Pendahuluan
Fenomenologi dan hermenutika telah menjadi semakin populer dewasa ini. Keduanya
memiliki karakteristik tersendiri dan penggunaannya disesuaikan dengan
fenomena dan permasalahan yang hendak diteliti. Jika fenomenologi
memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman
yang dihidupkan, sedang hermeneutika berkonsentrasi pada
masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual. Keduanya
membicarakan manusia sebagai realita yang eksistensinya ditentukan oleh
kondisi-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan hermenutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Fenomenologi dengan Edmund Husserl-nya
mampu “mengusung” menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan
banyak mempengaruhi filsup-fulsup lain di abad 20, sedangkan
hermeneutik, dengan Friedrich Schleiermacher-nya (dikenal sebagai Bapak Hermeneutika modern), dijadikan
banyak peneliti sebagai metode-metode penelitian tidak hanya menguak
makna teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial.
Fenemoneologi didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran[1] sedang hermeneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-teks historis[2].
Fenemoneologi didefinisikan sebagai ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran[1] sedang hermeneutik merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-teks historis[2].
Fenomenologi
merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai
obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan
yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya.
Ricoeur
(1985), kemudian menyimpulkan bahwa fenomenologi merupakan asumsi dasar
yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi
tidak berfungsi dengan baik dalam memahami berbagai fenomena secara utuh
dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subjek.
Untuk keperluan penafsiran itu, menurut Ricoeur sangat dibutuhkan
disiplin lain yaitu hermeneutika. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan
hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur menggunakan
metode fenomenologi hermeneutik.
Metode ini dalam literatur ilmu humaniora diakui sebagai metode penafsiran yang rigorous (ketat),
dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang fenomena secara apa
adanya, menyeluruh dan sistematik terutama dalam menjelaskan tentang
identitas diri tanpa mengabaikan aspek objektivitasnya.
Uraian
singkat di atas mengisyaratkan ada perbedaan dan hubungan yang jelas
antara dua bidang ilmu ini. Namun perbedaan dan hubungan itu belum
terlihat begitu jelas sebelum mengarungi lebih jauh lagi.
Dalam
makalah ini, akan dipaparkan perbandingan fenomenoloogi dan hermeneutik
sebagai bagian dari epistemologi. Perbandingan ini difokuskan kepada
persamaan/perbedaan dan juga kelemahan dan kekuatan masing-masing. Cuff
dan Payne (1980: 3), menyebutkan suatu cabang ilmu pada dasarnya
dibedakan mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin
dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkan[3]. Perbandingan yang baik tentu harus memperhatikan hal-hal tersebut[4].
Sebelum
melakukan perbandingan, saya mencoba memaparkan secara singkat asal
muasal pemikiran dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dibelakang
“kesuksesan” epistemologi tersebut serta pokok-pokok pikirannya, ini
dimaksudkan supaya lebih mudah untuk membandingkannya keduanya.
Fenomenologi
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-1777), seorang filsuf Jerman dalam bukunya Neues Organon (1764). Sebelum Lambert, istilah fenomenologi juga pernah dikemukan oleh filsup-filsup lainnya; Immanuel Kant (1724-1804) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika
(1786). Kant menyebutkan untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik
gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam
relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.
Selain Kant, Hegel (1807) memperluas
pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai
pengalaman kesadaran, yakitu suatu pemaparan dialektis perjalanan
kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomena
menurut Hegel tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari
pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret
dan historis dari perkembangan pikiran manusia[5].
Kemudian
Edmund Husserl (1859–1838) membawa fenomenologi berubah menjadi sebuah
disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision dan Lebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi[6].
Dalam
pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis deskriptif
serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius,
moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus
utama filsafat hendaknya tertuju kepada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse
(kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan
watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga
konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi
menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala presuposisi.
Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman
menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan
begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi
pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha
untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya.
Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.
Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian,
fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap
fenomena atau apa-apa yang nampak[7], atau ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran. Hegel
(1807) menyebutkan pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai
ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis
perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya,
fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari
pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret
dan historis dari perkembangan pikiran manusia[8].
