Sastra
bandingan merupakan salah satu bidang pengkajian yang cukup luas ruang
lingkupnya serta memiliki sifat yang rentan. Tokoh-tokoh yang
berkecimpung dalam disiplin ilmu sastra bandingan memiliki pandangan
yang berbeda-beda mengenai disiplin tersebut. Pada saat tertentu fungsi
dan kaidah sastra bandingan bertumpang tindih dengan bidang pengkajian
sastra yang lain seperti teori, sejarah, dan kritik sastra.
Perbedaan
tanggapan para tokoh tersebut terlihat begitu jelas pada tokoh-tokoh
dari madzab Perancis (lama) dan madzab Amerika (modern). Tokoh-tokoh
dari madzab Perancis seperti H. M. Posnett, Yoseph Texte Terdinand
Baldensperger, M. F. Guyard, Paul van Tieghem, dan Jeane Marie Carre
menanggapi sastra bandingan dalam hubungan “historiko saintifik” (pengkajian secara biologis dan menurut teori-teori evolusi).
M.
F. Guyard menganggap sastra bandingan dalam konteks sebagai sejarah
hubungan kesusastraan antarbangsa. Jean Marie Carre menganggap sastra
bandingan sebagai cabang sejarah kesusastraan, sedang Paul van Tieghem
menganggap sastra bandingan semata-mata bertujuan mengkaji karya sastra
antarbangsa dan hubungannya.
Tanggapan
tokoh-tokoh madzab Amerika seperti Frank Waldeigh Chandler, Henry
Remak, A. Owen Aldridge, Rene Wellek, dan Austin Warren lebih luas dan
memberi implikasi bahwa sastra bandingan merupakan satu bidang
pengkajian yang lebih menyeluruh tapi terpusat pada teks sastra.
Karena
perbedaan tanggapan seperti yang telah diuraikan di atas, maka sastra
bandingan cenderung ke ranah yang sangat luas, dalam, dan rentan. Dari
sinilah timbul berbagai kerumitan yang harus dihadapi oleh seorang
pengkaji dalam mengaplikasikan sastra bandingan. Misalnya aspek genetik
yang merupakan salah satu pendekatan atau kaidah dalam pengkajian sastra
bandingan.
Dalam
mengkaji asal-usul sebuah karya sastra, terdapat lima aspek yang harus
diberi tumpuan, yaitu: 1) pengaruh; 2) saduran (adaptasi); 3) jiplakan
(plagiat); 4) peniruan (imitasi); 5) terjemahan. Masalah yang cukup
menonjol disini ialah menentukan garis panduan yang baku mengenai kelima
aspek tersebut.
Dari
permasalahan tersebut, mungkin saja terjadi kekeliruan atau salah
tafsir terhadap unsur-unsur yang diperbincangkan. Hal ini tentu
menciptakan salah satu kerumitan yang harus dihadapi oleh pengkaji
genetik.
Dalam
pengkajian genetik, pengkaji perlu meneliti unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik satu per satu karya sastra. Dari segi intrinsik, pengkaji
akan meneliti aspek-aspek struktural dua karya sastra atau lebih.
Pengamatan ekstrinsik (evolusi) selanjutnya dapat dikaji melalui latar
belakang kehidupan pengarang.
Pengkajian
genetik memang rumit. Pengkaji perlu melengkapi diri dengan pengetahuan
dan ilmu kesusastraan yang luas dan mendalam. Pengkaji juga perlu
mengenal karya-karya sastra di berbagai bangsa dan pada pelbagai zaman.
Pengkaji
juga perlu mempunyai banyak pengetahuan dalam berbagai disiplin lain
dan fenomena universal yang diperkirakan dapat membantu kerja pengkaji.
Semua ini cukup penting agar rumusan atau hasil kajian ini rasional dan
berwibawa.
Pengkajian
genetik ini cukup membantu dalam mengenal pasti keaslian sebuah karya
sastra. Pengkajian ini juga dapat menyingkap fenomena dan motif
kelahiran karya sastra, dan sekaligus dapat melihat karya sastra-karya
sastra dalam skenario yang kedudukannya lebih universal.
Pengkajian
genetik ini timbul karena minat yang begitu besar untuk memahami dan
menanggapi dunia kesusastraan dalam perspektif yang lebih mendalam,
meluas, dan bermakna. Pengkajian ini membuktikan bahwa bidang
kesusastraan tidaklah menyendiri dan terasing dari bidang-bidang lain.
Bidang kesusastraan merupakan salah satu bidang studi yang yang
bersama-sama dengan bidang studi lain dan saling berinteraksi, baik
secara sadar atau tidak sadar, dan secara langsung atau tidak langsung.
