul Kerikil Tajam dan yang Terhempas dan yang Putus (1949). Deru Campur Debu (1949) dan Tiga Menguak Takdir (1950),dikarang bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). H.B Jassin membahas sajak-sajak dan mengumpulkan prosa-prosanya dalam buku nya Charil Anwar Plopor Angkatan 45 (1956).
            Button Raffel menterjemahkan sajak-sajak Charil Anwar di antaranya di dalam Selected Poems (of) Chairil Anwar (New York,1962), dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (New York,1970), dan oleh Liaw Yock Fang (dengan bantuan  H.B Jassin), The Complete Poem of Chairil Anwar  (Singapura,1974),terjemahan kedalam bahasa Jerman oleh WalterKarwath dengan judul Feuer und Asche (Wina. 1978)
            Selain menulis puisi, Chairil Anwar juga menulis terjemahan diantaranya terjemahan karya Andre Gidedengan judul Pulanglah Dia si Anak Hilang (1948) dan karya John  Steinbeck berjudul Kena Gempur (1951), yang pertama berupa sajak yang kedua berupa novel.
            Disertasi yang membicarakan karya-karya Chairil Anwar , ialah: ‘A Linguistic Analisis of the Poetry of of Amir Hamzah and Chairil Anwar” oleh Ny. Sri Untari Nababan (Ph.D.) di Ithaca NewYork, 1966; dan Boen Sri Oemarjati dengan judul disertasi “Chairil Anwar : Poet His Language” di Universitas Leiden (1972). Sutan Takdir pernah menulis pembahasan tentang puisi-puisi Chairil Anwar dengan judul : “Penilaian Chairil Anwar kembali” (Budaya,Jaya Maret 1976). Tesis Arif Budiman yang ditulis dengan metode Ganzheit berjudul Chairil Awar: Sebuah Pertemuan diterbitkan oleh Pustaka Jaya 1976.

B.1.     puisi 2 (Puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah)
PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku……….

            Dalam Puisi tersebut diatas terasa kuat perasaan Amir Hamzah dalam mengungkapkan eratnya hubungannya dengan “Engkau”terkadang “Engkau” itu disebyunya juga dengan “Mu”.perumpamaan dan lambang yang diciptakan untuk memperhidup ungkapkannya itu sangat bagus dan khas milik penyair. Perkataan-perkataan : “kandil gemerlap”,”pelita jendela di malam gelap ,”rindu rasa rindu rupa”,”kata merangkai hati”Engkau cemburu, Engkau ganas mangsa aku dalam cakarMu, bertukar tangkap dengan lepas”,”Engkau pelik menarik ingin bagai dara dibalik tirai”,adalah kata-katadengan ungkapan khas milik Amir Hamzah.Kunci untuk memahami puisi tersebut diatas berpusat pada “Mu” atau “Engkau”. Banyak yang menafsirkan bahwa”Mu” disini adalah Tuhan dan puisi ini di pandang sangat religius. Kemudian ungkapan-ungkapan tentang personifikasi Tuhan di hubungkan juga dengan ungkapan tasawuf.