Husserl
menyebut tugas utama fenomenologi adalah menjalin keterkaitan antara
manusia dengan realitas. Keterkaitan ini mendorong manusia untuk
mempelajari fenomena-fenomena yang ada dengan pengalaman langsung dengan
realitas tersebut. Sehingga pengalaman tersebut akan memberikan sebuah
penafsiran, yaitu esesnsi dari realitas tersebut. Husserl menggunakan
istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran
dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan
kategori-kategi yang sudah ada dalam pikiran. Husserl menyebutnya dengan
istllah “kembalilah pada realitas itu sendiri”[9].
Dengan
kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena
dengan apa yang ada dalam pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut
berjalan apa adanya. Karena pikiran hanya bersifat teoritis yang
terikat oleh pengalaman indrawi yang bersifat relatif subjektif
sedangkan fenomena adalah realitas yang bersifat objektif.
Dengan
melepaskan segala pikiran tentang fenomena tersebut dan dari segala
yang bukan esensi dari fenomena, maka akan terciptalah pengertian murni.
Jadi fenomenologi ‘hanya’ sebagai jembatan untuk mengungkapkan noumena
dari fenomena. Untuk menjalankan
fungsinya, fenomenologi tidak terlepas dari tiga asumsinya: (1)
pengetahuan adalah kesadaran, maksudnya diperoleh secara sadar; (2)
makna sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan hubungan sesuatu itu
dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa merupakan kendaraan
makna.
Pandangan
fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi yaitu (1) merupakan reaksi
terhadap dominasi positivisme, dan (2) fenomenologi sebenarnya sebagai
kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya
tentang fenomena–noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena
adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran
pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena
yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena (realitas di luar yang kita
kenal).
Dari
uraian di atas bisa dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang
fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak, tanpa harus dipengaruhi
tanpa harus dipengaruhi oleh apapun. Sebuah pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.
Tokoh di belakang Fenemenologi
Edmund Husserl (1859-1938)
Ia
menyebut fenomenologi merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai
metode, fenemenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil
sehingga sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus
dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk
kembali kepada “kesadaran yang murni”. Sebagai filsafat, fenomenologi
memberi pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada.
Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek
tersebut.
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang
nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena
yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal
penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu (1) Method of historical bracketing;
metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah
kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun
ilmu pengetahuan. (2) Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda, (3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni, dan (4) Method of eidetic reduction;
mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas
menjadi esensi atau intisari realitas itu. Menerapkan empat metode
epoche, maka seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas
yang diamati[10].
Max Scheler (1874-1928)
Ia
menyebut metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk
memandang realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap suatu prosedur
khusus yang diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi dll).
Dalam hubungan ini diperlukan hubungan langsung dengan realitas
berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).
Ajaran
Scheler terfokus kepada tiga hal yang mempunyai peranan penting dalam
pengalaman fenomenologis, yaitu: (1) fakta natural, (2) fakta ilmiah,
dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman
inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung
dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang
merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada
tidaknya realisasi di luar.
Maurice Merlean-Ponty (1908-1961)
Sebagaimana
halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai
kegiatannya dengan meneliti pengalaman, dengan begitu nantinya akan
menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu hanya meneliti atau mengulangi
penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, hanya
memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut
realitas sama sekali.
Walaupun
Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui
dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat
dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi,
yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial
tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi
fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan
data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan
perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat
perlunya persepsi untuk mencapai yang real.
Fenomenologi
menjadi “boming” dan arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad
ke-20. pemikiran ini mempengaruhi filsup-filsup besar lainnya seperti
Ernst Cassier (neo-Kantianisme), Mc.Taggart (idealisme), Fregge
(logisisme), Dilthey (hermeneutika) Kierkergaard (filsafat
eksistensial), Derida (poststrukturalisme).
Hermeneutik
Akar permulaan hermenÄ“uein dan hermÄ“nia bisa ditemukan dalam Organon, Peri hermÄ“neias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On Interpretation” . Kata ini juga ditemukan dalam Oedipus at Colunus
karya Plato, juga beberapa karya lainnya dari penulis awal yang
terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan
Longinus[11].
Dalam Organon, Peri hermēneias dipaparkan
kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari sebuah pengalaman mental,
dan kata-kata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan.
Tulisan ini dipercaya menjadi titik tolak bagi dimulainya pembahasan
hermeneutika di era klasik.
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Intensioanalisme
diawali sejak hermeneutika romantisis dengan tokohnya Schleiermacher.
Pokok pikiran Hermeneutika intensional ini adalah bahwa makna adalah
maksud atau instensi produsernya. Dengan kata lain, makna kata
sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri. Makna telah menanti,
dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya, dan itu adalah tugas pembaca
untuk mencarinya.