Pengaruh
Pengaruh
merupakan unsur ekstrinsik yaitu kejadian lingkungan pengarang seperti
pergolakan politik, sosial-ekonomi, sosial budaya, yang mempengaruhi dan
menggelitik perasaan dan jiwa pengarang, sehingga tanpa sadar pengarang
‘terpaksa’ menciptakan karya sastra. Namun dalam kenyataannya
seringkali ditemukan bahwa hal-hal yang mempengaruhi karya sastra yang
memiliki kemiripan bukan hanya sekadar hubungan pengaruh karya sastra
satu dan yang lain, namun juga adanya pengaruh secara sosio-historis
maupun pengaruh kultural. Terutama pada karya sastra yang bertema
universal, seperti cinta, diferensiasi sosial, ketuhanan, kepahlawanan,
dan sebagainya.
Kajian
konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra
bandingan. Karya yang terpengaruh dengan karya sebelumnya, tentu akan
memiliki identitas tersendiri. Dari proses pengaruh-mempengaruhi itu
akan terdapat berbagai aspek bandingan yang disebut varian. Dalam
konteks ini, memang karya sebelumnya dianggap karya “super”, artinya
bisa mempengaruhi karya berikutnya. Seberapa jauh keterpengaruhan
tersebut, tergantung kemampuan pengarang. Keterpengaruhan ini jelas akan
dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain : (a) perkembangan karir
pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya
pengarang. Dari tiga hal ini, manakala pengarang berikutnya bersikap
ceroboh, tentu akan terdapat pengaruh yang langsung atau semakin jelas.
Berbeda dengan pengarang yang kreatif, tentu pengaruh tersebut semakin
halus dan hampir tersembunyi. Pengarang yang banyak membaca karya lain
dan sering bermigrasi ke mana-mana, seringkali terpengaruh sumber.
Ada
sebuah kasus, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal
sebagai Hamka, seorang ulama yang sejak muda membangun tradisi menulis,
sehingga setiap langkah dalam pemikirannya bisa diperiksa dan
mempertanggungjawabkan dirinya sendiri, seperti yang kemudian
berlangsung dalam tuduhan plagiat atas Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
(1938). Meski novel ini sudah terbit sebelum proklamasi kemerdekaan
Indonesia, ternyata baru menjadi polemik tahun 1962 setelah mengalami
cetak ulang untuk kedelapan kalinya, yang sangat beruntung terkumpul
dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik (Junus Amir
Hamzah, 1963).
Mengikuti
polemik dalam buku tersebut, Hamka dituduh menjiplak karya Musthafa
al-Manfaluthi berjudul Magdalaine (disebut juga Madjdulin) yang
berbahasa Arab, dan telah diceritakan kembali dalam bentuk film di Mesir
dengan judul Dumu-El-Hub (Airmata Cinta). Disebutkan bahwa Manfaluthi
ternyata juga ”mentjarternja” dari karya berbahasa Perancis, Sous les
Tilleuls (Di Bawah Lindungan Bunga Tilia) yang ditulis Alphonse Karr.
Jika dalam hal Manfaluthi sumber bahasa Perancis itu disebut dengan
jelas; dalam hal Hamka, yang disebutkan sangat menyukai karya-karya
Manfaluthi, memang tidak. Setelah menyebutkan berbagai kemiripan pada
berbagai paragraf, termasuk bagaimana Hamka telah berkiat mengubahnya,
para penyerangnya memastikan status plagiator tersebut kepada Hamka,
sebagai kontradiksi terhadap status sosialnya sebagai agamawan.
Menurut
Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang akhirnya diterjemahkan
sebagai Magdalena (1963), ”Memang ada kemiripan plot, ada pikiran-
pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi
ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri.
Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi,
kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam
serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat
serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam
di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri….”
Ditambahkannya, ”Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri
demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali
kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka, adalah terlalu
gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di
Senen.”
Saduran
Saduran
atau adaptasi adalah penulisan kembali suatu karya sastra dalam genre
yang berbeda dengan genre pertama. Dalam menyadur biasanya unsur-unsur
intrinsik seperti alur, perwatakan, tema, dan sebagainya tetap sama
dengan karya yang disadur. Unsur-unsur intrinsik inilah yang dirunut
oleh pengkaji untuk menemukan asal-usul karya sastra (secara evolusi).
Pengkaji akan mengalami kerumitan lagi apabila karya yang disadur itu
karya asing.
Contoh
saduran yaitu novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata yang disadur
dalam bentuk film, drama musikal, dan mini seri. Cerpen Asma Nadia yang
berjudul “Emak ingin Naik Haji” yang disadur dalam bentuk film. Novel
“Ayat-Ayat Cinta” Karya Habiburrahman El Shirazi yang disadur dalam
bentuk film.
