KEPEREMPUANAN TOKOH MATSUMI DALAM NOVEL
PEREMPUAN KEMBANG JEPUN KARYA LAN FANG DAN TOKOH SRINTIL DALAM NOVEL
RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI
(Kajian Intertekstual)
oleh : R.A. Hartyanto
A. Pengantar
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa
mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau
yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau
pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya
sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau
sesudahnya. (Pradopo, 2003 : 167). Mengenai hubungan kesejarahan ini
diperkuat pula oleh pendapat Riffaterre (dalam Pradopo, 2003 : 167)
bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain.
Dalam menciptakan karya sastra,
pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang
lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak
dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya,
yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya
sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai
reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk
mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari
kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya,
konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian
mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri
(Sitanggang, 2003:81).
Pada tulisan ini akan dibahas intertekstualitas
antara tokoh Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun (PKJ) karya Lan
Fang dan tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya
Ahmad Tohari dari segi keperempuanan. Oleh karena itu, akan sedikit
disinggung juga mengenai teori feminis yang berkait dengan hal
keperempuanan dimana akan dibahas selanjutnya sebagai dasar untuk
melihat fenomena pandangan ”Keperempuanan” menurut Lan Fang sebagai
wanita penulis dan Ahmad Tohari sebagai lelaki penulis sehingga
memungkinkan munculnya bias gender didalamnya.
Baik tokoh Matsumi dalam PKJ maupun tokoh Srintil
dalam RDP sama-sama merupakan tokoh perempuan yang terjebak dalam
kekuasaan politik, jeratan hidup, budaya serta tuntutan profesi yang
selalu membawa mereka dalam permasalahan-permasalahan yang tak jarang
memaksa untuk meneteskan air mata, mengurai senyum, serta membenamkan
harga diri dalam suatu kekecewaan. Matsumi dalam PKJ adalah sebagai
seorang Geisha, sedangkan Srintil dalam RDP adalah sebagai seorang Ronggeng.
B. Intertekstualitas Sastra
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan
hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks
itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan,
anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi
dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan
transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan
bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan
sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks
memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan
hypogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel,
novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak
semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan,
baik sebagai parodi maupun negasi. (Ratna, 2004 : 173)
Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjutnya Riffaterre (dalam Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram
sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo
(dalam Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik
berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat
dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang
dipengaruhinya.
Frow (dalam Endraswara, 2003:131), mengemukakan interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni:
1. konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks,
2. teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama
lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi
teks,
3. ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks
yang lain namun hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh
proses waktu,
4. bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implicit,
5. hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh
dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan
juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu,
6. pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,
7. dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan
8. analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih terfokus pada pengaruh.
C. Keperempuanan
Tidak seperti feminisme yang lebih cenderung
mengekspos superioritas perempuan dan menghapus inferioritasnya, maka
makalah ini membahas perempuan dengan segala keadaannya baik itu yang
menjadi superioritas maupun inferioritasnya. Dalam makalah ini diambil
beberapa focus pembahasan yang menyangkut diri perempuan, yakni mengenai
cinta, seksualitas dan kekuasaan perempuan.
Konsep mengenai cinta menurut Erich Fromm (2007 :
232) ini mungkin dapat mewakili pendangan cinta bagi perempuan.
Menurutnya, cinta tidak dapat dipisahkan dengan kebebasan dan
kemandirian. Bertolak belakang dengan konsep cinta semu, asumsi dasar
dari cinta adalah kebebasan dan kesetaraan. Cinta adalah kekuatan,
kemandirian, integritas diri yang dapat berdiri sendiri dan menanggung
kesunyian. Asumsi ini mempertahankan kebenaran untuk mencinta dan juga
untuk dicintai orang. Cinta merupakan sebuah tindakan spontan, dan
spontanitas berarti juga secara harfiah kemampuan untuk bertindak atas
keinginannya sendiri.jika kecemasan dan kelemahan diri membuat tidak
mungkin untuk individu agar berakar pada dirinya sendiri, dapat
dikatakan ia tidak bisa mencintai.
Bachofen dalam Erich Fromm (2007 : 6) mengemukakan
hubungannya cinta pada perempuan. Menurut Bachofen, “Di masa mudanya,
perempuan lebih dahulu menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap
makhluk lain ketimbang laki-laki, dan melampaui batas-batas ego, dan
menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk melindungi dan memperbaiki
eksistensi orang lain. Perempuan, pada tahap ini merupakan khazanah dari
setiap kebudayaan, dari sebuah kebaikan, dari seluruh pemujaan, dari
segenap perhatian terhadap kehidupan dan rasa duka cita terhadap
kematian”.