Menurut
hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang
diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya,
sehingga makna sudah ada dan hanya akan keluar jika diinterpretasikan.
Pengertian ini didasarkan pada arti “makna” (meinen),
yang menunjukkan arti bahwa makna suatu teks, tindak, hubungan, dan
seterusnya adalah sesuatu yang ada dalam pikiran produsen, yang kemudian
dikeluarkan melalui suatu tindak seperti memproduk teks. Dengan kata
lain makna telah ada dan menanti untuk dipahami. Makna hanya berasal
dari aktifitas produsen teks, bukan dari aktifitas orang lain, termasuk
aktifitas interpretasi penafsir. Dengan kata lain, pembaca atau penafsir
harus memahami teks yang ia baca, dan pembaca atau penafsir dapat
menangkap konsepsi pengarang mengenai fakta situasinya, keyakinan, dan
keinginannya, namun dengan catatan penafsir harus menemukan alasan
pelaku bersikap seperti yang diperlihatkan.
Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer memberikan defenisi berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika gadamerian
bukan terletak pada instensi produsernya, melainkan pembacanya itu
sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis,
dan segera muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca.
Konsep
ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan bahwa
sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya
sendiri. Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang
dikehendaki pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang
seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca.
Gagasan ini dengan sendirinya menyangkal origin.
Dengan kata lain ia menolak suatu realitas di balik fenomena, realitas
sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna
sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya.
Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini, diasosiasikan pada Dewa Hermes[12] seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter[13] kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa.
Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada Hermes, dari kata kerja hermenÄ“uein ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu to express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan), dan to say (menyatakan). Makna-makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggirs “to interpret”,
yang membentuk makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Oleh
karenanya, interpertasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda yaitu
pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan dari
bahasa lain[14].
Berhasil
atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Indikasi keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi
mengetahui makna pesan yang disampaikan. Tugas
menyampaikan pesan ini juga berarti harus mengalihbahasakan ucapan para
dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap intelegensia manusia.
Pengalihbahasaan merupakan bentuk lain dari penafsiran. Dari sini
kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Kehadiran
hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam analisis Werner,
ada tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap pembentukan
hermeneutika, dari masa interpretasi bibel hingga saat ini. Ketiga yang
dimaksud Werner terbut yaitu (1) Masyarakat yang terpengaruh mitologi
Yunani, (2) Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan
teks kitab “suci” agama mereka, dan (3) Masyarakat Eropa zaman
pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan
dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan[15].
Richard
E. Palmer (2005) menyimpulkan enam defenisi hermeneutika, keenam
definisi tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu
peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi yang
berkenaan dengan hermeneutika.
“Sejak
awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi,
khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika
telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswissenschaften, (5) fenomenologi esistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraik makna di balik mitos dan simbol” (Palmer 2005: 38)
Definisi
yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang sering
disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang
berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran
terutama penafsiran teks, defenisi tersebut dapat disebut pendekatan
Bibel, filologis, saintifik, geisteswissenschaften, eksistensial,
dan kultural. Setiap defenisi merepresentasikan sudut pandang dari mana
hermeneutika dilihat, melahirkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda
namun memberi ruang bagi tindakan interpretasi, khususnya teks.
Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Pemahaman ini merupakan pertama kali digunakan untuk hermeneutik, di
sini hermeneutika difungsikan untuk memahami kitab suci, terutama oleh
kalangan gereja. Hermeneutika bukanlah hasil atau isi penafsiran,
melainkan metode. Tokoh utamanya adalah J.C.Dannhauer.
Pada masa ini, bentuk hermeneutika memunculkan banyak aliran serta
corak yang terkadang saling bertolak belakang. Tokoh selanjutnya adalah
Schleiermacher, dengan mencetuskan hermeneutika modern. Schleiermacher
juga berjasa membakukan hermeneutika sebagai acuan dalam interpretasi
secara metodologis.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural[16].
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural[16].
Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Dalam
defenisi ini, hermeneutika difungsikan sebagai metode pengkajian teks
dan menempatkan semua teks sama, termasuk kitab suci. Pemahaman awal bahwa hermeneutik hanya untuk menafsirkan kitab suci mulai mengalami pergeseran.
