pendahuluan
Objek kajian dalam penelitian
kesusastraan sesungguhnya begitu komprehensif. Barangkali juga, selama manusia
memerlukan sastra, selama itu pula terbuka peluang bagi siapa pun untuk
melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan keberadaan
sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh banyak faktor. Beberapa
di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.
Pertama, penelitian sastra
meliputi cakupan yang begitu komprehensif. Dilihat dari rentang pembagian batas
waktunya, penelitian sastra dapat mencakupi penelitian terhadap sastra
tradisional sastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.
Kedua, penelitian sastra
berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat dari ragamnya, penelitian
sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa─novel dan cerpen— drama, dan
esai kritik.
Ketiga, penelitian sastra
berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah selesai, mengingat sastra
selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dilihat dari objek
kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks sastra
yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati.
Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri.
Keempat, penelitian sastra
dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan apa pun yang berhubungan dengan
perjalanan dan perkembangan sastra. Dilihat dari kelahiran dan perjalanannya,
penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah karya atau sejumlah
karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh memusatkan
perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya dalam
rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah
satu karya sastra dalam konteks sejarahnya.
Kelima, penelitian sastra
dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteksnya. Dilihat dari sistem
sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada keberadaan pengarang sebagai
penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya, penerbit─termasuk media
massa─sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya itu lahir dan
menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca kritis atau
kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam
bidang sastra dengan berbagai aspeknya.
Tentu saja kita masih dapat
menderetkan faktor lain lebih panjang. Dalam hal ini, keseluruhan penelitian
itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah teknisnya
disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam
pengertian itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.
Langkah apa saja yang perlu
dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah satu aspek kesusastraan yang
begitu komprehensif itu. Bagaimana pula kita dapat dengan mudah memilih dan
menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu, apanya yang
akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu.
Penelitian sastra secara
akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada sejumlah syarat dan
prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah mensyaratkan
pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang sering
menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja
kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau
salah dua) pendekatan—dari sejumlah pendekatan yang ada—yang dapat kita pandang
tepat dan pas sebagai alat analisisnya. Sejumlah hal itulah
yang─barangkali—membuat kita─belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan
teori dan metodologi, tanpa merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri
yang justru hendak dijadikan objek atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu
pula yang membawa dunia akademis terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif
terhadap teori dan metodologi, tetapi acap kali atau bahkan cenderung
mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah salah satu problem
penelitian sastra di lingkungan dunia akademik.
Sebelum kita memasuki
pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan kalangan
akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menggairahkan
penelitian sastra, baiklah kita mencermati dahulu pendapat Tanaka. Ronald
Tanaka membagi penelitian sastra atas dua sistem besar, yaitu sistem makro dan
sistem mikro. Meskipun konsep ini sejalan dengan gagasan Rene Wellek dan Austin
Warren mengenai apa yang disebutnya sebagai pendekatan esktrinsik dan
pendekatan intrinsik, gagasan Tanaka, khasnya mengenai sistem makro, meliputi penelitian
yang jauh lebih luas. Dalam hal ini, Tanaka mencoba memasalahkan keberadaan
pengarang sebagai penghasil karya, peranan penerbit yang ditempatkannya dalam
kerangka sistem produksi dan reproduksi, pembaca sebagai pemberi makna, dan
kritikus yang terkadang ikut mempengaruhi citra pengarang. Untuk memberi
gambaran lebih jauh, mari kita periksa duduk persoalannya.
1.1 Latar
Belakang
Dewasa ini, era
globalisasi telah merambah ke berbagai belahan dunia. Makin maraknya
barang-barang luar negeri yang berdatangan ke Indonesia menjadi suatu hal yang
tak asing lagi. Mulai dari produk Cina hingga produk yang berasal dari negeri
Paman Sam itu. Namun, hal ini sepertinya tidak menjadi masalah terhadap
karya-karya sastra di Indonesia sendiri.
Mengapa demikian??” Hal ini karena karya-karya sastra di Indonesia memiliki tempat sendiri
dihati para penggemarnya. Ya, itulah keunggulan orang-orang Indonesia yang
gemar membaca. Apalagi kalau karya sastra itu berupa puisi, pasti sudah tak
asing lagi di mata orang-orang Indonesia.
Puisi-puisi karya
orang-orang Indonesia. Bisa terbilang banyak sekali bahkan ada pula puisi yang
tidak dicantumkan identitasnya atau yang biasa disebut dengan puisi anonim.
Puisi-puisi itu menjadi cikal bakal akan lahirnya puisi-puisi lagi pada setiap
generasi yang berbeda.
Ada dua puisi yang
mengandung unsur religius dari dua pengarang yang berbada Angkatan di Indonesia. Puisi-puisi itu yakni puisi “Doa” karya Chairil Anwar dan Puisi “Padamu Jua” karya Tengku Amir Hamzah. Sekilas dapat kita lihat adanya persamaan pada kedua puisi itu yakni pada
pemilihan judul puisinya yang mengarah pada unsur religius. Namun, belum tentu hanya karena melihat judulnya sama maka isinya sama pula
atau memang benar isinya serupa.
Oleh karena itu, melalui
makalah ini penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai isi yang terkandung
dalam kedua puisi itu. Penulis menggunakan tinjuan struktural dan Semiotik
guna mengupas lebih dalam isi yang terdapat
dalam kedua puisi itu untuk mendapatkan perbandingan di antara keduanya.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penulis merumuskan sebuah
rumusan masalah yakni dengan memparafrasekan puisi DOA
karya Chairil Anwar dan puisi ‘Padamu jua karyaAmir Hamzah
kedalam bentuk prosa.
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan penulis membandingkan puisi DOA karya Chairil Anwar dan puisi ‘Padamu
jua karyaAmir Hamzah adalah:
µ Untuk
mengetahui pemanfaatan unsur-unsur pembangun seperti: diksi, citraan, bahasa
kias, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide dalam DOA karya Chairil Anwar dan puisi ‘Padamu
jua karyaAmir Hamzah.
µ Dari hasil
penelitian ini, diharapkan dapat membantu penikmat dalam memahami puisi DOA karya Chairil Anwar dan puisi ‘Padamu
jua karyaAmir Hamzah,
serta dapat membantu penikmat dalam memilih karya sastra yang bernilai tinggi.
µ Sebagai salah satu tugas akhir mata kuliah kajian sastra bandingan sebagai pengganti UAS.
