BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan sebuah karya yang pada hakikatnya dibuat dengan
mengedepankan aspek keindahan di samping keefektifan penyampaian pesan.
Aspek keindahan tersebut sengaja dibentuk oleh pengarang dengan
memanfaatkan potensi bahasa yang digali dari kekayaan bahasa setempat.
Aspek keindahan itu juga yang digunakan oleh pengarang agar dapat
memberikan daya tarik kepada suatu karya sastra sehingga mampu memikat
pembacanya. Ciri khas pengarang yang menjadi daya tarik dari suatu karya
dapat dikaji dengan kajian stilistika.
Stilistika merupakan kajian terhadap wujud performasi kebahasaan atau
struktur lahir kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra.
Studi tentang stile tersebut sebenarnya dapat digunakan dalam berbagai
penggunaan ragam bahasa, tidak dibatasi pada ragam bahasa sastra saja.
Namun, ada kecenderungan analisis stilistika lebih sering digunakan
dalam ragam bahasa sastra yang bertujuan untuk menemukan unsur keindahan
yang terdapat dalam karya sastra yang akan dikaji. Maksudnya analisis
stilistik bertujuan untuk menerangkan sesuatu, pada umumnya dalam karya
sastra untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik
dan maknanya
Analisis stilistik ini menjadi sangat penting, karena dapat memberikan
informsasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra. Untuk
memperoleh informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra,
kita harus menganalisis tanda-tanda stilistika yang ada dalam karya
sastra. Tanda-tanda stilistika tersebut dapat berupa unsur fonologi,
leksikal, gramatikal, sintaksis, dan penggunanan bahasa figuratif
(figurative language), wujud pencitaan (imagery) dalam sebuah karya
sastra.
Dalam kajian ini, saya berusaha melakukan anslisis stilistika novel
karya Habiburrahman El Shirazy yang berjudul “Ayat-ayat Cinta” (Gadis
Mesir itu Bernama Maria). Analisis stilistika pada novel “Ayat-ayat
Cinta” pada bab ini dimaksudkan untuk menerangkan hubungan antara bahasa
dengan fungsi artistik dan maknanya.
BAB II
KAJIAN TEORI
Stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang stile. Stile adalah
cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan sesuatu hal yang akan dikemukakan (Abrams lewat
Nurgiyantoro, 1994: 276). Stile atau gaya bahasa merupakan cara ekspresi
kebahasaan oleh pengarang. Pradopo (1994) menyebutkan bahwa gaya bahasa
adalah bagaimana seorang penulis berkata mengenai apapun yang
dikatakannya. Dengan kata lain bahasa merupakan penggunaan bahasa atau
cara bertutur secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, baik efek
estetis atau efek puitis.
Analisis stilistika merupakan sebuah metode analisis karya sastra.
Analisis karya sastra ini bertujuan untuk menggantikan kritik yang
sifatnya subjektif dan impresif dengan analisis stile yang sifatnya
obyektif dan ilmiah. Untuk memperoleh bukti-bukti konkret stile pada
sebuah karya sastra, harus dikaji tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah
sruktur lahir suatu karya sastra. Kajian stile dilakukan dengan
menganalisis unsur-unsur stile dalam karya sastra untuk mengetahui
konstruksi masing-masing unsur untuk mencapai efek keindahan (estetis)
dan unsur yang dominan dalam karya sastra tersebut.
Abrams dalam Nurgiyantoro (1994: 289) mengemukakan bahwa unsur stile
(stylistic feature) terdiri dari unsur fonologi, unsur sintaksis, unsur
leksikal, unsur retorikal (rhetorical berupa karakteristik penggunaan
bahasa figuratif, pencintraan, dan sebagainya). Sementara itu, Leech dan
Short Nurgiyantoro (1994: 289) mengemukakan bahwa unsur stile
(stylistics categories) terdiri dari unsur atau kategori leksikal,
gramatikal, figures of speech, konteks, dan kohesi. Unsur stile dengan
menggabungkan pembagian unsur stile menurut Abrams dan pembagian unsur
stile menurut Leech dan Short tanpa memasukkan unsur fonologis Abrams,
karena unsur-unsur tersebut dianggap tidak banyak memberikan kontribusi
dalam stilistika fiksi.
A. UNSUR LEKSIKAL
Unsur leksikal dalam stilistika fiksi ini mempunyai pengertian yang sama
dengan diksi. Diksi merupakan sesuatu yang mengacu pada pengertian
penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang dalam
karya yang diciptakan. Pemilihan kata-kata tersebut harus melewati
pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dimaksudkan untuk mendapatkan
efek estetis (keindahan). Ketepatan kata-kata tersebut dapat
dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna atau isi. Hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui apakah diksi tersebut mampu mendukung efek estetis
dari karya itu sendiri, mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan
gagasan pengarang.
Menurut Chapman lewat Nurgiantoro (2005: 290), pemilihan kata dapat
melalui pertimbangan-pertimbangan formal tertentu yaitu pertimbangan
fonologis, pertimbangan mode, pertimbangan masalah sintagmatik,
pertimbangan masalah paradigmatik, dan identifikasi jenis kata. Setelah
identifikasi selesai dilakukan masing-masing bentuk dan makna yang
muncul dihitung untuk menentukan jumlah frekuensi masing-masing.
Pertimbangan fonologis biasanya terdapat dalam karya sastra yang
berwujud puisi. Pertimbangan fonologis digunakan untuk kepentingan
aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Dalam karya fiksi, unsur
fonologi juga dipertimbangkan walaupun tidak seintensif karya sastra
yang berbentuk puisi.
Pertimjbangan dari segi mode, bentuk, dan makna dimaksudkan sebagai
media memusatkan atau mengkonsentrasikan gagasan. Masalah pemusatan
gagasan sangat penting, karena hal inilah yang membedakan bahasa sastra
dengan bahasa nonsastra. Penggunaan diksi dalam karya sastra dapat
menggunakan ragam bahasa koloqial (keseharian) selama mampu mewakili
gagasan yang ditawarkan oleh sipengarang.
Pertimbangan sintagmatik mengacu pada hubungan antarkata secara linier
untuk membentuk sebuah kalimat. Bentuk-bentuk kalimat yang disusun oleh
seorang pengarang, baik berupa kalimat sederhana, kompleks, unik, dan
jenis kalimat lainnya akan mempengaruhi kata, khususnya bentuk kata.
Pertimbangan paradigmatik mengacu pada diksi atau pilihan kata di antara
sejumlah kata yang memilki hubungan makna. Pengarang harus mampu
memilih kata-kata yang konotasinya paling tepat untuk mengungkapkan
gagasan sehingga pengarang mampu mencapai efek yang diinginkan.
Identifikasi jenis kata sangat diperlukan dalam analisis leksikal sebuah
karya fiksi. Kita dapat mengidentifikasi jenis kata dengan menganalisis
kata yang dipergunakan sederhana atau kompleks, kata formal atau
koloqial, kata yang berkaitan dengan bahasa lain atau tidak, dan kata
yang berkaitan dengan arah makna yang dituju. Selain itu, kita juga
harus mempertimbangkan jenis kata seperti kata benda, kata kerja, kata
sifat, kata bilangan, dan kata tugas yang diikuti oleh
pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang sesuai dengan jenis kata yang
bersangkutan.
B. UNSUR GRAMATIKAL
Unsur gramatikal pada kajian stilistika mengacu pada pengertian struktur
kalimat. Menurut Nurgiyantoro (2005: 292), bahwa dalam kegiatan
komunikasi bahasa juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat
lebih penting dan bermakna dari pada sekedar kata meskipun gaya kalimat
dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya (diksi). Sebuah
gagasan atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang dapat
menggunakan berbagai kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosa
katanya. Jadi, penyampaian isi yang sama dapat diungkapkan dengan bentuk
yang berbeda-beda.
Setiap pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa.