Menerapkan
metode hermeneutika pada bidang non Kitab Suci yang terpenting adalah
sang penafsir tidak hanya menarik nilai-nilai moral dari suatu teks,
tetapi juga mampu memahami “roh” yang berada di balik teks tersebut, dan
menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak
ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam itu merupakan proses
demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama-agama. Tokoh pada masa ini adalah Johan August Ernesti, ia diklaim sebagai sosok sekulerisme oleh kalangan gereja[17].
Kajian
terpenting dari fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang
penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang
ditafsirkannya. Penafsir haruslah mampu berbicara tentang teks yang
ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta
situasi yang berbeda. Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah
seorang ahli sejarah, yang mampu mengerti dan memahami makna historis
dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat
terungkap.
Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Dari
metode filologi, hermeneutika berkembang kearah sebuah ilmu yang
memahami linguistik. Hermeneutika difungsikan sebagai ilmu untuk
memahami berdasarkan teori linguistik dan menjadi landasan interpretasi
teks. Filsuf yang banyak memberikan kontribusi pemahaman linguistik
kepada hermeneutika adalah Schleiermacher. Menurutnya hermeneutika bisa
dikatakan semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami
bahasa. Schleiermacher kurang setuju kalau hermeneutika hanya terfokus
kepada metode filologi, tetapi juga melihat hermeneutika sebagai
“hermeneutika umum”. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa
antara tafsir Kitab Suci dan Filologi[18].
Hermeneutika sebagai Fenomena Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Dalam
defenisi ini, hermeneutika berfungsi sebagai penafsiran melihat
fenomena tentang keberadaan manusia dengan menggunakan bahasa sebagai
instrumennya. Martin Heidegger, dalam
merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi
seperti yang dikemukakan Edmund Husserl. Dalam bukunya Being and Time (1927), ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutnya sebagai hermeneutika atas Dasein[19].
Heidegger
tidak menyebut hermeneutika sebagai ilmu ataupun aturan tentang
penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi
sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini,
hermeneutika bagi Heidegger bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan
modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari
Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari
pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus
hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Tokoh
dibalik ini adalah Paul Ricoeur, ia mendefinisikan hermeneutika kembali
pada analisis tekstual yang memiliki konsep-konsep distingtif
serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian
tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses
penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan
tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks”
Ricoeur
membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol
ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada
simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan
perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki
bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks
simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga
haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang
ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih
jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika
merupakan sebuah sistem penafsiran, di mana relevansi dan makna lebih
dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang
kelihatan.
Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenchften
Wilhelm Dithey, ia menyebut hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi melihat Geisteswissenchften
(semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan
manusia) Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, dibutuhkan tindakkan
pemahaman sejarah. Dalam pandangan Dilthey, apapun yang dibutuhkan
dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, merupakan “kritik” nalar yang akan
mengurusi pemahaman sejarah[20].
Hermeneutika sebagai Sistem Penafsiran
Hermeneutika
difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran dengan cara
menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol dengan cara membuka
selubung yang menutupinya. Tokohnya utama dibalik ini adalah Paul
Richouer. Ia
membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya
diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut
pengertian pandangan hidup dari pembacanya.
Di
samping itu masih ada tokoh lain yang turut berperan pada perkembang
hermeneutika pada masa ini, seperti Jurgen Habermas (1929-), tokoh
hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh
kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial
yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk
penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi,
sosial, suku, dan gender. Selain itu juga ada Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis, dan Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis.
Tokoh dibelakang Hermeneutika
Perubahan
perspektif dan perkembangan hermeneutika tidak terlepas dari peran
tokoh besar di baliknya. Setiap tokoh membawa pengaruh dan corak yang
berbeda dengan dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Sumaryono (1999) dan
Palmer (2005) menyebutkan beberapa tokoh tersebut.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)
Tokoh
hermeneutika romantisis, memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar
kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian
filsafat. Schleiermacher menyebutkan, dalam upaya memahami wacana ada
unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks
kultural.
F.D.E
Schleiermacher ditempatkan sebagai tokoh Hermeneutik . Ia membedakan
hermeneutik dalam pengertian sebagai ilmu atau seni memahami dengan
hermeneutik yang mendefinisikan sebagai studi tentang memahami itu
sendiri ( Richard E. Palmer, 1969 : 40 ). Scleiermacher menulis sebagai
berikut: Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama
lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir ,
Hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya
bersifat filosofis ( Schleiermacher, 1977 : 97 ). Penerapan hermeneutik
sangatlah luas yaitu dalam bidang teologis, filosofis, sebab merupakan ”
bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah pikiran kita mengerti,
baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya Schleiermacher menyatakan
bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita. Namun
bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam
mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai ”
Transformasi berbicara yang internal dan orisinal dan karenanya
interpretasi menjadi penting”.