II. Landasan Teori
2.1. Pengertian
Puisi
Secara
etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti
pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya
membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya,
makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya
disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan
kadang-kadang kata kiasan (Sitomorang, 1980:10).
Puisi biasa dibuat oleh pengarang dengan tiga sasaran yaitu pertama, untuk dirinya sendiri sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pendapat-pendapat pengarang terhadap sesuatu; kedua, untuk redaksi maksudnya setelah puisi itu dibuat maka redakturlah yang memiliki kewajiban menyebarluaskan puisi tersebut kepada masyarakat; ketiga, untuk penikmat dan kritikus, bagi mereka puisi digunakan sebagai objek pengamatan ataupun hanya sekedar bahan bacaan.
Puisi biasa dibuat oleh pengarang dengan tiga sasaran yaitu pertama, untuk dirinya sendiri sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pendapat-pendapat pengarang terhadap sesuatu; kedua, untuk redaksi maksudnya setelah puisi itu dibuat maka redakturlah yang memiliki kewajiban menyebarluaskan puisi tersebut kepada masyarakat; ketiga, untuk penikmat dan kritikus, bagi mereka puisi digunakan sebagai objek pengamatan ataupun hanya sekedar bahan bacaan.
Seperti
diketahui bahasa puisi memiliki karakter tersendiri yang dalam istilah bahasa
disebut bahasa konotasi. Bahasa konotasi tidak hanya didukung oleh artikel
material tetapi lebih banyak berorientasi pada pengertian-pengertian non fisik
yang ditopang oleh symbol-simbol, emosi, dan suasana hati. Oleh karena itu
puisi lahir dari pertemuan dunia batin sumber inspirasi dan dunia batin
penyairnya.
Menurut Vicil C. Coulter, kata poet
berasal dari kata bahasa Gerik yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa
Gerik, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang
hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka pada dewa-dewa. Dia
adalah orang yang mempunyai penglihatan yang tajam, orang suci, yang sekaligus
seorang filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi
(Situmorang, 1980:10).
Ada beberapa pengertian lain.
1. Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
2. Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
3. Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
4. William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
5. Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
6. Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
7. Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.
2. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
1. Sense (tema, arti)
Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
2. Feling (rasa)
Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
3. Tone (nada)
Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
4. Intention (tujuan)
Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
1. Diction (diksi)
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
2. Imageri (imaji, daya bayang)
Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
a) citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan.
b) Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran.
c) Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan.
d) Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
e) Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
f) Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.
g) Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.
3. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
4. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain;
a) Perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
b) Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
c) Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
d) Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
e) Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
f) Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
g) Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
5. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
a) Metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
b) Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
1. dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
2. Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
3. Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
6. Rima
Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
a) Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b) Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi).
d) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e) Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f) Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h) Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a) Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b) Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d) Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
e) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
f) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i) Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j) Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k) Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d).
Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
a) Lapis bunyi (sound stratum), dan merupakan barangkali merupakan seluruh bunyi
Puisi merupakan satuan-satuan suara: suara suku kata. Jadi lapisan bunyi dalam suau sajak atau puisi adalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
b) Lapis arti (units of meaning)
Puisi itu terdiri dari satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satu-kesatuan makna.
c) Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
Pada lapisan ini diketahui bahwa dalam puisi terdapat latar, tokoh, dan dunia pengarang
d) Lapis implisit
Ada makna-makna tersembunyi yang ada pada setiap kata pada sebuah puisi.
e) Lapis metafisika (metaphysical qualities)
Lapisan ini yang membuat seorang pembaca dapat berkotemplasi ataupun berimajinasi terhadapa pusis yang dibacanya.
Ada beberapa pengertian lain.
1. Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
2. Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
3. Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
4. William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
5. Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
6. Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
7. Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.
2. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK PUISI
Ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur pembentuk puisi. Salah satunya adalah pendapat I.A. Richard. Dia membedakan dua hal penting yang membangun sebuah puisi yaitu hakikat puisi (the nature of poetry), dan metode puisi (the method of poetry).
Hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok, yaitu
1. Sense (tema, arti)
Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
2. Feling (rasa)
Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
3. Tone (nada)
Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
4. Intention (tujuan)
Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Untuk mencapai maksud tersebut, penyair menggunakan sarana-sarana. Sarana-sarana tersebutlah yang disebut metode puisi. Metode puisi terdiri dari
1. Diction (diksi)
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
2. Imageri (imaji, daya bayang)
Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan. Ada beberapa macam citraan, antara lain
a) citra penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan.
b) Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran.
c) Citra penciuman dan pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan.
d) Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
e) Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
f) Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan.
g) Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.
3. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slametmulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
4. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain;
a) Perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dll.
b) Metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding.
c) Perumpamaan epos (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat berturut-turut.
d) Personifikasi, ialah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia di mana benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia.
e) Metonimia, yaitu kiasan pengganti nama.
f) Sinekdoke, yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu sendiri.
g) Allegori, ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan, merupakan metafora yang dilanjutkan.
5. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dibedakan menjadi dua,
a) Metrum, yaitu irama yang tetap, menurut pola tertentu.
b) Ritme, yaitu irama yang disebabkan perntentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur.
Irama menyebabkan aliran perasaan atau pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan pada kata. Tekanan tersebut dibedakan menjadi tiga,
1. dinamik, yaitu tyekanan keras lembutnya ucapan pada kata tertentu.
2. Nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara.
3. Tempo, yaitu tekanan cepat lambatnya pengucapan kata.
6. Rima
Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi
a) Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b) Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak (suku kata sebunyi).
d) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama.
e) Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f) Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
g) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h) Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan
a) Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b) Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d) Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara vertikal
e) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horisontal
f) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i) Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik (aaaa)
j) Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb)
k) Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi (a-b-c-d).
Pendapat lain dikemukakan oleh Roman Ingarden dari Polandia. Orang ini mengatakan bahwa sebenarnya karya sastra (termasuk puisi) merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis norma. Lapis norma tersebut adalah
a) Lapis bunyi (sound stratum), dan merupakan barangkali merupakan seluruh bunyi
Puisi merupakan satuan-satuan suara: suara suku kata. Jadi lapisan bunyi dalam suau sajak atau puisi adalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
b) Lapis arti (units of meaning)
Puisi itu terdiri dari satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satu-kesatuan makna.
c) Lapis obyek yang dikemukakan atau "dunia ciptaan"
Pada lapisan ini diketahui bahwa dalam puisi terdapat latar, tokoh, dan dunia pengarang
d) Lapis implisit
Ada makna-makna tersembunyi yang ada pada setiap kata pada sebuah puisi.
e) Lapis metafisika (metaphysical qualities)
Lapisan ini yang membuat seorang pembaca dapat berkotemplasi ataupun berimajinasi terhadapa pusis yang dibacanya.