Oleh karena itu, unsur deviasi atau penyimpangan dalam bahasa sastra
menjadi suatu hal yang wajar. Seperti yang diungkapkan oleh Chapman
lewat Nurgiyantoro (2005: 293), secara teoritis jumlah kata yang
berhubungan secara sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat
berapa saja sehingga mungkin panjang sekali. Secara formal tak ada batas
berapa jumlah kata yang seharusnya dalam sebuah kalimat.
Deviasi atau penyimpangan struktur kalimat dalam karya sastra dapat
berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu,
dan lain-lain. Penyimpangan struktur kalimat dimaksudkan untuk
memperoleh kesan estetis dan sebagai sarana utnuk menekankan pesan
tertentu. Menurut Nurgiyantoro (2005: 293), hal seperti di atas dikenal
sebagai pengendapan atau foregrounding yang dianggap oleh sebagian orang
sebagai salah satu bahasa sastra. Kegiatan analisis penyimpangan
kalimat, dapat berupa kompleksitas kalimat, jenis kalimat, jenis klausa,
dan frasa.
a). Kompleksitas Kalimat
Kompleksitas kalimat mengacu pada jenis kalimat sederhana atau kalimat
kompleks yang digunakan oleh pengarang dalam karyanya. Bagaimanakah
keadaaan secara keseluruhan? Berapa rata-rata jumlah kata per kalimat?
Bagaimanakah variasi penampilan struktur kalimat sederhana dan kalimat
kompleks yang digunakan? Dalam kalimat kompleks, hubungan apakah ynag
menonjol, koordinatif, subordinatif, ataukah parataksis?
b). Jenis Kalimat
Jenis kalimat dapat berupa kalimat deklinatif, kalimat imperatif,
kalimat interogatif, atau kalimat minor? Jenis kalimat manakah yang
menonjol dan apa fungsinya? Pembedaan jenis kalimat ini juga dapat
berupa kalimat aktif pasif, nominal verbal, langsung tak langsung, dan
sebagainya.
c). Jenis Klausa dan Frasa
Jenis klausa dan frasa dapat mengacu pada klausa dan frasa apa sajakah
yang menonjol, sederhana ataukah kompleks? Jenis klausa dan frasa dapat
diambil yang jumlahnya dominan. Pembatasan tersebut misalnya, untuk
klausa dibatasi pada klausa adverbial, kondisional, dan temporal.
Dalam analisis struktur kalimat karya fiksi perlu diperhatikan apakah
penggunaan struktur kalimat yang dominan mempunyai efek tertentu bagi
karya yang bersangkutan atau tidak. Apakah penggunaan struktur kalimat
tersebut lebih tepat apabila dibandingkan dengan struktur kalimat yang
lain? Apakah struktur kalimat itu lebih memperjelas makna ynag ingin
disampaikan? Apakah ada penekanan makna dan sebagainya?
C. RETORIKA
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek
estetis. Retorika dapat diperoleh melalui kreatifitas pengarang dalam
mengungkapkan bahasa sebagai media pengarang untuk menyampaikan gagasan.
Sebenarnya, retorika berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa,
baik yang menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan, struktur
kalimat, segmentasi, penyusunan, penggunaan bahasa kias, pemanfaatan
bentuk citraan, dan lain-lain yang semuanya disesuaikan dengan situasi
dan tujuan penuturan.
Menurut Keraf (1980:1), retorika adalah suatu istilah yang secara
tradisional diberikan pada suatu cara pemakaian bahasa sebagai seni yang
didasarkan pada suatu pengetahuan yang disusun baik. Oleh karena itu
retorika harus dipelajari oleh orang-orang yang ingin mrnggunakan bahasa
sebaik-baiknya untuk tujuan tertentu baik dalam karya sastra maupun
karya nonsastra, pembicaraan formal, dan lain-lain. Retorika sendiri
bertujuan menerangkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan dari tulisan
yang bersifat prosa atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau
ceramah, untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang. Untuk mencapai
tujuan tersebut, retorika dapat menggunakan unsur yang bertalian dengan
kaidah-kaidah keefektifan dan keidahan gaya bahasa, misalnya ketepatan
pengungkapan, keefektifan struktur kalimat, penggunaan bahasa kiasan
yang serasi, penampilan yang sesuai dengan situasi, dan sebagainya.
Secara singkat retorika membicarakan dasar-dasar yang fundamental untuk
menyusun sebuah wacana baik sastra maupun non sastra yang efektif.
Menurut Abrams lewat Nurgiyantoro (2005: 296), unsur stile yang berwujud
retorika meliputi pemakaian bahasa figuratif (figurative language) dan
wujud pencitraan (imagery). Bahasa figuratif itu sendiri dapat dibedakan
menjadi (1) figures of though atau tropes, dan (2) figures of speech,
rhetorical figures, atau schemes.
Figures of thought atau tropes mengacu pada penggunaan unsur kebahasaan
yang menyimpang dari makna harfiah dan lebih mengacu pada makna literal
atau literal meaning. Secara singkat figures of thought mempersoalkan
pemajasan. Sementara itu, figures of speech, rhetorical figures, atau
schemes mengacu pada pengurutan kata, masalah permainan struktur. Jadi,
rhetorical figures di sini menekankan pada cara penstrukturan atau bisa
disebut sebagai cara penyiasatan struktur. Penyiasatan struktur
merupakan suatu warisan retorika klasik yang sering dianggap oleh orang
awam sebagai “satu-satunya” gaya bahasa. Berikut ini merupakan unsur
retorika
1). Pemajasan
Pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang
maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata atau kata yang
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang
tersirat. Jadi, pemajasan merupakan gaya yang sengaja memanfaatkan
penuturan dengan menggunakan bahasa kias Menurut (Nurgiyantoro, 2005:
296). Dalam pemajasan ini, masih ada hubungan makna antara bentuk
harfiah dengan makna kiasnya. Akan tetapi, hubungan tersebut bersifat
tidak langsung yang membutuhkan penafsiran pembaca. Jadi, penggunaan
bahasa dalam kesusastraan merupakan salah satu bentuk penyimpangan
makna.
Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata,
frasa, atau klausa. Keraf (1981: 114) membagi gaya bahasa menjadi dua
bagian yaitu gaya langsung atau gaya retoris (rhetorical figures) dan
bahsa kiasan (tropes). Untuk mendapatkan efek estetis yang diharapkan
gaya retoris dan bahasa kiasan tersebut harus tepat dalam penggunaannya,
gaya bahasa tersebut harus mampu mengarahkan interpretasi pembaca yang
kaya dengan asosiasi-asosiasi, di samping juga dapat mendukung
terciptanya suasana dan nada tertentu.
a) Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris merupakna gaya bahasa yang mengacu pada makna yang
diartikan menurut nilai lahirnya. Oleh karena itu, tidak akan menemui
kesulitan dalam pemakaian selama diksinya tepat. Berikut ini merupakan
bentuk-bentuk dari bahasa retoris
Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa yang memakai kata-kata yang dimulai
dengan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam karya sastra
berbentuk puisi. Contoh: Takut titik lalu tumpah
Anastrof
Anastrof merupakan inversi atau pembalikan susunan kata-kata dalam
sebuah kalimat, berbeda dari susunan biasa. Pergilah ia meninggalkan
kami, keheranan kami melihat perangainya.
Apostrof
Apostrof merupakan gaya bahasa yang berbentuk sebuah amanat yang
disampaikan kepada sesuatu yang tidak hadir. Makna apostrof adalah
berpaling atau berputar. Sesuatu yang tidak hadir dimaksudkan kepada
mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek khayalan atau
abstrak.
Inuendo
Inuendo merupakan sindiran dengan mengecilkan kenyatan yang sebenarnya.
Inuendo menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering
tampak tidak menyakitkan hati pada mulanya.
Perifrasis
Perifrasis merupakan gaya atau acuan untuk menyatakan maksud secara
tidak langsung atau dapat dikatakan suatu cara yang abstrak untuk
mengungkapkan suatu maksud.