Segala cinta si aku (kekasihnya yang baru) habis terkikis, tak bersisa, hilang terbang seperti halnya burung yang lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasih lamanya seperti sebelum mempunyai kekasih yang baru. Kata “pulang” (bait 1, baris 3) memberi makna bahwa si aku kembali dari pengembaraannya mencari cinta yang lain. Padahal, di rumahnya, kekasih lamanya tetap menunggunya.
Kekasih yang lama itu sesungguhnya sangat menarik seperti lilin yang menyala gemerlapan, dapat menyinari hati si aku, seperti halnya pelita di jendela yang member penerangan di malam yang gelap. Lilin itu juga sebagai tanda bahwa di rumahnya ada penerangan. Dengan kesabaran dan kesetiaan, ia memanggil si aku. Si aku pun pulang.
Hanya saja ada satu hal yang harus dinyatakan kepada kekasihnya itu. Yaitu si aku sebagai manusia yang wajar yang terdiri dari tulang, daging dan darah serta dilengkapi dengan panca indera itu merindukan rasa yang dapat diraba, diindera. Merindukan rupa atau wujud yang dapat dilihat dengan mata kepala. Sedangkan si engkau, kekasihnya itu, tidak berupa, tidak nampak oleh penglihatan dan suaranya sayup-sayup. Yang dapat dialami secara nyata oleh si aku hanya kata-kata yang merangkai di hati yang menyenangkan atau mengharukan atau hanya bersifat verbal saja, tanpa wujud. (kalau si engkau yang ghaib iniperumpamaan wujud Tuhan, maka “kata yang merangkai hati” itu adalah nama Tuhan atau kata-kata yang terdapat dalam kitab suci sebagai firman-Nya).
Kalau dipikirkan bahwa si engkau ini memisahkan si aku dengan kekasihnya yang baru (mengikis habis cintanya), maka si engkau, kekasih yang lama ini cemburu dan ganas seperti halnya binatang buas yang memangsa si aku dengan cakarnya. Dipermainkannya si aku berulang-ulang. Sesekali ditangkap dan sesekali dilepaskan. Karena itu si aku nanar seperti orang gila penasaran. Namun, rasa sayang (cinta) si aku akhirnya kembali juga ke pangkuan kekasihnya karena si engkau, kekasih si aku itu begitu pelik, penuh rahasia dan selalu menarik keinginan si aku, laksana gadis yang berada dibalik tirai yang menimbulkan keinginan si aku menlihatnya, mengenalnya lebih dekat. Segala sesuatu yang rahasia tetapi menyaran seperti halnya gadis di balik tirai itu yang selalu menarik perhatian dan menimbulkan kegairahan pada pemuda seperti si aku.
Cinta kekasihnya itu itu sunyi, menunggu kedatangan si aku seorang diri. “kasihmu sunyi/ menunngu seorang diri”, ini merupakan gambaran seorang kekasih (gadis) yang sangat sabar menemani kekasihnya (si aku) dalam kesunyiannya, tanpa pamrih demi cintanya. Hal ini pun menimbulkan kegairahan si aku. Namun, meskipun waktu telah berlalu, bukanlah giliran si aku untuk menemui kekasihnya itu. Meskipun hari telah mati, bukanlah kawan si aku, dalam arti si aku masih tetap hidup. Jadi, si aku tetap tidak bisa bertemu dengan kekasihnya karena kekasihnya itu bukan kekasih dunia. Tak dapat ditemui dengan badan jasmaninya. Yang dimaksud kekasih itu adalah Tuhan. Berdasarkan hal itu, rupanya si aku berpendapat bahwa orang tidak dapat menemui Tuhannya secara langsung kecuali sesudah mati. Si aku tetap tak dapat menemui Tuhan karena masih hidup.
Secara semiotik, hubungan antara aku dan dengan engkau dalam sajak ini digambarkan sebagai hubungan sepasang kekasih, antara pemuda dan gadisnya. Tanda-tanda hubungan percintaan itu berupa kata-kata yang mesra yang memenuhi sajak ini. Yaitu kata aku, engkau(dengan huruf kecil), cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu rasa, rindu rupa (bahkan juga “cemburu”), kasihmu, menunggu seorang diri. Oleh sebab itu, secara struktural, ketika si aku mempunyai kekasih baru, maka si dara di balik tirai itu cemburu dan ganas(bait 5) dan sebagai seekor singa, dia mempermainkan dan memangsa si aku dengan cakarnya. Artinya si aku supaya hanya mencintainya saja. Dengan demikian, cinta si aku dengan kekasih barunya jadi “ habis kikis”(bait 1) dan si aku kembali pulang kepadanya seperti semula. Tentu saja si aku marah dan jengkel( nanar aku gila sasar). Walau demikian, akhirnya cinta si aku kembali juga ke kekasihnya yang serupa dara dibalik tirai itu(bait 6) yang masih tetap menunggunya dengan penuh kasih, sunyi seorang diri.
Engkau yang digambarkan sebagai dara dibalik tirai itu, dalam sajak Amir Hamzah “Hanya Satu” pada bait terakhir adalah kekasih yang ingin dilihat dan dirasa dekat seperti pertemuan Nabi Musa a.s dengan Tuhannya di bukit Tursina. Konon katanya, Nabi Musa a.s berhadap-hadapan dengan Allah SWT dalam jarak yang sangat dekat.
Tuhan diwujudkan dalam bentuk manusia, dikiaskan sebagai dara, serupa kekasih itu adalah salah satu cara untuk menimbulkan simpati dan emphati kepada pembaca sehingga dia bersatu mesra dengan objeknya, hingga pembaca dapat ikut merasakan apa yang dirasakan penyairnya. Hal ini dikarenakan hubungan percintaan antar pemuda merupakan hubungan yang pada umumnya dianggap paling mesra dan menimbulkan rangsangan indera yang kuat. Begitu juga kiasan-kiasan lain untuk menimbulkan hal yang sama nampak dalam sajak itu.