2.2 Pengertian Semiotik
Semiotika modern
dipelopori oleh dua orang tokoh, yaitu Ferdinand de Saussure (1855 – 1913),
seorang ahli linguistik dan Charles Sander Peirce (1839 – 1914), seorang ahli
filsafat. Saussure menyebutnya semiologi sedangkan Pierce menyebutnya semiotika
(semiotics). Baik semiotika maupun semiologi, keduanya merupakan ilmu yang
mempelajari tentang tanda-tanda. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotic
pada dasarnya adalah lanjutan dari pendekatan dengan semiotic karena karya
sastra itu merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna.
Pengertian
semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda–tanda (Pradopo dalam Jabrohim,
2003: 67). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan
itu merupakan tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier)
dan pertanda (signitied). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu
yang disebut petanda, sedangkan petanta adalah sesuatu yang ditandai oleh
petanda itu yaitu artinya.
Semiotika adalah
ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti
“tanda”. Tanda dalam hal ini dapat berupa kata, gerak isyarat, lampu lalu
lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan
atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda (Sudjiman dan Zoest, 1996).
Istilah
semiotika baru digunakan pada abad XVIII oleh Lambert seorang ahli filsafat
Jerman. Orang baru memikirkan secara sitematis tentang penggunaan tanda dan
ramai membahasnya dalam abad XX, kemudian banyak muncul pakar tentang
semiotika. Misalnya Ronald Barthes dalam bukunya “Element de Semioligie (1953),
J- Kriteva di dalam Semiotike (1969), Umberto Eco dalam bukunya A Theory of
Semiotics, dan lain – lain.
Semiotik adalah
ilmu tanda- tanda. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda.
Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda.
Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.Dalam
hubungannya antara penanda dan petanda ada beberapa jenis tanda yaitu ikon,
indesk, dan symbol. Yang pertama ikon adalah tanda yang menununjukkan adanya
hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan ini
adalah hubungan persamaan artinya ada yang dilihat dan dikatakan sama fengan
faktanya. Kedua indeks adalah tanda yang yang menunjukkan hubungan kausal. Yang
ketiga simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer. Artinya tanda
itu ditentukan oleh konversi.
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi
yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di
Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang
berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa
Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode,
sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general
philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part
of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes
visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals
which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form
code systems which systematically communicate information or massages in
literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya
didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi
tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan
untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan
verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses
dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda
tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi
atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya
konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi
sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang
bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan
yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan
‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified).
Dengan kata
lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi,
penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental,
pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens,
2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu
tidak merupakan tanda.
Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin
disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu
termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik.
“Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,”
kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa
sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material
(penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara
dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev,
sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda
dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan
dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik
(scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun
merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan
(to communicate).
Memaknai berarti
bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran
ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem
ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya
secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Pada penelitian
sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang sering
digunakan yaitu tanda yang menunjukkan hubungan sebab- akibat.
2.3 TEORI INTERTEKSTUAL
Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan bahwa kajian intertekstual merupakan
terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan
tertentu. Mengacu pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat dikatakan bahwa kajian
intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua
kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren, 1990 :49).
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan
hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Penelitian dilakukan dengan
cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara dua teks atau lebih.
Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga
sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5) pendekatan suatu
karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di
pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus
mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu
kata-kata berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic
function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu
kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas
dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami dengan
kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi
kesastraan (literary competence), dan terutama dalam hubungannya
dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada
dasarnya adalah membina atau membangun acuan. Adapun acauan itu didapat dari
pengalaman membaca teks-teks lain dalam sistem konvensi kesastraan.
Dengan demikian suatu sajak (baca: karya sastra) baru bermakna penuh dalam
hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Karya sastra lain
yang menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya disebut hipogram (hypogram).
Dalam hubungan antar teks tersebut terdapat dua hal yang dikemukakan oleh
Riffaterre (1978: 5), yaitu:7 (1) ekspansi (expansion), dan (2) konversi
(conversion). Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram,
sedangkan konversi adalah pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping
itu, Partini Sardjono (l986: 63) menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh
Riffaterre tersebut, yaitu: (3) modifikasi (modification) atau
pengubahan, dan (4) ekserp (exerpt). Lebih lanjut Partini Sardjono
menjelaskan bahwa modifikasi biasanya merupakan manipulasi pada tataran
linguistik, yaitu manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran
kesastraan ialah manipulasi tokoh (protagonis) atau plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu unsur atau episode dari hipogram.
Menurut teori
interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman
terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas
interteks terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua teks atau lebih
secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi
dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.
III Pembahasan
3.1 Metode semiotik dalam penelitian sastra
Sastra (karya
sastra) merupakan seni yang mempergunakan bahasa sebagi mediumnya. Bahasa
berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra, sudah mempunyai
sistem dan konversi sendiri, maka disebut sistem semiotik tingkat pertama.
Sastra mempunyai sistem dan konversi sendiri yang mempergunakan bahasa, disebut
sistem semiotik tingkat kedua.
Dikemukakan
Preminger dkk (1974: 98) bahwa penerangan semiotik itu memandang obyek–obyek
atau laku– aku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa, system
linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis. Dikatakan
selanjutnya aleh Preminger bahwa studi semiotic sastra adalah uasaha untuk
menganalisis system tanda–tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menetukan
konvensi – konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Sebagai
contohnya, kita akan menganalisis puisi. Puisi merupakan sistem tanda yang
mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan.
Tanda–tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi–konvensi (dalam) sastra.
Contoh dari konvensi–konvensi puisi diantaranya adalah konvensi kebahasaan,
konvensi ambiquitas, dan konvensi visual.
Arti atau makna
satuan itu tidak lepas dari konvensi–konvensi sastra pada umumnya. Konvensi itu
merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat
sastra, perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara
turun temurun, bahkan kemudian sudah menjadi hakekat sastra sendiri.
2. Pembacaan semiotik: heuristik dan
hermeneutik atau retroaktif,untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik,
pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik/
retroaktif (Reffeterre dalam Jabrohim, 2003: 80).