Pleonasme atau tautologi
Pleonasme atau tautalogi merupakan acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan.
Prolepsis
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang
mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa
atau gagasan yang sebelumnya terjadi.
Pertanyaan retoris
Pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam
pembicaraan atau penulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang baik
dan penekanan yang wajar, dan tidak menghendaki suatu jawaban.
Silepsis dan Zeugma
Silepsis atau zeugna adalah gaya di mana orang mempergunakan sepatah
kata dalam hubungannya dengan dua kata atau lebih yang disangka sama
tapi sebenarnya tidak.
Apofais
Apofais merupakan gaya bahasa di mana pengarang menegaskan sesuatu tapi
tampak menyangkalnya. Contoh: Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam
kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa anda pasti
membiarkan anda menipu diri sendiri. Saya tidak mau mengungkapkan dalam
forum ini, bahwa saudara telah menggelapkan uang ratusan juta rupiah
uang negara.
Asindeton
Asindenton merupakan gaya bahasa yang bersifat padat dan mampat di mana
beberapa kata yang sederajat berurutan, atau klausa-klausa yang
sederajat, tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Kiasmus (Chiasmus)
Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang mengandung dua
bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang yang
dipertentangan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu
terbalik bila dibandingkan dengan frasa, klausa, atau lainnya.
Elipsis
Elipsis merupakan gaya bahasa dengan menghilangkan satu kata atau lebih
yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau
pendengar, sehingga struktur gramatikalnya memenuhi pola yang berlaku.
Eufemismus
Eufemismus merupakan acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk
mengantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung
perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Histeron Portenon
Histeron portenon merupakan gaya bahasa kebalikan dari sesuatu yang
logis atau kebalikan dari urutan yang wajar, misalnya menempatkan
sesuatu yang terakhir pada awal.
Ironi
Ironi atau sindiran merupakan semacam acuan yang ingin mengatakan
sesuatu dengan makna atau maksud yang berlainan daripada yang terkandung
dalam rangkaian kata-katanya itu.
Litotes
Litotes merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
b) Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang dilihat dari segi makna dan
tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan kata-kata yang membentuknya.
Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit.
Perbandingan yang bersifat eksplisit ini dimaksudkan bahwa ia langsung
menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain dan menggunakan
kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dsb.
Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang tak bernyawa seolah-olah
memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha untuk mensugestikan kesamaan
antara orang, tempat, atau, peristiwa. Contoh: Bandung adalah paris
jawa.
Metonimia
Metonimia merupakan gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat erat.
Metafora
Metafora adalah perbandingan yang tanpa menggunakan kata-kata: bagaikan,
seperti, laksana, dsb. Jadi, pokok yang pertama langsung dihubungkan
dengan pokok yang kedua. Contoh: pemuda adalah bunga bangsa.
Sinekdoke
Sinekdoke merupakan bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari
sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).
Eponim
Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk
menyatakan sifat itu, misalnya hercules untuk menyatakan kekuatan.
Epilet
Epilet adalah acuan yang berwujud sebuah frasa deskriptif yang
menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Contoh:
lonceng pagi untuk ayam jantan.
Pun atau paranomasia
Pun atau paranomasia adalah permainan kata-kata yang didasarkan pada
kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Contoh:
tanggal dua gigi saya tanggal dua.
Hiperbol
Hiperbol merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan segala sesuatu.
Paradoks
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Oksimoron
Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai objek yang bertentangan.
Hipalse
Hipalse merupakan semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu
digunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada
sebuah kata lain.
2). Penyiasatan Struktur
Pencapaian efek estetis yang diharapkan dipengaruhi oleh bangunan
struktur kalimat secara keseluruhan bukan semata-mata oleh gaya bahasa
tertentu. Namun dari keseluruhan unsur tertentu ada struktur yang
menonjol yang mampu menghadirkan kesan yang berbeda.
Dalam sebuah karya fiksi, pendayagunaan struktur kalimat pun
menghasilkan suatu bentuk stile yang lain. Pertama menekankan
pengungkapkan melalui penyiasatan makna dan yang kedua melalui
penyiasatan struktur. Dalam pencapaian efek retoris, peranan penyiasatan
struktur (rhetorical figures/figure of speech) lebih menonjol dari
pemajasan. Namun keduanya bisa digabungkan untuk memperoleh suatu yang
lebih segar. Dengan demikian, sebuah kalimat penuturan dapat saja
mengandung gaya pemajasan dan gaya penyiasatan struktur. Ada banyak hal
yang biasa digunakan dalam penyiasatan struktur diantaranya repetisi,
paralelisme, anafora, polisindenton, asindenton, antitesis, aliterasi,
klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.
Repetisi dan anafora adalah dua bentuk gaya pengulangan dengan
menampilkan pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Kata atau
kelompok kata yang diulang bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih
dan berada pada posisi awal, tengah, ataupun akhir. Sementara itu,
anafora menampilkan pengulangan kata pada awal beberapa kalimat yang
berurutan.
Di pihak lain, paralelisme mengacu pada penggunaan bagian-bagian kalimat
yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal (dan menduduki fungsi yang
sama pula) secara berurutan. Bentuk-bentuk gramatikal yang paralel dapat
berupa struktur kata, frasa, kalimat, ataupun alinea.
Di samping paralelisme, ada gaya lain yang menggunakan unsur paralelisme
dan dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan yang bertentangan. Bentuk
gaya bahasa tersebut disebut antitesis.
Bentuk gaya pengulangan yang lain adalah polisendenton dan asindenton.
Polisindenton berupa penggunaan kata tugas tertentu, misalnya kata
“dan”, sedangkan asidenton yaitu pengulangan yang menggunakan pungtuasi
yang berupa tanda koma. Selain itu ada penggunaan aliterasi, aliterasi
adalah penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki
kesamaan fonem konsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata.
Gaya klimaks dan antiklimaks bertujuan untuk mengungkapkan dan
menekankan gagasan dengan cara menampilkannya secara berurutan. Pada
gaya klimaks, urutan tersebut menunjukan semakin meningkatnya kadar
pentingnya gagasan itu. Sementara itu, antiklimaks menunjukan semakin
merendahnya kadar gagasan tersebut.
Pertanyaan retoris merupakan gaya yang menekankan atau mengungkapkannya
dengan menampilkan semacam pertanyaan yang tak menghendaki atau tak
membutuhkan jawaban. Pertanyaan retoris dianggap hanya memiliki satu
jawaban dan pembaca dianggap telah mengerti apa jawaban dari pertanyaan
yang diajukan.
3). Pencitraan
Dalam dunia kesusastraan dikenal istilah citra (image) dan pencitraan
(imagery) yang keduanya mengacu pada reproduksi mental. Citra adalah
gambaran pengalaman indra yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran
berbagai pengalaman sensoris yang diangkat oleh kata-kata. Sementara
itu, pencitraan merupakan kumpulan citra, the collection of image, yang
dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indra yang
dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah
maupun secara kias (Abrams lewat Nurgiyantoro, 2005 : 304).
Menurut Pradopo (1987: 79), gambaran-gambaran angan dalam sajak disebut
citraan. Citraan tersebut khususnya di dalam puisi yang bertujuan untuk
memberi gambaran yang jelas, memberi suasana yang khusus, dan membuat
lebih hidup gambaran yang diungkapkan dalam pikiran atau karya tersebut.
Selain itu, citraan juga digunakan untuk menarik perhatiaan pembaca
pada karya sastra khususnya puisi. Pencitraan terdiri dari lima bentuk
yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan
(kinestetik), rabaan (taktik termal), dan penciuman (olfaktori). Akan
tetapi, kelima pencitraan tersebut berbeda intensitas pemanfaatannya
dalam karya sastra.