Apa yang diutarakan mengenai cinta tersebut, masih
sebagian kecil dari sekian banyak hal yang ada pada seorang perempuan.
Arti pentingnya keperawanan bagi perempuan misalnya, mengapa ketika pada
malam pertama pernikahan dua jenis manusia yang berlainan maka yang
akan dipertanyakan adalah mengenai keperawanan bukan keperjakaan. Ini
dikarenakan ada hubungan berat sebelah yang telah tercipta secara turun
temurun. Seperti yang dikatakan Selden (1996 : 137) bahwa perempuan
terikat dalam hubungan berat sebelah denan laki-laki. Laki-laki adalah
yang satu, perempuan adalah yang lain.
Jadi keperempuanan dalam hal ini tidak hanya
menginterpretasikan bagaimana perempuan melawan, bagaimana perempuan
menjadi kuat, tetapi juga bagaimana perempuan memainkan perasaan,
bagaimana perempuan meneteskan air mata dan bagaimana perempuan
menempatkan diri sesuai dengan apa yang dimiliki dari dalam dirinya yang
seutuhnya.
D. Interteks Keperempuanan Tokoh Matsumi
dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang dan Tokoh Srintil
dalam Novel Rongeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.
Dari sedikit penjelasan mengenai “keperempuan” diatas
maka selanjutnya hubungan intertekstualitas ini akan difokuskan dalam
beberapa hal, diantaranya :
-
Cinta
-
Persamaan :
-
Baik tokoh Matsumi dalam PKJ maupun tokoh Srintil
dalam RDP sama-sama memiliki rasa cinta kepada lawan jenis. Tokoh
Matsumi misalnya, jatuh cinta pada lelaki bernama Sujono, seorang kuli
angkut barang yang telah memiliki istri dan anak, yang kemudian mampu
membuat Matsumi mampu mengambil keputusan penting dalam hidupnya yakni
memutuskan untuk tidak menjadi seorang geisha.
Kesadaran Matsumi mengenai perasaan cintanya terhadap Sujono dapat dilihat dalam kutipan berikut :
Kusadari…… aku sudah terlibat perasaan dengan
Sujono. Sujono membuat dunia berbeda di mataku. Ia memujaku. Ia
mencintaiku. Ia ingin memilikiku. Ia begitu menyihirku. Sujono seperti
sake. Ia manis. Ia memabukkan. Ia melambungkan. Ia adalah mimpi. (hal.
137)
Perasaan cinta dan kasih sayang yang dimiliki
oleh Matsumi ini tidak terlepas dari konsep mengenai cinta yang
sebelumnya telah dimiliki oleh Matsumi sebagai seorang perempuan. Dapat
dilihat dalam kutipan berikut ;
Bukankah tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain menjadi milik orang yang mencintai kita dan kita cintai ?. (hal. 139)
Perasaan cinta yang mendalam dirasakan juga oleh
Srintil dalam RDP, yakni ketika Srintil jatuh cinta pada Rasus, seorang
lelaki dari pedukuhan yang sama dengan dirinya, bahkan teman bermain
sejak kecil yang pada akhirnya menjadi seorang tentara dan membuat
Srintil mabuk asmara. Kisah cinta antara Rasus dan Srintil ini menjadi
pembicaraan warga pedukuhan, yang beberapa diantaranya seperti terlihat
di bawah ini ;
“Eh dengar! Pernahkah terjadi seorang Ronggeng
mabuk kepayang terhadap seorang lelaki?” kata seorang perempuan yang
bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka.
“Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian.”
Jawab perempuan kedua. “Yang baku, seorang laki-laki tergila-gila kepada
ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki.
Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun. Lha bagaimana kalau dia
sendiri dimabuk cinta demikian ?”.
“Ya Srintil memang aneh. Nah, kalau sudah terjadi demikian maka Nyai Kartareja yang bersalah.”(hal. 115)
Kejadian jatuh cintanya seorang ronggeng kepada
seorang pemuda ini dirasa janggal oleh warga pedukuhan, namun besarnya
perasaan cinta Srintil terhadap Rasus mampu membuat Srintil mengambil
keputusan penting untuk menolak naik pentas.
“Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil
senang terhadap Rasus, Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila
Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas. Dukuh Paruk jadi
sepi. Itu saja yang kusayangan.” (hal. 115)
-
Perbedaan :
Yang berbeda dari kedua tokoh ini dalam hal
percintaan adalah ketika pada akhirnya Matsumi tidak tahan terhadap
prilaku Sujono yang dirasanya semakin enaknya sendiri sehingga pada
akhirnya perasaan cinta yang dirasakan Matsumi berangsur pudar dan
berubah menjadi rasa benci. Berbeda dengan Srintil yang dengan
menghilangnya Rasus dari hidupnya tidak pernah mampu menghapus rasa
cinta yang bertahun-tahun tetap disimpan hingga akhir hayat.