METAFORA
Segala cintaku hilang terbang. Disini cinta itu diibaratkan sebagai burung yang lepas dan terbang. Dengan demikian, cinta yang abstrak tidak bertokoh itu menjadi konkret
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang
Sabar, setia selalu
Engkau dikiaskan seperti lilin yang terang, pelita yang berada di malam yang gelap, memberi gambaran yang nyata. Selain itu juga memperjelas gambaran si engkau yang menanti sunyi dengan si aku. Maka si engkau lebih menarik lagi, dengan dipadukan dengan majas personofikasi, yaitu melambai pulang perlahan/ sabar dan setia selalu.
Begitu pula metafora yang mengibaratkan “engkau cemburu” seperti hewan buas yang mengganas, memangsa si aku dalam cakarnya sambil mempermainkannya, menangkap, melepaskan, menangkap, melepaskan(bait 5)
SIMILE
Perbandingan yang mengkiaskan “engkau pelik menarik (ke)ingi(nan) serupa dara di balik tirai” ini sangat merangsang emosi. Dara di balik tirai itu selalu menarik bagi pemuda atau laki-laki, penuh rahasia tapi menyaran, menimbulkan keinginan untuk melihat dan mengenalnya lebih dekat, membangkitkan kegairahan.
PERSONIFIKASI
Kasihmu sunyi/ menunggu seorang diri(bait 7) memberi gambaran secara visual akan kesetiaan engkau terhadap si aku meskipun si aku sering melupakan engkau karena mencari cinta yang lain. Hal ini menggambarkan bahwa sesungguhnya Tuhan itu selalu menantikan manusia dengan kecintaan meskipun manusia sering melupakan dan meninggalkan-Nya seperti si aku.
CITRA GERAK
Segala cintaku hilang terbang/ Pulang kembali aku padamu/ seperti dahulu. Gerak itu ditandai dengan bunyi konsonan l deperkuat bunyi r seolah-olah tampak gerak burung terbang yang mewakili cinta yang hilang, begitu pula tampak gerak si aku yang lunglai. Begitu pula efek gerak yang digambarkan dengan bunyi l yang diperkuat dengan bunyi r tampak jelas dalam “kaulah kandil kemerlap/ pelita jendela di malam gelap/ melambai pulang perlahan”. Disini tampak gerak nyala lilin seperti melambai-lambai dalam kesunyian. Citra gerak itu dipadukan dengan citra penglihatan: kandil kemerlap, pelita di malam gelap, membuat yang abstrak menjadi kelihatan. Begitu juga dalam bait 5, citra gerak dikombinasikan dengan citra visual: Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Keganasan engkau itu terlihat dalam wujud: menangkap dengan cakar, melepaskannya dan menangkapnya lagi.  
CITRA RABAAN
Penglihatan yang merangsang indra digunakan dalam: Aku manusia/ Rindu rasa/ Rindu rupa(bait 4). Untuk merangsang pendengaran: Suara sayup/ Hanya kata merangkai hati. Penggunaan citraan itu memuncak dalam bait 6 baris 3 dan 4: Engkau pelik menarik ingin/ Serupa dara di balik tirai. Citraan gerak yang ditandai dengan bunyi r-l dikombinasikan dengancitra visual, tampak dalam mata pembaca: gadis yang secara samar-samar kelihatan di balik tirai, tak tampak seluruhnya tapi terasa keindahan dan keromantisannya sehingga merangsang, menggairahkan.