Bentuk pencitraan dalam karya sastra tidak mutlak secara harfiah. Akan
tetapi bentuk pencitraan yang muncul dalam karya sastra dapat juga
bersifat kiasan, misalnya yang berupa perbandingan-perbandingan. Dengan
demikain, bentuk atau gaya pencitraan dapat muncul sekaligus lewat
kalimat dengan gaya pemajasan, dan keduanya pun dapat bergabung dalam
satu kalimat dengan gaya penyiasatan struktur.
D. KOHESI
Dalam setiap karya sastra, antara bagian kalimat yang satu dengan bagian
yang lain mempunyai hubungan yang bersifat mengaitkan antar bagian
kalimat atau antar kalimat itu. Antar unsur dalam suatu karya sastra
tersebut dihubungkan oleh unsur semantik. Menurut Halliday dan Hasan via
Nurgyiantoro (1994: 306), hubungan semantik merupakan bentuk hubungan
yang esensial dalam kohesi yang mengaitkan makna-makna dalam sebuah
teks. Hubungan kohesi tersebut dapat berupa hubungan implisit dan
eksplisit. Hubungan yang sifatnya eksplisit ditandai dengan kata hubung
atau kata-kata tertentu yang sifatnya menghubungkan. Sementara itu,
hubungan yang sifatnya implisit hanya berupa hubungan kelogisan,
hubungan yang disimpulkan sendiri oleh pembaca (infered connection).
Pengungkapan hubungan secara implisit dan eksplisit tersebut perlu
penyiasatan.
Hubungan antar unsur dalam suatu teks fiksi pada dasarnya merupakan
hubungan makna dan referensi, namun orang cenderung melihatnya dari segi
sarana formal sebagai penanda hubungannya. Hubungan antar unsur dalam
karya fiksi dapat diwujudkn dengan sambungan dan rujuk silang. Sambungan
merupakan alat kohesi yang berupa kata-kata sambung, sedangkan rujuk
silang berupa sarana bahasa yang menunjukan kesamaan makna dengan bagian
yang direferensi.
Penanda kohesi yang berupa sambungan dapat berupa kata tugas seperti
dan, kemudian, sedang, tetapi, namun, melainkan, bahwa, sebab, jika,
maka, dsb yang menghubungkan antar bagian kalimat, sebagai preposisi
atau konjungsi. Penanda kohesi yang menghubungkan antar kalimat biasanya
berupa kata atau kelompok kata yang sama.
Rujuk silang merupakan penyebutan kembali suatu hal yang telah
dikemukakan sebelumnya, merupakan sarana pengulangan makna dan
referensi. Pengulangan formal adalah bentuk pengulangan paling nyata
yang berupa pengulangan kata atau kelompok kata yang sama.
Menurut Leech & Short lewat Nurgiyantoro (1994: 307) mengungkapkan
bahwa kohesi mengenal adanya prinsip pengarangan (reduction), yaitu yang
memungkinkan kita utnuk menyingkat apa yang akan disebut kembali.
Pengurangan tersebut pada umumnya dilakukan apabila sesuatu yang
dituturkan itu panjang. Bentuk penyingkatan, pengurangan, atau
pergantian yang banyak dipergunakan adalah berupa pemakaian kata-kata
ganti persona seperti kalian, kau sekalian, kami, kita, dan mereka.
E. NADA
Nada atau tone, nada pengarang (authorical tone), dalam pengertian yang
luas, dapat diartikal sebagai pendirian atau sikap yang diambil
pengarang (tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap
sebagian masalah yang dikemukakan (Leech & Short via Nurgiyantoro,
2005: 284). Nada merupakan ekspresi sikap, sikap pengarang terhadap
masalah yang dikemukakan terhadap pembaca. Dalam bahasa lisan, nada
dapat dikenali melalui intonasi ucapan, misalnya nada rendah atau lemah
lembut, santai, meninggi, sengit, dan sebagainya.
Sementara itu, dalam bahasa tulis nada akan sangat ditemukan oleh
kualitas stile. Oleh karena itu, Kenny mengemukakan bahwa stile adalah
sarana, sedangkan nada adalah tujuan. Salah satu kontribusi penting dari
stile adalah untuk membangkitkan nada (Kenny via Nurgiyantoro, 1994:
285
BAB III
HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
A. UNSUR STILE
a. Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud di sini sama pengertiannya dengan diksi
atau pilihan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarangnya.
Pemilihan kata tersebut melalui beberapa pertimbangan formal.
a). Pertimbangan fonologis
Dalam novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab I “Gadis Mesir itu Bernama
Maria”, Habiburrahman El Shirazy tidak mempertimbangkan aspek atau unsur
fonologis. Pertimbangan unsur fonologis biasanya lebih ditekankan pada
karya sastra berbentuk puisi. Dalam puisi, pertimbangan fonologis
digunakan untuk kepentingan aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu.
b). Pertimbangan dari segi bentuk, mode, dan makna
Habiburrahman El Shrazy dalam novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab “Gadis
Mesir itu Bernama Maria”, mempertimbangkan segi bentuk, mode, dan makna
yang digunakan sebagai sarana untuk mengkonsentrasikan gagasan. Dalam
pengungkapan gagasan, Habiburrahman El Shirazy menggunakan bahasa
koloqial yang dipadukan dengan bahasa sastra. Bahasa koloqial digunakan
untuk mempermudah pemahaman pembaca. Sementara itu, bahasa sastra
digunakan untuk menarik pembaca supaya masuk ke dalam cerita yang
ditawarkan.
Bahasa koloqial yang digunakan oleh pengarang didominasi dalam bentuk
dialog yang digunakan dalam novel tersebut. Hal tersebut digunakan untuk
mempermudah sampainya maksud pengarang sehingga pembaca juga lebih
mudah memahami maksud yang diinginkan oleh pengarang. Bahasa koloqial
tersebut dapat memperlihatkan keakraban, kekeluargaan, dan kuatnya
persaudaraan antartokoh di dalam novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab “Gadis
Mesir itu Bernama Maria”. Tampak pada:
“Mas Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya
istirahat saja di rumah?”, saran Saeful yang baru keluar dari kamar
mandi. Darah yang merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.”(El
Shirazy, 2004: 4)
”Sudah bawa air putih, Mas?”(El Shirazy, 2004: 5)
“Hey, Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?
“Shubra.”
“Talaqqi Al Quran ya?”
“Aku mengganguk.”
“Pulangnya kapan?”
“Jam lima insya Allah.”
“Bisa nitip?”
“Nitip apa?”
“Belikan disket. Dua. Aku malas sekali keluar.”
“Baik., insya Allah”
(El Shirazy, 2004:8)
Dalam kutipan di atas tampak adanya kedekatan antara Fahri sang tokoh
utama dengan Saeful, penghuni flat yang sama dengan Fahri dan dialog
yang ketiga fahri dengan Mariam yang meminta fahri untuk membelikan
sebuah disket. Dalam pergaulan mereka tampak adanya perhatian dan kasih
sayang yang dalam. Pengarang menyampaikan gagasan tersebut dengan bahasa
koloqial. Bahasa koloqial tersebut menggunakan bahasa Indonesia dan
juga bahasa Arab. Habiburrahman El Shirazy menggunakan bahasa Indonesia
dan Arab dalam bentuk bahasa koloqial karena tokoh-tokoh yang digunakan
dalam novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya pada bab “Gadis Mesir itu
Bernama Maria” berasal dari Indonesia. Walaupun mereka berlima belajar
di Universitas Al Azhar Mesir. Tokoh-tokoh tersebut bernama Fahri,
Saeful, Rudi, Hamdi, dan Mishbah. Penggunaan bahasa Indonesia tersebut
sebagai salah satu sarana untuk menunjukan pada pembaca bahwa mereka
berlima adalah mahasiswa Indonesia yang sedang mengemban amanahnya untuk
belajar di Universitas Al Azhar Mesir. Dalam kehidupan sehari-hari,
mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi di
antara mereka yang terkadang diselingi dengan bahasa Arab Fusha yang
biasanya digunakan oleh orang Mesir sebagai bahasa sehari-hari.