Wilhelm Dilthey (1833 -1911)
Hermeneutika
metodis, ia beragumentasi bahwa proses pemahaman hermeneutika bermula
dari pengalaman, kemudian mengekspresikan nya. Pengalaman hidup manusia
merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai
sebuah kehadiran masa kini.
Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften[21].
Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan
asal Jerman. Baginya hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi
tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu
ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan
ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman
tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan
pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis
Schleiermacher.
Dilthey
berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis.
Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya
ia hentikan, Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja
pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran
pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab tidak
mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran
pengarang.
Edmund Husserl (1889 -1938)
Hermeneutika
fenomenologis, ia beranggapan bahwa pemahaman teks harus dibiarkan
berdiri sendiri tanpa adanya prasangka dan perspektif dari dari
penafsir. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara
metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada
hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya
mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
Martin Heidegger (1889 -1976)
Hermeneutika
dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul
dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau
penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Pemikiran
Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya
Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang
dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis
karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi
Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu
sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan
persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan
manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai
sebuah datum keberadaan.
Hans-Georg Gadamer (900-2002)
Hermeneutika
dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah
pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Kebenaran dapat dicapai bukan
melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak
pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi
terjadinya dialog.
Gadamer
merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci
heremeneutis (1) kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”, (2) situasi
hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca
yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks.
Pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari
kesalahan, (3) setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua
horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus
dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda
bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan
teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti
mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua
horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. (4)
menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna objektif teks.
Filsafat
hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas
hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia.
Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme
Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan
teks/karya
Jurgen Habermas (1929)
Hermeneutika
kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang
menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan
kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan
ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan
gender.
Di
dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain
horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus
dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media
dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi Habermas
pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman
adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan
kekuasaan (power interest) sang interpereter
Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005)
Ia
selalu menekankan betapa pentingnya memperhatikan simbol-simbol yang
hidup di masyarkaat. Ricoeur menjelaskan tentang simbol-simbol dengan
menggunakan simbol kejahatan dan juga menerangkan asal-usul dari
kejahatan itu dengan menggunakan mitos-mitos. Kenyataan selalu tidak
akan pernah lepas dari simbol-simbol yang harus di tafsirkan. Seperti
halnya bahasa yang diterjemahkan dalam kata-kata, itu semua harus
diterjemahkan agar manusia menemukan makna sesungguhnya. “Setiap teks
mempunyai 3 macam otonomi, yaitu, intensi atau maksud pengarang, situasi
cultural dan kondisi social pengadaan teks, serta untuk siapa teks itu
dimaksudkan” (Sumaryono, 1999,109)
Paul
Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus
eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam
hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari
isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek
interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol
dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau
sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki
multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik
yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus
mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana
signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak. Konsep
yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif
diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai
interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil
hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut
pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika adalah
ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
Jürgen Habermas (1929)
Hermenutika
dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna
selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara
petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung
konteks dan pembacanya.
Perbandingan
Dari
penjelasan di atas, dapat kita lihat beberapa persamaan dan perbedaan
dari fenomenologi dan hermeneutika. Beberapa persamaan dan perbedaan
bisa dilihat berikut ini.
Teks
ketika dipahami seseorang, secara tidak langsung akan memunculkan
interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah
terlepas dari unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah dimensi
kehidupan yang bergerak yang memungkinkan terciptanya dunia sejak awal,
bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut
berpartisipasi[22].
Sebagai
metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral,
kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan
dalam memandang hakikat dan fungsi bahasa: Intensionalisme dan
Hermeneutika Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada
karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu
interpretasi penafsir. Sementara Hermeneutika Gadamerian sebaliknya
memandang makna dicari, dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir
sesuai konteks penafsir dibuat sehingga makna teks tidak pernah baku, ia
senantiasa berubah tergantung dengan bagaimana, kapan, dan siapa
pembacanya. Hermeneutika Gadamerian
dianggap sebagai sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran
hermeneutika ini memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap
pembaca teks untuk lebih kreatif dan menjelajah dunia makna dengan
sangat luas. Bagi hermeneutika makna tidak saja ada di belakang teks (meaning behind the texts), melainkan juga di depan teks (meaning before the texts). Makna di balik teks , berarti dibuat (created), sedangkan yang di depan teks berarti ditemukan (invented)[23].