Jiplakan
Jiplakan
(plagiat) merupakan pengambilan bahan karya sastra orang lain yang
dikemukakan sebagai karya sendiri. Masalah awal pengkaji ialah
menentukan kriteria-kriteria jiplakan “pengambilan bahan karya orang
lain” yang bagaimanakah, atau hingga ke tahap manakah yang dapat
dianggap jiplakan? Pengertian plagiat itu subjektif, dan mungkin saja
keliru dengan gejala pengaruh, saduran, atau tiruan.
Dalam
hal sajak saduran dan terjemahan yang termuat di media cetak dengan
nama Chairil Anwar sebagai penulisnya, tanpa nama penulis sajak yang
menjadi sumbernya, seperti Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du
Perron, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden, itulah yang
disebut sebagai sajak plagiat. Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish, “The Young Dead Soldier”. Namun,
melalui perbandingan atas karya asli dalam bahasa Inggris dan Belanda,
dengan hasil saduran dan terjemahan Chairil dalam bahasa Indonesia,
sungguh HB Jassin sebaliknya telah menunjukkan ”kebesaran” Chairil
Anwar, yang harus bekerja dengan ”modal” bahasa dan pencapaian karya
sastra Indonesia seadanya yang tersedia sampai tahun kematiannya, yakni
1949.
Peniruan
Peniruan
(imitasi) mempunyai konotasi yang membawa implikasi yang kurang
menyenangkan, terutama bagi pengarang. Oleh karena itu, pengkaji
hendaknya berhati-hati dalam menentukan suatu karya sastra itu tercipta
karena pengaruh atau peniruan.
Saran
Saman (1986:104). “pengkajian pengaruh hendaknya dijadikan penerangan
terhadap proses penciptaan sebuah karya sastra.” Bahkan menurut Alridge:
“suatu karya sastra tidak akan terwujud tanpa pengarangnya membaca
karya sastra-karya sastra pengarang sebelumnya.” Sama dengan pendapat
Prof. Dr. A. Teeuw: “Karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan.”
Menurut
Barthes, teks bukan lagi deretan kata dengan makna teologis, yakni
bahwa ada ”pesan” dari pengarang yang berperan bagaikan Tuhan, melainkan
teks sebagai ruang multidimensi tempat telah dikawinkan dan
dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang aslinya: teks adalah
suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Seorang
pengarang diibaratkannya hidup di dalam kamus raksasa, tempat ia hidup
hanya untuk meniru buku, dan buku ini sendiri hanya merupakan jaringan
tanda, peniruan tanpa akhir. Suatu teks terdiri dari penulisan ganda,
beberapa kebudayaan yang bertemu dalam dialog, dalam hubungan-hubungan,
yang terkumpul bukan pada pengarang (yang kekiniannya sudah berlalu)
tetapi pada pembaca, ruang tempat teks diguratkan tanpa ada yang hilang.
Pembaca adalah seseorang yang memegang semua jalur dari mana tulisan
dibuat dalam medan yang sama. Sehingga, menurut Barthes, mitos harus
dibalik: Kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang.
Terjemahan
Terjemahan
adalah pemindahan suatu karya sastra dalam suatu bahasa ke bahasa yang
lain. Terjemahan juga merupakan suatu unsur yang dapat dikaji untuk
mengungkapkan asal-usul sebuah karya. Karya terjemahan sebenarnya tidak
menimbulkan banyak masalah bagi pengkaji genetik, karena penerjemahan
merupakan suatu proses dan aktivitas yang mempunyai konsep, kaidah, dan
garis panduan tertentu. Misalnya, Trisno Sumardjo menerjemahkan Romeo and Juliet (1595) karya William Shakespeare dengan Romeo dan Julia (Jakarta: Pembangunan, 1955; cetakan kedua diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1976). Nama Julia digunakan tentu saja dimaksudkan agar nama itu lebih akrab dengan pembaca Indonesia.
Simpulan
Lima
fenomena (pengaruh, saduran, tiruan, jiplakan, dan terjemahan) itu
sangat penting dikaji atau diteliti dalam usaha menemukan sumber dan
asal-usul sebuah karya sastra. Yang lebih penting dalam mengkaji sumber
dan asal-usul sebuah karya sastra, pengkaji perlu mendapatkan
bahan-bahan lain seperti karya sastra, tulisan nonsastra, tulisan dari
bidang-bidang lain, yang kemudian akan dapat mengkaji secara
perbandingan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 2008. Teropong: Plagiarisme dan Kepengarangan. Jakarta : Kompas
Baribin, Raminah. 2003. Sastra Bandingan. Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Posting Komentar