Penggunaan bahasa Arab Fusha tampak pada:
“Allah yubarik fik, Mas”. (El Shirazy, 2004: 5)
“Wa iyyakum!”, balasku sambil memakai kaca mata hitam dan memakai topi
menutupi kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.” (El Shirazy,
2004: 5)
“Fahri, istanna suwaya!” (El Shirazy, 2004: 9)
“Fi eh kaman?” (EL Shirazy, 2004: 9)
“Syukron Fahri.” (El Shirazy, 2004: 9).
Bahasa Arab Fusha yang digunakan sengaja dipilih oleh pengarang sebagai
sarana untuk menunjukan pada pembaca bahwa latar atau setting cerita
dalam novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab “Gadis Mesir itu Bernama Maria”
tersebut berada di daerah Mesir dengan bahasa Arab Fusha sebagai bagai
sehari-hari penduduk Mesir. Allah yubarik fik dalam bahasa Indonesia
berarti semoga Allah melimpahkan berkah padama. Wa iyyakum berarti dan
semoga melimpahkan (berkah-Nya) pada kalian semua. Fahri, Istanna
suwayya berati tunggu sebentar. Fi eh kaman berarti ada apa lagi.
Sementara Syukron Fahri berarti terima kasih Fahri.
c). Pilihan kata berdasarkan masalah sintagmatik
Sintagmatik berkaitan dengan hubungan antarkata secara linier untuk
membentuk sebuah kalimat. Bentuk-bentuk kalimat yang digunakan oleh
Habiburrahman El Shirazy dalam novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya bab
“Gadis Mesir itu Bernama Maria” berupa kalimat sederhana dan lazim
digunakan karena Habiburrahman El Shirazy menggunakan bahasa koloqial.
Penggunaan bahasa koloqial tersebut mempermudah pembaca menelaah isi
novel tersebut. Meskipun penggunaan bahasa koloqial tersebut diselingi
dengan penggunaan bahasa Arab fusha, pembaca akan tetap paham dengan apa
yang dimaksudkan oleh pengarang. Hal tersebut terjadi karena pengarang
membubuhkan catatan kaki sebagai terjemahan dari bahasa Arab Fusha yang
digunakan.
“Fahri, istana suwayya!”
“Fi eh kaman?”
“Syukron Fahri”
Terjemahan:
Tunggu sebentar
Ada apa lagi?
Terima kasih
(El Shirazy, 2004: 9).
d). Pilihan kata berdasarkan masalah paradigmatik
Hubungan Paradigmatik berkaitan dengan pilihan kata di antara sejumlah
kata yang berhubungan secara makna, misalnya dalam kutipan berikut:
“Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang piket masak Hamdi. Dia paling suka
masak oseng-oseng wortel campur kofta.” (El Shirazy, 2004: 5)
“Apalagi jika diselingi minum ashir mangga yang sudah didinginkan satu
minggu di dalam kulkas atau makan buah semangka yang sudah dua hari
didinginkan.” (El Shirazy, 2004: 7)
Habiburrahman memilih kata kofta yang berarti daging yang telah
dicincang halus dengan mesin dan ashir yang berarti juice, karena
Habiburrahman menganggap kata-kata berbahasa Arab Fusha tersebut
mempunyai konotasi yang paling tepat untuk menyatakan bahwa mereka
tinggal di dataran Mesir yang kental dengan dialog Arab Fusha. Dari situ
pembaca dapat melihat kebiasaan dan cerminan orang Mesir.
Selain penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Arab Fusha, Habiburrahman
El Shirazy menggunakan atau menyisipi bahasa Jawa sebagai sarana
penyampaian gagasan. Hal tersebut tampak pada kutipan tersebut:
“Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan panas, biasanya sudah mimisan, hidungnya mengeluarkan darah.” (El Shirazy, 2004: 2)
“Sesekali ia kungkum, mendinginkan badan di kamar mandi.”
(El Shirazy, 2004: 2)
“Dengan tekad bulat, setelah mengusir rasa aras-arasen, aku bersiap untuk keluar.” (El Shirazy, 2004: 2)
Penggunaan kata-kata mimisan, kungkum, dan aras-arasen pada kutipan di
atas, digunakan oleh Habiburrahman El Shirazy dengan alasan bahwa
kata-kata berbahasa Jawa tersebut mempunyai konotasi yang tepat untuk
menyatakan bahwa Fahri sang tokoh utama bersal dari indonesia yaitu
orang Jawa.
Dalam novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab “Gadis Mesir itu Bernama Maria”,
Habiburrahman El Shirazy juga menggunakan istilah islam yang berkaitan
dengan pembacaan Al-Qur’an. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut:
“Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar Ash-
Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk
talaqqi pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini, aku
belajar qiraah sab’ah dan ushul tafsir.” (El Shirazy, 2004: 2)
Penggunaan istilah talaqqi, qiraah sab’ah dan ushul tafsir, memberikan
pengertian pada pembaca bahwa Fahri sang tokoh utama adalah seorang
mahasiswa Us’uludin yang hafal Al-Qur-an dan belajar membaca Al-Qur’an
dengan riwayat tujuh imam. Istilah-istilah tersebut memberikan gambaran
siapa dan bagaimana sebenarnya tokoh utama dalam cerita ini. Adanya
istilah-istilah dalam proses pembacaan Al-Qur’an tersebut tidak
menyebabkan pembaca hilang komunikasi dengan pengarang. Justru hal
tersebut memberikan gambaran yang jelas dengan tokoh Fahri. Hal ini
disebabkan karena pengarang memberikan catatan kaki sebagai terjemahan
dari istilah-istilah tersebut. Talaaqi berarti belajar langsung face to
face dengan seorang Syaikh atau ulama. Qiraah sab’ah adalah membaca
Al-Qur’an dengan riwayat tujuh imam. Sementara ushul tafsir adalah ilmu
tafsir paling pokok.
Di samping penggunaan istilah-istilah dalam pembelajaran Al-Qur’an,
Habiburrahman El Shirazy juga menggunakan nama-nama tokoh yang bernuansa
islam dan Mesir sebagai sarana penggambaran bahwa tokoh-tokohnya adalah
seorang muslim. Nama-nama tokoh tersebut mulai dari mahasiswa Indonesia
yang berada dalam flat tersebut yaitu Fahri, Saeful, Misbah, Rudi, dan
Hamdi. Nama-nama tersebut adalah nama-nama yang biasa dipakai oleh orang
Indonesia untuk seorang muslim. Selain itu pengarang juga menggunakan
nama-nama para ulama yang sangat diagungkan dalam islam. Nama-nama
tersebut seperti Syaikh Utsman Abdul Fattah, dan Syaikhul Maqari Wal
Huffadh Fi Mashr. Hal tersebut menunjukkan bahwa, tokoh utama kita Fahri
memang belajar di Mesir yang memiliki guru/ dalam islam biasa disebut
Ustad yang berasal dari Mesir.
Dilihat dari segi nama, Pembaca dapat masuk dalam suasana yang
ditawarkan oleh penulis. Selain itu, dalam bab ‘Gadis Mesir itu Bernama
Maria’ Habiburrahman memunculkan nama Maria seorang gadis kristen koptik
dari keluarga Tuan Boutros Rafael Girgis. Kedua nama tersebut
menunjukkan bahwa Maria dan Tuan Boutros merupakan pengikut kristen
koptik yang berdarah Mesir. Hal itu juga dapat dilihat dari nama
belakang Tuan Boutros yaitu Girgis.