3.2 Analisis
Data
A.1. Puisi 1 (Puisi “DOA” karya Chiril Anwar)
DOA
Kepada
pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam
termangu
Aku
masih menyebut namamu
Biar
susah sungguh
Mengingat
kau penuh seluruh
CahyaMu
panas suci
Tinggal
kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku
hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
di
pintuMu aku mengetuk
Aku
tidak bisa berpaling
Sangat aneh kalau do’a
dibuka dengan keragu-raguan. Dalam termangu, dalam keragu-raguannya, antara
percaya dan tidak atau antara perlu tidaknya menghadap Tuhan. Si aku masih
menyebut-nyebut nama Tuhan, masih mengingat-Nya, masih berdo’a kepada-Nya,
mengadukan nasibnya yang malang.
Sesungguhnya bagi si
aku, berdo’a dengan menyebut-nyebut nama Tuhan adalah sesuatu yang sangat
susah, sangat sukar untuk dilakukan karena si aku masih ragu-ragu, masih termangu-mangu
akan perlunya menghadap Tuhan. Masih perlukah si aku menghadap Tuhan, adakah
gunanya menghadap dan berharap kepada Tuhan?. Rupanya si aku sajak Chairil
Anwar ini tidak bisa setegas Sartre yang berpendapat bahwa Tuhan itu, meskipun
ada, tetapi tidak ada pengaruh dan campur tangan-Nya apa pun atas nasib dan
keberadaan manusia di dunia ini. Jadi, tidak perlu menyebut-nyebut nama Tuhan.
Tetapi, tidak sedemikian atheis itu si Chairil. Betapapun sukarnya untuk
melakukan hal itu, akhirnya ia menghadap Tuhan juga. Hal ini mengingat bahwa
Kau, Tuhan, penuh seluruh, sungguh ada, Maha ada, solid. Efek kebulatan atau
kepenuhan dalam sajak ini diperkuat oleh bunyi vocal u yang berulang dan
diintensifkan bunyi h akhir: penuh seluruh.
Bagi si aku, dalam ketermanguannya
itu, cahaya Tuhan yang panas, yang memancar dengan penuh kesucian menerangi
hati manusia dari kegelapan, yang memanaskan orang yang kedinginan (kiasan
untuk orang yang menderita), kini dalam hati si aku tinggal sekecil kerdipan
lilin dalam kegelapan di tempat yang sunyi. Jadi, tidak cukup memberi
penerangan. Padahal si aku ini membutuhkan penerangan, membutuhkan tumpuan
untuk mengadukan nasibnya karena si aku ini hilang bentuk dan remuk. Si aku sudah tidak berwujud lagi.
Dalam hidupnya ini, si
aku merasa bahwa ia mengembara di negeri asing, kebingungan tak tahu arah,
tidak ada kawan, sendirian, sebatang kara, tidak tahu apa yang dikerjakan. Si
aku ini adalah “aku yang terlempar”, kata Sartre, tokoh filsafat
eksistensialisme. Maka, satu-satunya teman, penolong atau penyelamat hanyalah
Tuhan. Maka ketika si aku mengetuk pintu rumah Tuhan(berdo’a, sembahyang atau
dzikir), dia tidak bisa berpaling lagi.
Dari uraian di atas,
ternyata kata-kata “Do’a” Chairil Anwar dapat ditafsirkan bermacam-macam dan
saling melengkapi. Itu pun masih belum mencukupi sepenuhnya. Hal ini disebabkan
penggantian arti dan penyimpangan arti kata yang menciptakan ucapan yang tidak
langsung.
A.2 biografi Chairil Anwar
Chairil anwar
dilahirkan 26 juli 1922 di Medan dan meninggal di Jakarta pada tanggal 28 April
1949. Hari wafatnya dikenang & diperingati sebagai hari Chairil Anwar yang
kemudian menjadi Hari Sastra Indonesia. Pendidikannya sampai MULO (tidak
tamat). Pernah menjadi redaktur
“gelanggang”(ruang budaya majalah “Siasat” (1948-1949) dan redaktur
“Gema Suasana” (1949)
Kumpulan
sajaknya berjudul Kerikil Tajam dan
yang Terhempas dan yang Putus (1949). Deru Campur Debu (1949) dan Tiga
Menguak Takdir (1950),dikarang bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). H.B
Jassin membahas sajak-sajak dan mengumpulkan prosa-prosanya dalam buku nya
Charil Anwar Plopor Angkatan 45 (1956).
Button Raffel menterjemahkan sajak-sajak Charil Anwar di
antaranya di dalam Selected Poems (of) Chairil Anwar (New York,1962), dan The
Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (New York,1970), dan oleh Liaw Yock
Fang (dengan bantuan H.B Jassin), The
Complete Poem of Chairil Anwar
(Singapura,1974),terjemahan kedalam bahasa Jerman oleh WalterKarwath
dengan judul Feuer und Asche (Wina. 1978)
Selain menulis puisi, Chairil Anwar juga menulis
terjemahan diantaranya terjemahan karya Andre Gidedengan judul Pulanglah Dia si
Anak Hilang (1948) dan karya John
Steinbeck berjudul Kena Gempur (1951), yang pertama berupa sajak yang
kedua berupa novel.
Disertasi yang membicarakan karya-karya Chairil Anwar ,
ialah: ‘A Linguistic Analisis of the Poetry of of Amir Hamzah and Chairil
Anwar” oleh Ny. Sri Untari Nababan (Ph.D.) di Ithaca NewYork, 1966; dan Boen
Sri Oemarjati dengan judul disertasi “Chairil Anwar : Poet His Language” di
Universitas Leiden (1972). Sutan Takdir pernah menulis pembahasan tentang
puisi-puisi Chairil Anwar dengan judul : “Penilaian Chairil Anwar kembali”
(Budaya,Jaya Maret 1976). Tesis Arif Budiman yang ditulis dengan metode
Ganzheit berjudul Chairil Awar: Sebuah
Pertemuan diterbitkan oleh Pustaka Jaya 1976.
B.1. puisi 2 (Puisi “Padamu Jua” karya Amir
Hamzah)
PADAMU JUA
Habis
kikis
Segala
cintaku hilang terbang
Pulang
kembali aku padamu
Seperti
dahulu
Kaulah
kandil kemerlap
Pelita
jendela di malam gelap
Melambai
pulang
Sabar,
setia selalu
Satu
kekasihku
Aku
manusia
Rindu
rasa
Rindu
rupa
Dimana
engkau
Rupa
tiada
Suara
sayup
Hanya
kata merangkai hati
Engkau
cemburu
Engkau
ganas
Mangsa
aku dalam cakarmu
Bertukar
tangkap dengan lepas
Nanar
aku, gila sasar
Sayang
berulang padamu jua
Engkau
pelik menarik ingin
Serupa
dara dibalik tirai
Kasihmu
sunyi
Menunggu
seorang diri
Lalu
waktu-bukan giliranku
Mati
hari-bukan kawanku……….