B2       Biografi Tengku Amir Hamzah

Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911 dan meninggal dunia pada 20 Maret 1946 di Kuala Begumit, Binjai. Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura yang kemudian disingkat menjadi Tengku Amir Hamzah. Nama Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah.
Ayahanda Tengku Amir Hamzah bernama Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil adalah Pangeran (Raja Muda dan Wakil Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ayahanda Tengku Amir Hamzah mempunyai garis kekerabatan dengan Sultan Machmud, penguasa Kesultanan Langkat yang memerintah pada tahun 1927-1941. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Garis keturunan tersebut memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta salah satu kerajaan Melayu, yakni Kesultanan Langkat.
Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman-teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan julukan Tengku Busu atau “tengku yang bungsu”. Said Hoesny, salah seorang karib Amir Hamzah di masa kecilnya, menggambarkan bahwa Amir Hamzah adalah anak laki-laki yang berparas “cantik”. Ia bertubuh semampai, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang, dan perkataannya lemah-lembut. Singkat kata, Amir Hamzah di waktu kecil adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.
Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Sekolah ini didirikan oleh Sultan Machmud Abdul Aziz, ayahanda Sultan Machmud, pada 1906. Sebagian besar guru di sekolah Amir Hamzah adalah orang Belanda, hanya ada satu orang saja guru Melayu. Pada mulanya, sekolah ini hanya berupa Sekolah Desa dengan masa tempuh studi 3 tahun, kemudian berubah menjadi Sekolah Melayu dengan masa tempuh studi 5 tahun, dan terakhir menjadi Lanngkatsche School dengan masa tempuh studi 7 tahun.
Setelah tamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan. Amir Hamzah lulus dari sekolah itu pada 1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah. Ia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Di Solo, mula-mula Amir Hamzah tinggal di asrama, yakni di kompleks perumahan kediaman KRT Wreksodiningrat yang berlokasi di samping istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kemudian Amir Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo Hadinegoro di Nggabelen.
Amir Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Simak kesan Achdiat K Mihardja tentang kedisplinan Amir Hamzah: “Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang gadis remaja.”
Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu, terbit pada 1943. Ajip Rosidi memandang puisi-puisi dalam Buah Rindu adalah puisi Amir Hamzah pada masa-masa “latihan kepenyairan”. Demikian pula dengan anggapan Amir Hamzah sendiri bahwa Buah Rindu hanya sebagai latihan sebelum akhirnya ia menulis sajak-sajak sebagaimana yang terangkum dalam Nyanyi Sunyi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa puisi-puisi dalam Buah Rindu belum menunjukkan kualitas sebagaimana yang terlihat dalam antologi Nyanyi Sunyi.
Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.
Proses kepenulisan Amir Hamzah sewaktu di Solo merupakan proses awal yang menentukan posisi kepenyairannya. Ini adalah proses pembentukan dan pematangan dari seorang Amir Hamzah sebagai manusia. Intensitas proses Amir Hamzah sebagai menusia dan penyair kemudian berlanjut ketika ia meneruskan pendidikannya di Batavia. Dua periode ini merupakan masa proses yang paling kompleks dan intensif dalam kehidupan Amir Hamzah.
Intensitas pergulatan Amir Hamzah dengan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke dalam sajak-sajaknya. Bahkan, boleh jadi sajak-sajak Amir Hamzah indentik dengan jalan hidupnya. Kesan seperti ini tidak dapat dihindarkan karena sajak-sajak Amir Hamzah sepertinya secara langsung mencerminkan fakta dan peristiwa empiris dalam kehidupan, perenungan, serta pergulatan dan pencapaiannya di dunia sebagai manusia.
Setelah studinya di Solo pungkas, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, kesadaran kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah kian kuat dan berpengaruh pada wataknya. Meskipun keturunan raja, ia tidak pernah memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran kebangsaan dan kerakyatan Amir Hamzah tercermin dari lingkungan pergaulannya, juga dari pekerjaan tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari Taman Siswa, di Jakarta. Bersama beberapa orang rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe.
Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu, sajak-sajaknya juga dipublikasikan di rubrik sastra Panji Pustaka asuhan Sutan Takdir Alisyahbana. Selain menulis sajak, Amir Hamzah juga menulis prosa dan esai tentang kesusastraan. Sajak-sajak Amir Hamzah cenderung terlihat lebih ke gaya sastra Timur.
Sejak dimuat di majalah Timboel, karya sastra Amir Hamzah terus muncul di berbagai media massa, misalnya di majalah Pudjangga Baroe, Pandji Poestaka, dan lain-lain. Nama Amir Hamzah mulai dikenal, dan lingkungan pergaulannya dengan kalangan sastrawan pun mulai berlangsung intensif. Beberapa sastrawan yang semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn Pane, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhamaad Yamin, Suman Hs, JE. Tatengkeng, HB. Jassin, dan lainnya.
Mungkin pencapaian karya sastra Amir Hamzah bukan pencapaian terbaik dari suatu kelompok yang mengkhususkan diri dalam mencari kemudian menemukan semacam puitika yang lain sebagaimana yang terjadi di Barat. Namun begitu, tidak dapat dihindarkan bahwa ada semacam ikatan maupun komitmen para beberapa pemrakarsa majalah Poedjangga Baroe yaitu, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Amir Hamzah sendiri untuk memajukan bahasa Indonesia. Penerbitan majalah Poedjangga Baroe sendiri juga merupakan perwujudan komitmen hal tersebut.
Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.
Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang sublim dengan lebih melukiskan pergulatan eksistensial sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.
Para peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu, misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.
Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Ia adalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi sosial pada waktu itu. Pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah yang ditangkap pada 7 Maret 1946. Kemudian, pada dini hari tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati.