-
Keperawanan
-
Persamaan :
-
Dalam hal keperawanan, tokoh Matsumi dalam PKJ dan
tokoh Srintil dalam RDP sama-sama mengalami proses semacam pelelangan
keperawanan yang bagi sorang geisha seperti Matsumi dinamakan mizuage sedangkan bagi seorang ronggeng seperti Srintil dinamakan bukak-klambu.
Proses pelelangan keperawanan ini maksudnya adalah dimana keperawanan
seorang perempuan akan diakhiri oleh lelaki beruntung yang memenangkan
proses pelelangan. Penentuannya adalah dengan menobatkan siapa lelaki
yang mampu membayar (menghargai) sang perempuan dengan harga yang paling
tinggi adalah sebagai lelaki yang berhak untuk mengakhiri keperawanan
sang ronggeng maupun sang geisha.
Berikut kutipan yang menunjukkan proses pelelangan keperawanan yang dialami oleh tokoh Matsumi :
Ketika usiaku mencapai empat belas tahun, aku menjadi Geisha. Sebelumnya aku menjalani mizuage,
yaitu proses melelang keperawananku kepada penawar dengan harga
tertinggi. Waktu itu, menurut induk semangku, ada tiga orang kaya dan
terpandang di Kyoto yang menawariku. Induk semangku membawa aku ke
hadapan mereka. Mereka, satu persatu, melihatku dalam keadaan telanjang
bulat. Induk semangku melepaskan kimono dan obiku satu persatu, sampai
aku polos di hadapan mereka. (hal. 104)
Dan berikut adalah kutipan yang menunjukkan ketika Srintil harus mengalami proses pelelangan keperawanan :
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah
semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan
adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan
sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati
virginitas itu. (hal. 51)
-
Perbedaan :
Proses pelelangan keperawanan Matsumi diakhiri dengan harga mizuage-nya
yang mencapai harga tertinggi sehingga laki-laki yang berani memberi
harga tertinggi berhak untuk benar-benar mengakhiri keperawanan Matsumi
saat itu.
Dan sungguh mengejutkan ketika mizuage-ku ternyata mencapai harga tertinggi untuk geisha seangkatanku di Gion. Bahkan menurut Yuriko, harga mizuage-ku melampaui harga mizuage-nya. (hal.104)
Sedangkan yang terjadi pada Srintil tidaklah demikian, sebab sesaat sebelum proses bukak-klambu
berakhir dengan penawaran tertinggi dari seorang pemuda bernama Dower,
ternyata Srintil telah menyerahkan keperawanan yang dianggapnya sangat
bernilai itu kepada lelaki yang benar-benar ia cintai, yakni kepada
Rasus yang saat itu berada di belakang rumah dalam keadaan gelap dan tak
terlihat :
Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai
yang berlaku pada pribadi-pribadi. Orang berpikir lebih primitive dalam
suasana tanpa cahaya. Dan sebuah prilaku primitive memang terjadi
kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak
muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun tangan
mengguruiku dan Srintil. Boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang
menyenangkan. Tetapi entahlah, karena aku hanya merasa telah memperoleh
sebuah pengalaman yang aneh. (hal.76)
Sehingga pemuda bernama Dower yang telah memenangkan sayembara bukak-klambu atas diri Srintil tidak pernah tahu bahwa perempuan yang disayembarakan ternyata telah tidak perawan :
“Kau telah memperoleh hadiah sayembara bukak-klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas bukan ?”
Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah keinginannya
memperoleh sebutan sebagai pemuda yang mewisuda ronggeng Srintil. Virgin
atau tidak virgin ronggeng yang ditidurinya, menjadi naïf Dower. (hal.
77)
-
Seksualitas
-
Persamaan :
-
Sebagai seorang Geisha, Matsumi tidak hanya melayani
laki-laki untuk mencapai kepuasan dengan kemampuannya memainkan gairah
seksual, tetapi lebih daripada itu, ada seni yang dimiliki oleh Matsumi.