Dalam Puisi tersebut diatas terasa
kuat perasaan Amir Hamzah dalam mengungkapkan eratnya hubungannya dengan “Engkau”terkadang
“Engkau” itu disebyunya juga dengan “Mu”.perumpamaan dan lambang yang
diciptakan untuk memperhidup ungkapkannya itu sangat bagus dan khas milik
penyair. Perkataan-perkataan : “kandil gemerlap”,”pelita jendela di malam gelap
,”rindu rasa rindu rupa”,”kata merangkai hati”Engkau cemburu, Engkau ganas
mangsa aku dalam cakarMu, bertukar tangkap dengan lepas”,”Engkau pelik menarik
ingin bagai dara dibalik tirai”,adalah kata-katadengan ungkapan khas milik Amir
Hamzah.Kunci untuk memahami puisi tersebut diatas berpusat pada “Mu” atau “Engkau”.
Banyak yang menafsirkan bahwa”Mu” disini adalah Tuhan dan puisi ini di pandang
sangat religius. Kemudian ungkapan-ungkapan tentang personifikasi Tuhan di
hubungkan juga dengan ungkapan tasawuf.
Segala cinta si aku (kekasihnya yang
baru) habis terkikis, tak bersisa, hilang terbang seperti halnya burung yang
lepas. Maka si aku pulang kembali kepada kekasih lamanya seperti sebelum mempunyai
kekasih yang baru. Kata “pulang” (bait 1, baris 3) memberi makna bahwa si aku
kembali dari pengembaraannya mencari cinta yang lain. Padahal, di rumahnya,
kekasih lamanya tetap menunggunya.
Kekasih yang lama itu sesungguhnya
sangat menarik seperti lilin yang menyala gemerlapan, dapat menyinari hati si
aku, seperti halnya pelita di jendela yang member penerangan di malam yang
gelap. Lilin itu juga sebagai tanda bahwa di rumahnya ada penerangan. Dengan
kesabaran dan kesetiaan, ia memanggil si aku. Si aku pun pulang.
Hanya saja ada satu hal yang harus
dinyatakan kepada kekasihnya itu. Yaitu si aku sebagai manusia yang wajar yang
terdiri dari tulang, daging dan darah serta dilengkapi dengan panca indera itu
merindukan rasa yang dapat diraba, diindera. Merindukan rupa atau wujud yang
dapat dilihat dengan mata kepala. Sedangkan si engkau, kekasihnya itu, tidak
berupa, tidak nampak oleh penglihatan dan suaranya sayup-sayup. Yang dapat
dialami secara nyata oleh si aku hanya kata-kata yang merangkai di hati yang
menyenangkan atau mengharukan atau hanya bersifat verbal saja, tanpa wujud.
(kalau si engkau yang ghaib iniperumpamaan wujud Tuhan, maka “kata yang
merangkai hati” itu adalah nama Tuhan atau kata-kata yang terdapat dalam kitab
suci sebagai firman-Nya).
Kalau dipikirkan bahwa si engkau ini
memisahkan si aku dengan kekasihnya yang baru (mengikis habis cintanya), maka
si engkau, kekasih yang lama ini cemburu dan ganas seperti halnya binatang buas
yang memangsa si aku dengan cakarnya. Dipermainkannya si aku berulang-ulang.
Sesekali ditangkap dan sesekali dilepaskan. Karena itu si aku nanar seperti
orang gila penasaran. Namun, rasa sayang (cinta) si aku akhirnya kembali juga
ke pangkuan kekasihnya karena si engkau, kekasih si aku itu begitu pelik, penuh
rahasia dan selalu menarik keinginan si aku, laksana gadis yang berada dibalik
tirai yang menimbulkan keinginan si aku menlihatnya, mengenalnya lebih dekat.
Segala sesuatu yang rahasia tetapi menyaran seperti halnya gadis di balik tirai
itu yang selalu menarik perhatian dan menimbulkan kegairahan pada pemuda
seperti si aku.
Cinta kekasihnya itu itu sunyi, menunggu
kedatangan si aku seorang diri. “kasihmu sunyi/ menunngu seorang diri”, ini
merupakan gambaran seorang kekasih (gadis) yang sangat sabar menemani kekasihnya
(si aku) dalam kesunyiannya, tanpa pamrih demi cintanya. Hal ini pun
menimbulkan kegairahan si aku. Namun, meskipun waktu telah berlalu, bukanlah
giliran si aku untuk menemui kekasihnya itu. Meskipun hari telah mati, bukanlah
kawan si aku, dalam arti si aku masih tetap hidup. Jadi, si aku tetap tidak
bisa bertemu dengan kekasihnya karena kekasihnya itu bukan kekasih dunia. Tak
dapat ditemui dengan badan jasmaninya. Yang dimaksud kekasih itu adalah Tuhan.
Berdasarkan hal itu, rupanya si aku berpendapat bahwa orang tidak dapat menemui
Tuhannya secara langsung kecuali sesudah mati. Si aku tetap tak dapat menemui
Tuhan karena masih hidup.
Secara semiotik, hubungan antara aku dan
dengan engkau dalam sajak ini digambarkan sebagai hubungan sepasang kekasih, antara
pemuda dan gadisnya. Tanda-tanda hubungan percintaan itu berupa kata-kata yang
mesra yang memenuhi sajak ini. Yaitu kata aku, engkau(dengan huruf kecil),
cintaku, padamu, kau, melambai pulang, sabar, setia selalu, kekasihku, rindu
rasa, rindu rupa (bahkan juga “cemburu”), kasihmu, menunggu seorang diri. Oleh
sebab itu, secara struktural, ketika si aku mempunyai kekasih baru, maka si
dara di balik tirai itu cemburu dan ganas(bait 5) dan sebagai seekor singa, dia
mempermainkan dan memangsa si aku dengan cakarnya. Artinya si aku supaya hanya
mencintainya saja. Dengan demikian, cinta si aku dengan kekasih barunya jadi “
habis kikis”(bait 1) dan si aku kembali pulang kepadanya seperti semula. Tentu
saja si aku marah dan jengkel( nanar aku gila sasar). Walau demikian, akhirnya
cinta si aku kembali juga ke kekasihnya yang serupa dara dibalik tirai itu(bait
6) yang masih tetap menunggunya dengan penuh kasih, sunyi seorang diri.