Pada
dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis pengalaman yang
bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi, keinginan,
kehendak yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial termasuk
aktivitas berbahasa.
Fenomenolgi
yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat lebih jauh
dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa menjadi
medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang
dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini
memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan
sosial dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa
yang digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka
fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial
adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat
diungkap.
Sedang
makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat tidak dengan menunggu
secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif terhadap
tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui
bahasa, peneliti fenomenlogis harus berusaha menemukan makna tersebut.
Dalam keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan
makna (create a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial, sehingga mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa.
Bahasa
jelas merupakan sangat esensial bagi fenomenologi dan hermeneutika.
Kedua disiplin ini tidak mungkin bisa menjalankan perannya tanpa
menggunakan bahasa dalam “program-programnya”.
Fenomenologi
dan hermeneutik juga menganggap bahwa pemaknaan linguistik merupakan
watak turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya memahami
fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada objek menggunakan
perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema).
Pembentukan gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan
perlengkapan linguistik yang memadai untuk melakukan pengertian,
predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat
diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik, penempatan linguistik sebagai
kendaraan yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran
perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses
penafsiran.
Ricoeur
(1986) menggunakan analogi sebuah permainan dari pengalaman seni yang
pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik. Pengalaman seni
yang dimaksud adalah yang mengandung unsur permainan. Ketika seseorang
mendapatkan pengalaman seni, dan suatu waktu ia memamerkan atau
menampilkan pengalaman tersebut. Maka secara tidak langsung, kegiatan
memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan dari medium linguistik.
Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh penontonnya juga melalui
medium linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunan dari pengalaman
yang dihayati subjek, baik sebagai pameran maupun penonton.
Selain
bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan sebagai teori
pengalaman atau teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan
pengalaman. Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman
yang dihidupkan, sedangkan hermeneutik berkonsentrasi pada
masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tekstual tersebut.
Keduanya membicarakan objek sebagai realita yang eksistensinya
dimungkinkan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik dan budaya yang
melingkupi.
Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Labenswelt
(dunia-kehidupan) dalam fenomenologi, oleh hermeneutik dipahami sebagai
perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang
memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya terhadap fenomena
dalam kehidupan manusia. Dengan konsep Labenswelt, dimungkinkan
pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi kepada
hermeneutik untuk memahami pengalaman historis.
Hermeneutik
dan fenomenologi juga memiliki persamaan yang memungkinkan subjek untuk
memaknai pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya akan tradisi
historis.
Fenomenologi
harus dibiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori
pikiran kita padanya. Seperti kata Husserl dengan menyebutnya dengan
”kembalilah pada realitas itu sendiri”. Dengan kata lain fenomenologi
tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang ada dengan pikiran
kita, dan membiarkan fenomena tersebut berbicara apa adanya. Hal ini
disebabkan karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh
pengalaman indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena
adalah realitas yang bersifat obyektif. Berbeda dengan hermeneutika, dalam dalam menjalankan tugasnya hermeneutika harus memperhatikan sejarah, konteks, prinsip, religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Dengan memperhatikan beberapa kaidah tersebut hasil kajian hermeneutika akan jauh lebih sempurna.
Jika dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan hermeneutika jelas sangat berbeda. Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy, dengan
pertanyaan utama ”apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala
ini bagi masyarakat tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar dari
teologi, filsafat, dan kritik sastra, dengan pertanyaan utama, ”apa
kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku atau produk yang dihasilkan yang
memungkinkan penafsiran makna?”
Disamping
persamaan dan perbedaan, fenomenologi dan hermeneutika juga mempunyai
kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan dan kelemahan tersebut bisa
dilihat di bawah ini.
Salah
satu kekuatan filsafat fenomenologi adalah fenemenologi sebagai suatu
metode keilmuan dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan
tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
Fenomenologi
menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala
presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi,
asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak
peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan,
semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh
dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam
pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi
menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis
apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program
utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan
sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia
yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan.
Kekuatan
fenomenologi lainnya adalah dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana
adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan
yang didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu, ini dimaksudkan agar
hasil dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran benar-benar objektif.