Seni sebagai seorang Geisha yang perlu bertahun-tahun untuk mempelajari
dan menguasainya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut :
Setidaknya aku juga perempuan. Aku juga perempuan
yang melayani laki-laki untuk mencapai kepuasan tertinggi. Tetapi aku
tidak hanya sekadar mengangkang untuk dimasuki puluhan laki-laki dalam
sehari. Aku bisa manyanyi, menari, bermain shamisen, memandikan laki-lakiku di ofuro, sampai mereka terbang mengoyak langit. Meretas dalam erangan panjang. (hal. 116)
Sebagai seorang Ronggeng, Srintil juga tidak
sekadar menundukkan laki-laki dengan permainan birahinya. Lebih daripada
itu, Srintil bisa menari, mengikuti nada calung yang mampu menggetarkan
dan membius penontonnya sebelum akhirnya banyak penonton yang akan
menginginkannya dan bernafsu untuk menidurinya.
Dan siapapun yang mengikuti perkembangan Srintil
sejak awal tidak akan menemukan perubahan-perubahan dalam gaya tariannya
meski dia hampir enam tahun menjadi ronggeng. Kecuali malam itu yang
terbukti lain. Si buta Sakum justru yang pertama merasakannya. Sakum
mendengar suara gesekan kaki Srintil. Semuanya berubah. Srintil seakan
menari dalam keadaan marah. Andaikan mata sakum awas, tentulah dia dapat
melihat betapa Srintil mengangkat kedua lengannya lebih tinggi hingga
tampak putih kulit ketiaknya. Goyang pundaknya lebih berani. Bila sedang
pacak gulu mata Srintil tidak terarah pada penonton seperti telah menjadi ciri khasnya. Mata Srintil menantang bintang-bintang. (hal. 191)
-
Perbedaan :
Perbedaan zaman menjadi sangat kentara dalam hal ini
dimana Matsumi dalam pelayanannya terhadap birahi laki-laki selalu
diukur dengan kekuatan uang, berbeda dengan Srintil yang pada zamannya
masyarakat belum sepenuhnya menganggap uang sebagai alat tukar utama
untuk menunjukkan kekayaan sehingga dalam beberapa kesempatan, Srintil
juga menerima pemberian berupa barang dari lelaki yang ingin
menidurinya.
-
Kekuasaan
-
Persamaan :
-
Kekuasaan yang ditunjukkan Matsumi sebagai seorang
perempuan adalah ketika dia mampu membuat lelaki tunduk dan berlutut
hingga mampu menciptakan rasa cemburu bagi lelaki yang ingin
memilikinya. Seperti terjadi pada Sujono yang akhirnya merasa cemburu
dan memaksa Matsumi untuk meninggalkan kelab hiburan malam tempatnya
melayani tamu lelaki :
Kuminta Matsumi meninggalkan Kembang Jepun-Kelab
hiburan Hanada-san. Aku ingin Matsumi hanya milikku. Tidak ingin berbagi
lagi dengan laki-laki lain. Ia menurutiku. (hal. 184)
Perasaan cemburu juga terjadi pada diri Rasus
dalam RDP. Segala yang ada pada diri Srintil telah membuah Rasus rapuh
dan jatuh hati hinga yang terjadi adalah ketidakrelaan ketika Srintil
harus melayani lelaki lain :
Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan!
Bajul Buntung! Pikirku. Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula hanya sakit
hati karena aku tidak mungkin memenangkan sayembara akibat kemelaratanku
serta usiaku yang baru empat belas tahun. Lebih dari itu, Memang
Srintil telah dilahirkan untuk menjadi Ronggeng, perempuan milik semua
laki-laki. Tetapi mendengar keperawanan disayembarakan, hatiku panas
bukan main. Celakanya lagi, bukak-klambu yang harus dialami
oleh Srintil sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapapun tak
bisa mengubahnya, apa pula aku yang bernama Rasus. Jadi dengan perasaan
perih aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi (hal.51)
-
Perbedaan :
Kekuasaan yang digambarkan oleh Matsumi harus
diakhiri dengan kecerdikan Sujono yang mampu benar-benar memilikinya.