Engkau yang digambarkan sebagai dara
dibalik tirai itu, dalam sajak Amir Hamzah “Hanya Satu” pada bait terakhir
adalah kekasih yang ingin dilihat dan dirasa dekat seperti pertemuan Nabi Musa
a.s dengan Tuhannya di bukit Tursina. Konon katanya, Nabi Musa a.s
berhadap-hadapan dengan Allah SWT dalam jarak yang sangat dekat.
Tuhan diwujudkan dalam bentuk manusia,
dikiaskan sebagai dara, serupa kekasih itu adalah salah satu cara untuk
menimbulkan simpati dan emphati kepada pembaca sehingga dia bersatu mesra
dengan objeknya, hingga pembaca dapat ikut merasakan apa yang dirasakan
penyairnya. Hal ini dikarenakan hubungan percintaan antar pemuda merupakan
hubungan yang pada umumnya dianggap paling mesra dan menimbulkan rangsangan
indera yang kuat. Begitu juga kiasan-kiasan lain untuk menimbulkan hal yang
sama nampak dalam sajak itu.
METAFORA
Segala cintaku hilang terbang. Disini
cinta itu diibaratkan sebagai burung yang lepas dan terbang. Dengan demikian,
cinta yang abstrak tidak bertokoh itu menjadi konkret
Kaulah
kandil kemerlap
Pelita jendela di malam
gelap
Melambai pulang
Sabar, setia selalu
Engkau
dikiaskan seperti lilin yang terang, pelita yang berada di malam yang gelap,
memberi gambaran yang nyata. Selain itu juga memperjelas gambaran si engkau
yang menanti sunyi dengan si aku. Maka si engkau lebih menarik lagi, dengan
dipadukan dengan majas personofikasi, yaitu melambai pulang perlahan/ sabar dan
setia selalu.
Begitu pula metafora yang mengibaratkan
“engkau cemburu” seperti hewan buas yang mengganas, memangsa si aku dalam
cakarnya sambil mempermainkannya, menangkap, melepaskan, menangkap, melepaskan(bait
5)
SIMILE
Perbandingan yang mengkiaskan “engkau
pelik menarik (ke)ingi(nan) serupa dara di balik tirai” ini sangat merangsang
emosi. Dara di balik tirai itu selalu menarik bagi pemuda atau laki-laki, penuh
rahasia tapi menyaran, menimbulkan keinginan untuk melihat dan mengenalnya
lebih dekat, membangkitkan kegairahan.
PERSONIFIKASI
Kasihmu sunyi/ menunggu seorang
diri(bait 7) memberi gambaran secara visual akan kesetiaan engkau terhadap si
aku meskipun si aku sering melupakan engkau karena mencari cinta yang lain. Hal
ini menggambarkan bahwa sesungguhnya Tuhan itu selalu menantikan manusia dengan
kecintaan meskipun manusia sering melupakan dan meninggalkan-Nya seperti si
aku.
CITRA GERAK
Segala cintaku hilang terbang/ Pulang
kembali aku padamu/ seperti dahulu. Gerak itu ditandai dengan bunyi konsonan l
deperkuat bunyi r seolah-olah tampak gerak burung terbang yang mewakili cinta
yang hilang, begitu pula tampak gerak si aku yang lunglai. Begitu pula efek
gerak yang digambarkan dengan bunyi l yang diperkuat dengan bunyi r tampak
jelas dalam “kaulah kandil kemerlap/ pelita jendela di malam gelap/ melambai
pulang perlahan”. Disini tampak gerak nyala lilin seperti melambai-lambai dalam
kesunyian. Citra gerak itu dipadukan dengan citra penglihatan: kandil kemerlap,
pelita di malam gelap, membuat yang abstrak menjadi kelihatan. Begitu juga
dalam bait 5, citra gerak dikombinasikan dengan citra visual: Engkau ganas/
Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Keganasan engkau itu
terlihat dalam wujud: menangkap dengan cakar, melepaskannya dan menangkapnya
lagi.
CITRA RABAAN
Penglihatan yang merangsang indra
digunakan dalam: Aku manusia/ Rindu rasa/ Rindu rupa(bait 4). Untuk merangsang
pendengaran: Suara sayup/ Hanya kata merangkai hati. Penggunaan citraan itu
memuncak dalam bait 6 baris 3 dan 4: Engkau pelik menarik ingin/ Serupa dara di
balik tirai. Citraan gerak yang ditandai dengan bunyi r-l dikombinasikan
dengancitra visual, tampak dalam mata pembaca: gadis yang secara samar-samar
kelihatan di balik tirai, tak tampak seluruhnya tapi terasa keindahan dan
keromantisannya sehingga merangsang, menggairahkan.
B2 Biografi Tengku Amir Hamzah
Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura,
Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911 dan meninggal dunia pada 20 Maret
1946 di Kuala Begumit, Binjai. Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah
Pangeran Indrapura yang kemudian disingkat menjadi Tengku Amir Hamzah. Nama
Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya kepada Hikayat Amir
Hamzah.
Ayahanda Tengku Amir Hamzah bernama
Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil
adalah Pangeran (Raja Muda dan Wakil Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang
berkedudukan di Binjai. Ayahanda Tengku Amir Hamzah mempunyai garis kekerabatan
dengan Sultan Machmud, penguasa Kesultanan Langkat yang memerintah pada tahun
1927-1941. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Tengku Amir
Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Garis keturunan tersebut
memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta salah satu kerajaan Melayu, yakni
Kesultanan Langkat.
Amir Hamzah menghabiskan masa kecil
di kampung halamannya. Oleh teman-teman sepermainannya, Amir kecil biasa
dipanggil dengan julukan Tengku Busu atau “tengku yang bungsu”. Said Hoesny,
salah seorang karib Amir Hamzah di masa kecilnya, menggambarkan bahwa Amir
Hamzah adalah anak laki-laki yang berparas “cantik”. Ia bertubuh semampai,
kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang, dan perkataannya lemah-lembut.
Singkat kata, Amir Hamzah di waktu kecil adalah anak manis yang menjadi
kesayangan semua orang.