3.3       Hubungan intertekstual Padamu Jua dengan Do ‘a
            PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku……….




DOA
    Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
CahyaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Secara intertekstual “Do’a” Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian dengan sajak “Padamu Jua”. Ada gagasan dan ungkapan Chairil Anwar yang dapat dirunut kembali dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Begitu juga idenya, meskipun dalam pengolahannya ada perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap sajak tersebut menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi masalah.
Dalam “Padamu Jua”, si aku yang cinta dunianya habis kikis dan kembali pada Tuhannya meskipun pada awalnya si aku kecewa karena merasa dipermainkan oleh Engkau. Namun, akhirnya ia tidak mau pergi lagi karena Engkau sebagai dara dibalik tirai, menanti si aku seorang diri dengan setia.
Dalam “Do’a”, si aku  terasing dalam kebingungannya. Meski pada mulanya termangu, tapi, akhirnya dia dating juga pada Tuhannya. Tidak ada tempat lain untuk mengadukan keremukan bentuknya selain Dia. Maka, setelah si aku mengetuk pintu kemurahann-Nya, si aku tidak bisa berpaling lagi.

Amir Hamzah menggambarkan Tuhan sebagai kandil kemerlap. Ini ditranformasikan oleh Chairil dalam “Do’a” sebagai sifat Tuhan, kerdip lilin di kelam sunyi.
Si aku, dalam sajak Amir Hamzah, ragu-ragu karena tidak dapat menangkap wujud engkau
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Bahkan si aku merasa dipermainkan seperti yang nampak dalam bait dibawah ini
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Hal ini ditranformasikan oleh Chairil dalam sajaknya: Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut nama-Mu// Biar susah sungguh/ Mengingat kau penuh seluruh. Penderitaan si aku dalam sajak Amir Hamzah, bait ke 3, 4 dan 5 ditranformasikan oleh Chairil Anwar pada sajaknya yang berbunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Meskipun ada persamaan ide antara kedua sajak diatas, namun pengekspresiannya berbeda. Hal ini disebabkan adanya tanggapan yang berbeda mengenai wujud Tuhan
IV.          Penutup
4.1          kesimpulan
Dari larik-larik puisi diatas merefleksikan pergeseran perasaan dan pandangan hidup penyair pada momen tertentu. Kedua penyair merasa dirinya hampa dan tidak berarti di hadapan Tuhan yng ia hampiri dan sapa
            Dari kedua puisi ini yakni puisi DOA karya Chairil Anwar dan puisi Padamu jua karyaAmir Hamzah, memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan itu untuk menemukan sebuah kualitas karya sastra yang baik.
Persamaan dalam kedua puisi ini yaitu tema yang diangkat oleh kedua puisi ini sama-sama menjadikan Tuhan sebagai tempat meminta dan berkeluh kesah. Selain itu,kedua puisi ini juga merefleksikan bagaimana perwujudan Tuhan.keduanya juga sama dalam hal, pemakaian akulirik. Hal ini karena sama-sama memandang antara akulirik dengan objeknya (Tuhan).