Kekuatan
lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu kesatuan yang
utuh, tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian fenomenologi
menuntut pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga
diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Di
samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas dari kelemahan. Salah
satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri.
Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif
tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama
ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab
fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh
tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound).
Hal ini dipertegas oleh Derrida yang menyatakan bahwa tidak ada
penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status
pengetahuan[24].
Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas
nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan
secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah
sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian
fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Kelemahan
lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut
terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan
objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku
pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Fenomenologi merupakan
suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha
memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya tanpa perlu
“intervensi” oleh apapun dan siapapun. Terlepas
dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan
kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan, mengatasi krisis
metodologi, dan mampu menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan banyak mempengaruhi filsup-fulsup lain di abad 20.
Fenomenologi
berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang
cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun
sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi
dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini
tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana
dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The
scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite
unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and
dependence upon experiments are guiding principles."
Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Ilmu dianggap bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound,
memiliki hubungan dengan nilai. Beberapa prinsip fenomenologi adalah:
1. kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun
kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara
kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak
terlepas-lepas; 2. hubungan antara peneliti dan subjek saling
mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; 3. lebih ke arah pada
kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; 4. sulit
membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan;
5. inkuiri terikat nilai, bukan values free.
Hermeneutika
yang awalnya “hanya” interpretasi terhadap teks-teks kitab suci, dalam
perkembangannya semakin melebarkan sayapnya hingga ke bidang-bidang
lainnya dalam ilmu sosial: filologi, dassein dan pemahaman eksistensial, Interpretasi, dan sistem penafsiran.
Hermeneutika
setidaknya disusun dalam tiga kesatuan yang sangat penting, yaitu (1)
adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks, (2) harus ada
sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap
pesan itu. (3) adanya perantara atau kurir antara kedua belah pihak.
Ada
dua dimensi besar dalam hermeneutika yaitu hermeneutika intensionalisme
dan hermeneutika gadamerian. Kedua saling berbeda dalam meletakan
posisi makna: di “produksi” atau di “pemirsa”.
Fenomenologi
dan hermeneutika akhirnya dikawinkan oleh Ricoeur. Fenemenologi
dianggap tidak bisa berdiri sendiri, harus didampingi oleh hermeneutika.
Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang “tak tergantikan” bagi
hermeneutika, dan sebaliknya fenomenologi tidak bisa menjalankan
programnya dengan baik jika tidak didukung oleh hermeneutika.
Bahasa
merupakan peran yang sangat esensial bagi fenomenologi dan
hermeneutika, melalui bahasa makna sebuah fenomena bisa diinterpretasi
dengan baik.
Terlepas
dari kelebihan dan kekurangan, kedua disiplin ilmu ini jika digabungkan
tentu akan akan untuk mendapatkan “efek luar biasa”. Fenomenologi dan
Hermeneutis seperti sepasang suami istri yang ideal untuk
“disandingkan”, mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing, dan
juga saling “meninggikan” dengan kelebihan yang dimiliki*** [Derichard H. Putra]
DAFATAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Afandi, Abdullah Khozin. Fenomenologi. Int. (http://akhozinaffandi.blogspot.com /2010/02/fenomenologi.html/diakses 20 Januari 2011)
Ahimsa-Putra. 1985. Etnosains dan Etnometodologi, Sebuah Perbandingan. Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XII Nomor 2, hlm.103-133. Jakarta: LIPI.
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Delgaauw, Bernard. 2001. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Harfiah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hadiwijono, Hasan. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9. Yogyakarta: Kanisius
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Kuswarno, Engkus. Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitati. Int. (http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-penelitian-kualitatif/ diakses tanggal 19 Januari 2010)
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Reka Sarasin.
Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian, Jogjakarta: Ar-Ruzmedia.
Raharjo, Mudjia. Hermeneutika. Apa Manfaatnya? (http://mudjiarahardjo.com/ artikel/103-hermeneutika-apa-manfaatnya.html diakses pada 22 Januari 2011)
Suryaman, Oni. 2005. Hermeneutika, Selayang Pandang. Int., (http://id.wordpress.com/tag/hermeneutika/, diakses tanggal 20 Januari 2010)
Sutrisno, et.al.. 2005. Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2004. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Supriyono, J. 2004. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Titus, 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terj. M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Wuisman, J.J.J.M. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid I: Asas-Asas. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
Posting Komentar