Habiburrahman juga sangat pendai dalam mendeskripsikan tempat dan
keadaan sehingga pembaca pembaca benar-benar merasa masuk ke dalam
negeri Mesir sebagai setting yang ditawarkan oleh pengarang. Pembaca
benar-benar merasakan bagaimana kondisi Mesir dan seolah-olah melihat
serta merasakan sendiri. Hal tersebut tampak pada:
“Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah
petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat
bumi. Tanah dan pasir seakan menguakan bau meraka. Hembusan angin sahara
disertai debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi
dari detik ke detik. Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat
yang ada dalam apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu,
jendela, dan tirai tertutup rapat” (El Shirazy, 2004: 1)
“Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di masjid Abu Bakar Ash
Shiddik yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk
talaqqi pada Syaikh Utsman Abdul Fattah (El Shirazy 2004:2)
Selain penggunaan empat pertimbangan formal di atas, dalam analisis
leksikal sebuah karya fiksi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan secara
umum dan jenis kata. Dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” (Gadis Mesir itu
Bernama Maria), Habiburrahman menggunakan kata-kata yang sederhana dari
ragam bahasa kolokial. Selain itu, Habiburrahman juga menggunakan
kata-kata berbahasa Arab Fusha yang kadarnya cukup banyak. Arah makna
yang ditunjuk bersifat referensial karena mengacu pada hal yang dituju
dan bersifat denotasi karena menggunakan bahasa yang bermakna
sesungguhnya berupa ragam bahasa koloqial.
Analisis unsur leksikal selanjuntnya adalah berdasarkan jenis kata.
Dalam novel “Ayat-ayat Cinta” bab I “Gadis Mesir itu Bernama Maria”
dipakai kata benda sederhana yang sifatnya kongkret. Hal ini dikarenakan
kata benda yang digunakan menunjuk pada benda, makhluk, atau manusia.
Kata kerja yang digunakan berupa kata kerja kompleks karena terdiri dari
kata kerja transitif dan kata kerja intransitif. Kata keja transitif
dan intransitif tersebut mengacu pada tindakan, pernyataan, atau
peristiwa. Dalam novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya pada bab “Gadis Mesir
itu Bernama Maria”, Habiburrahman El Shirazy sedikit menggunakan kata
sifat dan kata bilangan. Di sisi lain, penggunaan kata tugas cukup
mendominasi. Kata-kata tersebut meliputi: sebagaimana, lalu, dan, atau,
hanya, sementara, apalagi, tapi, ketika, saat, serta lalu.
Maria lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal,. Anehnya ia terlebih
dahulu membaca ta’awudz. Dan basmalah. Ia tahu adab dan tata cara
membaca alquran . jadilah dalam perjalanan dari mahattah anwar sadat
tahrie samapi tura el-esmen kuhabiskan untuk menyimak seorang maria
membaca surat Maryam dari awal samapi akhir…(El Shirazy 2004:11)
Untuk lebih jelasnya, tabel identifikasi jenis kata dan frekuensi
munculnya berbagai jenis kata tersebut terdapat pada halaman lampiran.
B. UNSUR GRAMATIKAL
Unsur gramatikal merupakan unsur yang menyaran pada pengertian struktur
kalimat. Dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan
bermakna daripada sekedar kata, walau kegayaan kalimat banyak
dipengaruhi oleh pilihan kata. Kegiatan analisis unsur gramatikal dapat
dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang digunakan yaitu
kompleksitas kalimat, jenis kalimat, dan jenis kata serta frasa.
1). Kompleksitas Kalimat
Pada novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab “Gadis Mesir itu Bernama Maria”,
menggunakan kalimat sederhana yang didominasi oleh kalimat kompleks yang
mudah dipahami. Kalimat kompleks tersebut mudah dipahami karena
pengarang menggunakan bahasa koloqial dalam pengungkapan gagasan.
Kompleksitas kalimat tampak pada penggunaan kalimat yang
panjang-panjang, dan didominasi oleh tipe kalimat majemuk koordinatif
dan kalimat mejemuk subordinatif. Kesederhanaan kalimat tampak pada:
“Sudah bawa air putih, mas? (El Shirazy, 2004: )
“Aku mengangguk.” (El Shirazy, 2004: 5)
Aku membalikkan badan dan melangkah(El Shirazy, 2004: 5)
Uangnya” (El Shirazy, 2004: 9)
Benarkah?” (El Shirazy, 2004: 9)
Aku diam tidak menjawab” (El Shirazy, 2004: 11)
Kompleksitas kalimat tampak pada kutipan berikut ini:
“Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan
jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekadar untuk
sholat berjama’ah di masjid.” (El Shirazy, 2004: 1)
“Ia tidak kenal kesah, tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan Tuhan
sambil bertasbih siang dan malam atau seperti matahari yang telah
jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan
seantero maya pada”. (El Shirazy, 2004: 1-2)
“Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat yang ada dalam
apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela, dan tirai
tertutup rapat.” (El Shirazy, 2004: 2)
“juga keterangan bahwa pendapat Maria yang mengatakan huruf-huruf itu
tak lain adalah rumus-rumus Tuhan Yang Maha dahsyat maknanya, dan hanya
Tuhan yang tahu persis maknanya, ternyata merupakan pendapat yang
dicenderungi mayoritas ulama tafsir.” (El Shirazy, 2004: 13)
“Ia sangat mengaguminya, meskipun ia tidak pernah mengaku muslimah.” (El Shirazy, 2004: 12)
Mungkin, sejak azan berkumandang Mariyam telah membuka daun jendela
keyunya. Dari balik kaca ia melihat ke bawah. Dari balik kaca menunggu
aku keluar. Begitu aku tampak keluar menuju halaman apartemen, ia
membuka jendekla kacanya , dan memanggil dengan suara setengah berbisik…
(El Shirazy, 2004: 14)
Kompleksitas kalimat juga dapat terlihat melalui jumlah kata yang
digunakan dalam setiap kalimat. Namun dari sekian paragraf yang muncul
kekompleksitasan kalimat dibangun dengan indah. Pembaca dibuat tidak
bingung karena alur cerita yang ringan dan pilihan kata yang koloqial.
Jadi, Kompleksitas kalimat tidak mempersulit pembaca untuk memahami isi
cerita khusunya pada bab I ini.
2). Jenis Kalimat
Dalam novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya pada bab “Gadis Mesir itu
Bernama Maria”, Habiburrahman El Shirazy menggunakan jenis kalimat yang
bervariasi. Jenis kalimat tersebut adalah kalimat deklaratif, kalimat
imperatif, kalimat introgatif, dan kalimat minor.
a). Kalimat Deklaratif (kalimat pernyataan)
Kalimat deklaratif tampak pada:
“Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara.” (El Shirazy, 2004: 1)
“Awal-awal agustus memang puncak musim panas.”
(El Shirazy, 2004: 1)
Awal-awal Agustus memang puncak musim panas.
(El Shirazy, 2004: 2)
Angin sahara kembali menerpa wajahku. Aku melangkah keluar lalu menuruni tangga satu per satu .
(El Shirazy, 2004: 8)
b). Kalimat Imperatif (kalimat perintah atau larangan)
Kalimat imperatif tampak pada:
“Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula dan minyak goreng.” (El Shirazy, 2004: 5)
c). Kalimat Introgatif (kalimat pertanyaan)
Kalimat Introgatif tampak pada:
“Hei Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”
(El Shirazy, 2004: 8)
Pulangnya kapan? (El Shirazy, 2004: 8)
Nitip apa ya? (El Shirazy, 2004: 8)
“Apa bedanya Maria dan Maryam?” (El Shirazy, 2004: 10)
“Kau juga suka menghafal Al-Qur’an? Apa aku tidak salah dengar?, kataku.” (El Shirazy, 2004: 11)
“Apa tidak sebaiknya istirahat saja di rumah?” (El Shirazy, 2004: 4)
d). Kalimat Minor (kalimat yang fungtor-fungtornya tidak lengkap)
Kalimat Minor tampak pada:
“wuss!” (El Shirazy, 2004: 8)
“Psst...psst...Fahri!Fahri!” (El Shirazy, 2004: 4)
Jenis kalimat yang menonjol dalam novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya pada
bab “Gadis Mesir itu Bernama Maria” karya habiburrahman El Shirazy
adalah kalimat deklaratif. Hal ini disebabkan karena pengarang adalah
pencerita yang baik sehingga dalam narasinya sering keluar kalimat
deklaratif. Hal ini menunujukan bahwa pada novel ini pengarang
menarasikan cerita begitu apik namun tak jarang muncul dialog-dialog
antara tokoh utama dengan tokoh yang lain. Selain itu, pengarang mencoba
mendeskripsikan latar untuk lebih mengenalkan kepada pembaca masuk
dalam dunia yang diceritakannya (baca: kota mesir). Bab I ini begitu
mengalir menceritakan bagamanan kondisi kota mesir yang panas dan
mencapai suhu yang berlipat disbanding Negara Indonesia. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran.