Amir Hamzah mulai mengenyam
pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung
Pura pada 1916. Sekolah ini didirikan oleh Sultan Machmud Abdul Aziz, ayahanda
Sultan Machmud, pada 1906. Sebagian besar guru di sekolah Amir Hamzah adalah
orang Belanda, hanya ada satu orang saja guru Melayu. Pada mulanya, sekolah ini
hanya berupa Sekolah Desa dengan masa tempuh studi 3 tahun, kemudian berubah
menjadi Sekolah Melayu dengan masa tempuh studi 5 tahun, dan terakhir menjadi
Lanngkatsche School dengan masa tempuh studi 7 tahun.
Setelah tamat dari Langkatsche
School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan.
Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan
sekolah di Christelijk MULO Menjangan. Amir Hamzah lulus dari sekolah itu pada
1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare
School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah. Ia mengambil
disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Di Solo, mula-mula Amir Hamzah tinggal
di asrama, yakni di kompleks perumahan kediaman KRT Wreksodiningrat yang
berlokasi di samping istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kemudian Amir
Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo Hadinegoro di Nggabelen.
Amir Hamzah adalah seorang siswa
yang memiliki kedisiplinan tinggi. Simak kesan Achdiat K Mihardja tentang
kedisplinan Amir Hamzah: “Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan
kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak,
pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin
tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang gadis remaja.”
Selama mengenyam pendidikan di Solo,
Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi
kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa
sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu, terbit pada
1943. Ajip Rosidi memandang puisi-puisi dalam Buah Rindu adalah puisi
Amir Hamzah pada masa-masa “latihan kepenyairan”. Demikian pula dengan anggapan
Amir Hamzah sendiri bahwa Buah Rindu hanya sebagai latihan sebelum
akhirnya ia menulis sajak-sajak sebagaimana yang terangkum dalam Nyanyi Sunyi. Hal inilah yang menjadi alasan
mengapa puisi-puisi dalam Buah Rindu belum menunjukkan kualitas
sebagaimana yang terlihat dalam antologi Nyanyi Sunyi.
Pada waktu tinggal di Solo, Amir
Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja.
Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas
di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri
dalam ranah kesusastraan di Indonesia.
Proses kepenulisan Amir Hamzah
sewaktu di Solo merupakan proses awal yang menentukan posisi kepenyairannya.
Ini adalah proses pembentukan dan pematangan dari seorang Amir Hamzah sebagai
manusia. Intensitas proses Amir Hamzah sebagai menusia dan penyair kemudian
berlanjut ketika ia meneruskan pendidikannya di Batavia. Dua periode ini
merupakan masa proses yang paling kompleks dan intensif dalam kehidupan Amir
Hamzah.
Intensitas pergulatan Amir Hamzah
dengan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke dalam sajak-sajaknya. Bahkan,
boleh jadi sajak-sajak Amir Hamzah indentik dengan jalan hidupnya. Kesan
seperti ini tidak dapat dihindarkan karena sajak-sajak Amir Hamzah sepertinya
secara langsung mencerminkan fakta dan peristiwa empiris dalam kehidupan,
perenungan, serta pergulatan dan pencapaiannya di dunia sebagai manusia.
Setelah studinya di Solo pungkas,
Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi
pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, kesadaran kebangsaan di dalam jiwa
Amir Hamzah kian kuat dan berpengaruh pada wataknya. Meskipun keturunan raja,
ia tidak pernah memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran kebangsaan dan
kerakyatan Amir Hamzah tercermin dari lingkungan pergaulannya, juga dari
pekerjaan tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, lembaga pendidikan
yang merupakan bagian dari Taman Siswa, di Jakarta. Bersama beberapa orang
rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir
Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah
Poedjangga Baroe.
Amir Hamzah mulai menyiarkan
sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel
yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan
Indonesia. Selain itu, sajak-sajaknya juga dipublikasikan di rubrik sastra Panji
Pustaka asuhan Sutan Takdir Alisyahbana. Selain menulis sajak, Amir Hamzah
juga menulis prosa dan esai tentang kesusastraan. Sajak-sajak Amir Hamzah
cenderung terlihat lebih ke gaya sastra Timur.
Sejak dimuat di majalah Timboel, karya sastra
Amir Hamzah terus muncul di berbagai media massa, misalnya di majalah Pudjangga
Baroe, Pandji Poestaka, dan lain-lain. Nama Amir Hamzah mulai dikenal, dan
lingkungan pergaulannya dengan kalangan sastrawan pun mulai berlangsung
intensif. Beberapa sastrawan yang semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn
Pane, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhamaad Yamin, Suman Hs, JE.
Tatengkeng, HB. Jassin, dan lainnya.
Mungkin pencapaian karya sastra Amir
Hamzah bukan pencapaian terbaik dari suatu kelompok yang mengkhususkan diri
dalam mencari kemudian menemukan semacam puitika yang lain sebagaimana yang
terjadi di Barat. Namun begitu, tidak dapat dihindarkan bahwa ada semacam
ikatan maupun komitmen para beberapa pemrakarsa majalah Poedjangga Baroe
yaitu, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Amir Hamzah sendiri untuk
memajukan bahasa Indonesia. Penerbitan majalah Poedjangga Baroe sendiri
juga merupakan perwujudan komitmen hal tersebut.
Amir Hamzah mewariskan dua buah
kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi.
Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi
Sunyi bukan hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun
juga menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi
Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.
Kumpulan sajak Amir Hamzah yang
lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan
biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi
Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi
Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah
sajak-sajak yang sublim dengan lebih melukiskan pergulatan eksistensial sang
penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang
filosofis yang sunyi.
Para peneliti dan kritikus sastra
yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia
seolah-olah terikat pada bahasa Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga
sangat bebas ketika memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa,
Kawi, atau Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang
pembaca akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu,
misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera,
daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.
Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris
terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu
adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi
Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari
jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
Revolusi sosial yang meletus pada 3
Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Ia adalah korban yang
tidak bersalah dari sebuah revolusi sosial pada waktu itu. Pasukan Pesindo
menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah
yang ditangkap pada 7 Maret 1946. Kemudian, pada dini hari tanggal 20 Maret
1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati.
3.3 Hubungan intertekstual Padamu Jua dengan Do ‘a
PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku……….
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam
termangu
Aku
masih menyebut namamu
Biar
susah sungguh
Mengingat
kau penuh seluruh
CahyaMu
panas suci
Tinggal
kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku
hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
di
pintuMu aku mengetuk
Aku
tidak bisa berpaling
Secara
intertekstual “Do’a” Chairil Anwar menunjukkan adanya persamaan dan pertalian
dengan sajak “Padamu Jua”. Ada gagasan dan ungkapan Chairil Anwar yang dapat
dirunut kembali dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Begitu juga idenya, meskipun
dalam pengolahannya ada perbedaan yang menyebabkan tiap-tiap sajak tersebut
menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi masalah.