Perbedaannya dapat dilihat melalui tiga pokok pembahasan yaitu melalui bahasa puisi, bentuk puisi, dan isi puisi. Ketika pokok pembahasan ini memiliki persamaan juga di dalamnya. Namun lebih dominan perbedaan yang terkandung di dalam kedua puisi ini.
Melalui bahasa puisi, terdiri tiga pembahasan yaitu diksi, citraan, dan kiasan. Pemakaian diksi cenderung lebih ditonjolkan dalam puisi Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Tak seperti Chairil Anwar yang lebih banyak menggunakan kata-kata denotatif dalam penulisan puisinya. Pemakaian citraan pada puisi Padamu Jua” karya Amir Hamzah memiliki citraan rabaan dan gerak, sedangkan puisi “Doa” karya Chairil Anwar tidak memiliki citraan rabaan di dalamnya. Pemakaian gaya bahasa pada Puisi “Doa” karya Chairil Anwar cenderung menggunakan gaya bahasa hiperbola, sedangkan puisi Padamu Jua” karya Amir Hamzah lebih sedikit pemakaian gaya bahasa hiperbola.
Melalui bentuk puisi, terdiri dari tiga pembahasan yaitu bait dan baris, nilai bunyi, persajakan. Puisi Padamu Jua” karya Amir Hamzah memiliki jumlah bait yang lebih banyak daripada puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Nilai bunyi yang dominan pada puisi “Doa” karya Chairil Anwar yakni nilai bunyi cacophony, sedangkan pada puisi Padamu Jua” karya Amir Hamzah didominasi oleh nilai bunyi euphony. Puisi “Doa” karya Chairil Anwar dan Padamu Jua” karya Amir Hamzah ini sama-sama mempunyai persajakan bebas, karena tidak dibatasi oleh kesemua hal yang telah kami kemukakan.






referensi
Dharma, Budi. 1984. Moral Dalam Sastra,(Dalam Andy Zoelton, ed.). Budaya Sastra. Jakarta:C.V. Rajawali.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Guntur, Tarigan Henry. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: PN. Angkasa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Zulfahnur. 2006. Sastra Bandingan. Jakarta: UNJ
Zulfahnur dan Sayuti Kurnia. 1996. Sastra Bandingan. Jakarta: Depdikbud
Abrar Yusra, 1996. “Amir Hamzah, Biografi Seorang Penyair”, dalam Abrar Yusra [ed.], 1996. Amir Hamzah 1911-1946 Sebagai Manusia dan Sebagai Penyair. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Ayu, Djenar Maesa. 2003. Nayla. Jakarta: Gramedia
A.M. Ali Imron. 2005. “Intertekstualitas Puisi dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 17. No. 32. 2005
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori Metode Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of  Poetry. Bloomington and London: Indiana Unversity Press.
Effendi,S.,Bimbingan Apresiasi Puisi,Jakarta :Tangga Mustika Alam, 1982.
Hartoko, Dick, Penghantar Ilmu Sastra, Jakarta: Granmedia 1981.

Klik "Show" untuk melihat Foto >>>>>>>>>> <<<<<<<<<< Foto melihat untuk "Show" Klik
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Kenangan di Merbabu.
  • Merbabu dan Merapi.
  • Merbabu dan Q.
  • Merbabu dan Q.
  • Bersama kita BISA.

RepubliC_GothiC

""