C. RETORIKA
a) Pemajasan
1. Personifikasi, seperti tampak pada:
“Panas membara dan badai debu menggulung gulung di luar sana.”
(El Shirazy, 2004:3)
“Tanah dan pasir seakan menguapkan bau neraka.“(El Shirazy, 2004:1)
“Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.”
(El Shirazy, 2004:1)
“Debu bergumpal-gumpal bercampur pasir menari-nari dimana-mana.”
(El Shirazy, 2004:4)
“Angin sahara menampar mukaku dengan kasar.” (El Shirazy, 2004:4)
“Angin sahara terdengar mendesau-desau.” (El Shirazy, 2004:4)
2. Hiperbola seperti tampak pada:
“Kota Cairo seakan membara.”(El Shirazy, 2004:1)
3. Perumpamaan seperti tampak pada:
“Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi.”
(El Shirazy, 2004:1)
4. Penyiasatan Struktur
a. Paralelisme
Tampak pada kutipan berikut ini:
“...lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi.”
(El Shirazy, 2004:1)
“Panggilan adzan Zhuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero
kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar
tebal imannya.” (El Shirazy, 2004:1)
“ Mereka yang memiliki tekad beribadah sempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca.” (El Shirazy, 2004: 1)
“Keras dan kacau”. (El Shirazy, 2004:4)
“Aku harus jeli memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan anggota.” (El Shirazy, 2004:5)
“...jika tidak diatur dengan bijak dan baik.” (El Shirazy, 2004:6)
“Semua punya hak dan kewajiban yang sama.”
(El Shirazy, 2004: 6)
“Inilah yang membuatku menganggap Maria adalah gadis aneh dan misterius.” (El Shirazy, 2004: 14)
b. Anafora, tampak pada:
“Meskipun panas membara dan badai debu bergulung-gulung di luar sana.
Meskipun jarak yang ditempuh kira-kira kima puluh kolometer jauhnya”.
(El Shirazy, 2004: 3)
c. Parasendenton tampak pada:
“Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari dua kilo” tukasku
sambil bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi, dan kaca mata
hitam.” (El Shirazy, 2004:5)
“Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng/” (El Shirazy, 2004:5)
“Kebetulan wortel dan koftanya habis.”(El Shirazy, 2004:5)
“Hari ini, kebetulan yang ada di flat hanya tiga orang, yaitu aku, Saiful, dan Rudi.” (El Shirazy, 2004:6)
d. Asandenton seperti tampak pada:
“Dalam flat ini kami hidup berlima, aku, Saiful, Rudi, Hamdi, Misbach.”(El Shirazy, 2004: 5)
“Membaca bahan untuk tesis, talaqqi qiraah sab’ah, menerjemah, dan
diskusi intern dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang
menempih S2 dan S3 di Kairo. Urusan-urusan kecil seperti belanja,
memasak, membuang sampah...” (El Shirazy, 2004: 6)
e. Repetisi, tampak pada:
“Saling mencintai, mengasihi,dan mengerti. “
(El Shirazy, 2004:6)
“Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari
hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di
padang Mashar dengan matahari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun
kepala. Kalau tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota seribu menara ini
adalah amanat. Dan amanat akan dipertanggung jawabkan dengan pasti.
Kalau tidak ingat, bahwa masa mudayang sedenga aku jalani ini akan
dipertanggungjawabkan kelak. Kalau tak ingat, bahwa tidak semua orang
diberi nikmat belajar di bumi para nabi ini. Kalau tidak ingat, bahwa
aku belajar disini dengan menjual satu-satunya sawah warisan kakek.
Kalau tidak ingat, bahwa aku dilepas dengan linangan air mata, dan
selaksa doa dari ibu, ayah, dan sanak saudara. Kalau tak ingat, bahwa
jadwal adalah janji yang harus ditepati.”
(El Shirazy, 2004:7)
f. Paradoks, tampak pada:
“Maria suka pada Al-qur’an. Ia sangatm mengaguminya, meskipun is tak
pernah mengaku muslimah. Penghormatannya pada Al-qur’an mungkin melebihi
intelektual muslim.”(El Shirazy, 2004:12)
“...ia paling suka dengar suara adzan, tapi pergi ke gereja tak pernah ia tinggalkan.” (El Shirazy, 2004:12)
“Aku saja yang koptik bisa merasakan betapa indahnya Al-qur’an dengan Alif lam mim-nya.” (El Shirazy, 2004: 13)
b) Pencitraan
Dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” khususnya pada bab (Gadis Mesir itu Bernama Maria) terdapat beberapa pencitraan, di antaranya:
1). Citraan Visual atau Penglihatan
“Tengah hari ini, kota Kairo seakan membara.” (El Shirazy, 2004:1)
“Matahari berpijar di tengah petala langit.” (El Shirazy, 2004:1)
“Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat yang ada dalam
apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela, dan tirai
tertutup rapat.” (El Shirazy, 2004:1)
“Panggilan adzan Zhuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero
kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar
tebal imannya.” (El Shirazy, 2004:1)
“...seperti karang yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari.” (El Shirazy, 2004:1)
“Atau seperti matahari yang telah jutaan membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan seantero mayapada.”
(El Shirazy, 2004: 2)
“...meskipun panas membara dan debu bergulung-gulung di luar sana.” (El Shirazy, 2004: 3)
“Hari ketika manusia digiring di padang Mashar dengan matahari hanya
satu jengkal di atas ubun-ubun kepala.” (El Shirazy, 2004:7)
“Sampai di halaman apartemen, jilatan panas api seakan menembus topi
hitam dan kopiah putih yang menempel di kepalaku.” (El Shirazy, 2004:8)
“Matanya yang bening menatapku penuh binar.”(El Shirazy, 2004: 8)
“Seandainya tidak memakai kacamata hitam, sinarnya yang benderang akan terasa perih menyilaukan mata.” (El Shirazy, 2004: 8)
2). Citraan Auditoris atau Pendengaran
“Panggilan adzan Zhuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero
kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar
tebal imannya.” (El Shirazy, 2004:1)
“Ia tidak pernah mengeluh, tiada pernah mengerang sedetik pun menjalankan titah Tuhan.” (El Shirazy, 2004:2)
“Angin sahara terdengar mendesau-desau.” (El Shirazy, 2004:4)
“Mungkin sejak adzan berkumandang Maria telah membuka daun jendela kayunya.”(El Shirazy, 2004: 14)
3). Citraan Gerak (Kinestetis)
“Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi.”
(El Shirazy, 2004:1)
“Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.”
(El Shirazy, 2004:1)
“...darah selalu merembes dari hidungnya.”
(El Shirazy, 2004:2)
“Panas disertai gulungan debu berterbangan.” (El Shirazy, 2004:4)
“Angin sahara menampar mukaku dengan kasar.”(El Shirazy, 2004: 4)
“Debu bergumpal-gumpal bercampur pasir menari-nari dimana-mana.”(El Shirazy, 2004:4)
“Darah yang merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.”