Dalam
“Padamu Jua”, si aku yang cinta dunianya habis kikis dan kembali pada Tuhannya
meskipun pada awalnya si aku kecewa karena merasa dipermainkan oleh Engkau.
Namun, akhirnya ia tidak mau pergi lagi karena Engkau sebagai dara dibalik
tirai, menanti si aku seorang diri dengan setia.
Dalam
“Do’a”, si aku terasing dalam
kebingungannya. Meski pada mulanya termangu, tapi, akhirnya dia dating juga
pada Tuhannya. Tidak ada tempat lain untuk mengadukan keremukan bentuknya
selain Dia. Maka, setelah si aku mengetuk pintu kemurahann-Nya, si aku tidak
bisa berpaling lagi.
Amir
Hamzah menggambarkan Tuhan sebagai kandil kemerlap. Ini ditranformasikan oleh
Chairil dalam “Do’a” sebagai sifat Tuhan, kerdip lilin di kelam sunyi.
Si
aku, dalam sajak Amir Hamzah, ragu-ragu karena tidak dapat menangkap wujud
engkau
Satu
kekasihku
Aku
manusia
Rindu
rasa
Rindu
rupa
Dimana
engkau
Rupa
tiada
Suara
sayup
Hanya
kata merangkai hati
Bahkan si aku merasa dipermainkan seperti yang nampak dalam bait dibawah
ini
Engkau
cemburu
Engkau
ganas
Mangsa
aku dalam cakarmu
Bertukar
tangkap dengan lepas
Hal ini ditranformasikan oleh Chairil dalam sajaknya: Tuhanku/ Dalam
termangu/ Aku masih menyebut nama-Mu// Biar susah sungguh/ Mengingat kau penuh
seluruh. Penderitaan si aku dalam sajak Amir Hamzah, bait ke 3, 4 dan 5
ditranformasikan oleh Chairil Anwar pada sajaknya yang berbunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di
negeri asing
Meskipun
ada persamaan ide antara kedua sajak diatas, namun pengekspresiannya berbeda.
Hal ini disebabkan adanya tanggapan yang berbeda mengenai wujud Tuhan
IV. Penutup
4.1 kesimpulan
Dari
larik-larik puisi diatas merefleksikan pergeseran perasaan dan pandangan hidup
penyair pada momen tertentu. Kedua penyair merasa dirinya hampa dan tidak
berarti di hadapan Tuhan yng ia hampiri dan sapa
Dari
kedua puisi ini yakni puisi DOA
karya Chairil Anwar dan puisi ‘Padamu jua karyaAmir Hamzah, memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan itu untuk
menemukan sebuah kualitas karya sastra yang baik.
Persamaan dalam kedua puisi ini yaitu tema yang diangkat oleh kedua puisi
ini sama-sama menjadikan Tuhan sebagai tempat meminta dan berkeluh kesah. Selain itu,kedua puisi ini juga merefleksikan bagaimana perwujudan
Tuhan.keduanya
juga sama dalam hal, pemakaian akulirik. Hal ini
karena sama-sama memandang antara akulirik dengan objeknya (Tuhan).
Perbedaannya dapat dilihat melalui tiga pokok pembahasan yaitu melalui
bahasa puisi, bentuk puisi, dan isi puisi. Ketika pokok pembahasan ini memiliki
persamaan juga di dalamnya. Namun lebih dominan perbedaan yang terkandung di
dalam kedua puisi ini.
Melalui bahasa puisi, terdiri tiga pembahasan yaitu diksi, citraan, dan
kiasan. Pemakaian diksi cenderung lebih ditonjolkan dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah. Tak seperti Chairil Anwar yang lebih banyak menggunakan kata-kata denotatif
dalam penulisan puisinya. Pemakaian citraan pada puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah memiliki citraan rabaan dan gerak, sedangkan puisi “Doa” karya Chairil Anwar tidak memiliki citraan rabaan di
dalamnya. Pemakaian gaya bahasa pada Puisi “Doa” karya
Chairil Anwar cenderung menggunakan gaya
bahasa hiperbola, sedangkan puisi “Padamu
Jua” karya Amir Hamzah lebih
sedikit pemakaian gaya bahasa hiperbola.
Melalui bentuk puisi, terdiri dari tiga pembahasan yaitu bait dan
baris, nilai bunyi, persajakan. Puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah memiliki jumlah bait yang lebih banyak daripada puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Nilai bunyi yang dominan pada puisi “Doa” karya
Chairil Anwar yakni nilai bunyi cacophony,
sedangkan pada puisi “Padamu Jua”
karya Amir Hamzah didominasi oleh
nilai bunyi euphony. Puisi “Doa” karya
Chairil Anwar dan “Padamu Jua” karya Amir Hamzah ini sama-sama mempunyai persajakan bebas, karena tidak dibatasi oleh
kesemua hal yang telah kami kemukakan.
referensi
Dharma, Budi. 1984. Moral Dalam Sastra,(Dalam Andy
Zoelton, ed.). Budaya Sastra. Jakarta:C.V. Rajawali.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Guntur, Tarigan Henry. 1985. Prinsip-prinsip Dasar
Sastra. Bandung: PN. Angkasa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi.
Jakarta: Erlangga.
Zulfahnur. 2006. Sastra
Bandingan. Jakarta: UNJ
Zulfahnur dan Sayuti Kurnia.
1996. Sastra Bandingan. Jakarta: Depdikbud
Abrar Yusra, 1996. “Amir Hamzah, Biografi Seorang Penyair”, dalam Abrar
Yusra [ed.], 1996. Amir Hamzah 1911-1946 Sebagai Manusia dan Sebagai Penyair.
Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Ayu, Djenar Maesa. 2003. Nayla. Jakarta:
Gramedia
A.M. Ali Imron. 2005.
“Intertekstualitas Puisi dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 17.
No. 32. 2005
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori
Metode Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics
of Poetry. Bloomington and London: Indiana Unversity Press.
Effendi,S.,Bimbingan Apresiasi Puisi,Jakarta :Tangga
Mustika Alam, 1982.
Hartoko, Dick, Penghantar Ilmu Sastra, Jakarta:
Granmedia 1981.
Posting Komentar