(El Shirazy, 2004: 4)
“Hari ketika manusia digiring di padang Mashar dengan matahari hanya
satu jengkal di atas ubun-ubun kepala.” (El Shirazy, 2004:7)
“Kalau tidak ingat aku dilepas dengan linangan air mata dan selaksa doa dari ibu, ayah, dan sanak saudara.” (El Shirazy, 2004:7)
“Wuss!, angin sahara kembali menerpa wajahku.” (El Shirazy, 2004: 8)
“Sampai di halaman apartemen, jilatan panas api seakan menembus topi hitam dan kopiah putih yang menempel di kepalaku.”
(El Shirazy, 2004:8)
“Kulangkahkan kaki ke jalan. “Psst...psst...Fahri! fahri!”
(El Shirazy, 2004: 8)
4). Citraan Penciuman
“Tanah dan pasir seakan menguapkan bau neraka.”
(El Shirazy, 2004:1)
Pada novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab I (Gadis Mesir itu Bernama Maria),
karya Habiburrahman El Shirazy terdapat banyak citraan yang mampu
membawa pembaca lebih larut dalam cerita yang ditawarkan.
Citraan-citraan tersebut meliputi citraan visual, citraan, gerak,
citraan penciuman, dan citraan pendengaran. Citraan visual, gerak, dan
pendengaran lebih mendominasi dibandingkan dengan citraan penciuman.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel frekuensi kemunculan.
5. TONE
Tone atau nada dalam Novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya pada bab “Gadis
Mesir itu Bernama Maria”, Habiburrahman El shirazy digunakan sebagai
sarana untuk menyiratkan perasaan misalnya nada yang bersifat intim,
santai, simpatik, romantis, mengharukan, sentimental, kasar, dan sinis.
Pemilihan bentuk ungkapan tertentu dalam suasana cerita yang tertentu
akan membangkitkan nada yang tertentu pula. Hal ini dikarenakan bab
“Gadis Mesir itu Bernama Maria” merupakan bab pertama dari novel
“Ayat-ayat Cinta” sehingga bab tersebut masih dalam tahap pengenalan
para tokoh. Berikut ini beberapa contoh nada yang bersifat santai:
“Mas Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya
istirahat saja di rumah? Saran Saeful yang baru keluar dari kamar mandi.
Darah yang merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.”
(El Shirazy, 2004: 4)
“Hei namamu Fahri, iya kan?
“Benar”
“Kau pasti tahu namaku, iya kan?”. (El Shirazy, 2004: 10)
“Hei Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”
“Shubra.”
“Talaqqi Al Qur’an ya?”
Aku mengangguk.” (El Shirazy, 2004: 8)
6. KOHESI
Kohesi merupakan suatu cara untuk mengungkapkan gagasan yang utuh, tiap
bagian kalimat, tiap kalimat, tiap alinea yang dimaksudkan untuk
mendukung gagasan yang dihubungkan antara satu dengan yanng lainnya.
Pengungkapan tersebut dilakukan baik secara ekslusif, inklusif, maupun
keduanya secara bersamaan atau bergantian. Penanda kohesi yang berupa
sambungan dalam bahasa ada banyak sekali dan berbeda-beda fungsinya.
Penanda kohesi ini berupa kata tugas seperti: dan, kemudian, sedang,
tetapi, namun, melainkan, bahwa, dan lain-lain. Di bawah ini merupakan
contoh penanda kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia.
“ Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan
jauh lebih nyaman daripada berjalan keluar rumah, meski sekedar untuk
shalat berjamaah di masjid”. (El Shirazy, 2004: 1)
“Panggilan adzan Zhuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero
kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar
tebal imannya.” (El Shirazy, 2004:1)
“ Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen aku bersiap untuk keluar”. (El Shiorazy, 2004: 2)
“ Sangat tidak enak jika aku absen hanya karena alasan panasnya suhu udara”. (El Shirazy, 2004: 3)
“Tahun ini setelah melalui ujian kelat beliau hanya menerima sepuluh orang murid”. (El Shirazy, 2004: 3)
Selain kohesi yang menggunakan penghubung antarkata berupa kata tugas
terdapat jyga kohesi yang menghubungkan kata preposisi dan konjungsi.
Hal tersebut tampak pada:
“ Tiga hari ini, memasuki pukul sebelas siang sampai pukul tujuh petang,
darah selalu merembes dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama
sekali”. (El Shirazy, 2004: 2)
“ Sangat tidak enak jika aku absen hanya karena alasan panasnya suhu
udara. Sebab beliau tidak sembarang meneria murid untuk talaqqi qiraah
sab’ah”.
(El Shirazy, 2004: 3)
“ Aku termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih beruntung lagi,
beliau sangat mengenalku. Itu karena sejak tahun pertama kuliah aku
sudah menyetorkan hafalan Al-qur’an pada beliau di serambi masjid Al
Azhar, juga karena aku di antara sepuluh orang yang terpilih itu
ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir.”
(El Shirazy, 2004: 3)
“ Kulium penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas cangklong
hijau tua. Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia
menemani diriku menuntut ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini,
saat menempuh S2 di Universitas tertua di dunia, di delta nil ini.”
(El
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Kajian stilistik novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab “Gadis Mesir itu
Bernama Maria” karya Habiburrahman El Shirazy mampu menerangkan hubungan
antarbahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Unsur stile yang
terdapat dalam kajian stilistik novel “Ayat-ayat Cinta” pada bab I ini
karya Habiburrahman El Shirazy meliputi unsur leksikal, unsur
gramatikal, aspek retorikal, aspek nada, dan aspek kohesi,
Dalam novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya bab “Gadis Mesir itu Bernama
Maria” karya Habiburrahman El Shirazy menggunakan ragam bahasa koloqial
yang dipadukan dengan bahasa sastra sebagai sarana penciptaan efek
estetis. Unsur leksikal pada novel “Ayat-ayat Cinta” khususnya pada bab
“Gadis Mesir itu Bernama Maria” menggunakan kata-kata koloqial berbahasa
Indonesia yang dipadukan dengan bahasa Arab Fusha. Bahasa Arab Fusha
mampu menggambarkan latar terjadinya cerita pada pembaca yaitu di Mesir.
Dalam unsur gramatikal, Habiburrahman El Shirazy lebih dominan
menggunakan kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada paragraf-paragraf
yang terjalin pada bab I ini. Pengarang mendeskripsikan cerita dalam
bentuk kalimat deklaratif (pernyataan).
Unsur lain yang mendukung pencapaian efek estetis yaitu penyiasatan
struktur. Dalam pencapaian kesan estetis tersebut pemakaian unsur
penyiasatan struktur dan pemajasan cukup mendominasi. Selain itu, unsur
kohesi sangat mempengaruhi terbentuknya bangunan struktur yang baik
untuk mendukung gagasan baik secara eksplisit maupun implisit.
Kesemuanya itu dilengkapi dengan aspek nada yang bersifat santai membuat
pembaca merasa nyaman membaca novel tersebut dengan gaya penceritaan
habiburrahman El Shirazy.
Jadi, dari kajian ini cukup bisa ditarik kesimpulan bahwa pengarang
mampu menciptakan aspek keindahan dan menghantarkan pembaca untuk
menikmati bab berikutnya. Bab I adalah awal dari semuanya dan hal yang
paling menarik dari bab ini adalah pembaca diajak untuk menikmati bab
selanjutnya. Hal ini lah yang menarik dari novel ayat- ayat cinta karya
Habiburrahman El Shirazy.
DAFTAR PUSTAKA
El Shirazy, Habiburrahman. 2004. Ayat-ayat Cinta. Jakarta: Grasindo.
Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Nusa Indah.
¬___________. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Univesity Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
- HOME
- Daftar Isi
- Contact Us
- Services
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Very Long Item
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Fully Flexible
- Title For Links
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
- Title After Divider
- Once Again...
- These Links Still Appear
- Just Like The Others
- Even When Under A Title
Kajian Stilistika Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburahman El Shirazy
Posted by Erstyn.S.N
-
-
Posting Komentar