Berbeda dengan Srintil yang sekalipun begitu besar rasa cemburu yang
dimiliki oleh Rasus atas diri Srintil tidak mampu membuat keduanya
bersatu seperti pada kutipan dalam RDP di bawah ini :
Sering kusumpahi diriku mengapa aku jadi merasa
tersiksa karenanya. Kuajari diriku : kecantikan Srintil bukan hanya
milikku, melainkan miliknya. Cambang halus di pipinya yang makin enak
dipandang bukan milikku, melainkan miliknya juga. Kalau Srintil
tersenyum sambil menari aku dibuatnya gemetar. Tetapi Srintil tersenyum
bukan untukku, melainkan untuk semua orang. (Hal. 39)
-
Pertemuan dengan laki-laki yang lemah
-
Persamaan :
-
Setelah meninggalkan Sujono yang mengecewakannya,
Matsumi akhirnya kembali bertemu dengan lelaki lain yang bernama Takeda,
sebagai seorang laki-laki, Takeda mengalami kelemahan pada masalah
seksualitasnya :
Takeda bukan pencinta yang mahir. Ia jarang
menciumku. Kalaupun mencium, itu hanya sekilas. Padahal aku ingin lebih
lama, lebih dalam dan lebih mesra. Aku selalu terengah-engah seperti
pelari haus mencari air. Takeda bukan pelari marathon. Ia selalu
terlambat mengambl posisi lari dan terlalu cepat berhenti di tengah
karena napas yang tersengal, karena gemetar dan tak mampu menahan
gejolak yang memuncak. Ia tidak pernah mencapai titik akhir yang
sempurna (hal. 272)
Kelemahan dalam diri Takeda juga terlihat dalam kutipan berikut :
“Aku takut tidak bisa memuaskanmu. Aku tidak
kuat, katanya saat kami bercinta untuk kedua kalinya. Takeda hanya
mengatakan itu satu kali. Sama seperti ia mengatakan ia mencintaiku.
(hal. 274)
Hal yang sama juga terjadi pada diri Srintil ketika dia harus menjadi gowok dan ternyata dia harus bertemu dengan Waras sebagai lelaki yang lemah :
Dengan pertimbangan yang dalam Srintil menjawab
dengan anggukan kepala. Waras terpesona. Dipandangnya Srintil dengan
tatapan mata penuh rasa heran, sungguh-sungguh heran. Melalui anggukan
kepala itu sesungguhnya Srintil sedang melakukan upaya kali terakhir.
Penjajakan. Tetapi yang terbaca dari wajah Waras adalah sikap
memustahilkan ragawi antara dua manusia lelaki dan perempuan, apapun
namanya Srintil harus menelan ludah berkali-kali karena harus meyakini
keadaan Waras, dia benar-benar hilang dari dunia kelelakian dan Srintil
pasti tak sanggup lagi menemukannya. (Hal. 224)
-
Perbedaan :
Dalam pertemuannya dengan lelaki yang lemah, Matsumi dalam PKJ selalu diakhiri dengan persetubuhan :
“Sekejap saja ketika ia mencoba memasukiku, gairahnya membuncah. Buyar…! Usai… (hal 273)
Berbeda dengan Srintil dalam RDP yang tidak
pernah terjadi persetubuhan dalam pertemuannya dengan lelaki yang lemah
karena hilangnya kelelakian dari Waras (lelaki yang ditemui Srintil) :
Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi,
terjadilah. Dia menunggu dalam keadaan seorang rongeng yang sebenarnya,
dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikitpun menyelipkan
kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar. Bahkan kosong.
Waras hanya berhenti pada bermain kutangnya sambil merengek pelan
seperti bayi. Makin lama geraknya semakin lemah. Matanya tertutup
kemudian terdengar dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap
dalam mimpi bocah. (hal. 223)
Terhadap lelaki yang lemah tersebut juga Matsumi
pada akhirnya merasakan cinta, cinta dari seorang perempuan yang merasa
iba atas kelemahan yang dialami oleh lelaki (Takeda), seperti yang
diungkapkan sendiri oleh Matsumi dalam kutipan PKJ berikut ini :
“Kalau kali berikutnya persetubuhan itu terjadi.
Itu karena aku sungguh ingin memberikan diriku untuknya. Kenapa ? Aku
tidak tahu. Untuk apa ? Aku juga tidak tahu. Keinginan itu muncul
tiba-tiba saja. Bukan karena gairah tapi karena aku merasa setiap hari
perasaanku semakin bertambah dalam untuknya. (hal. 273)
Yang terjadi pada Srintil justru sebaliknya sebab
tak ada rangsangan berahi yang dirasakan oleh Srintil ketika bertemu
dengan Waras :
Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan
menciuminya. Srintil pasrah saja. Atau geli. Tak ada rangsangan berahi.
(hal. 214)
Dan perbedaan yang paling menonjol dalam hal
pertemuannya dengan lelaki yang lemah bagi Matsumi adalah ketika
akhirnya Matsumi kembali mengembalikan kelaki-lakian Takeda atas hasil
jerih payahnya :
“Bagaimana rasanya ?!” tanyaku pada Takeda
“Tidak tahu. Bukankah kau yang merasakannya! Apa kaurasakan ?! Takeda selalu melempar balik pertanyaanku.
“Ya sekarang semakin lama semakin baik. Begini jawabku. (Hal. 274)
Sedangkan Srintil harus kecewa karena ternyata selama dia menjadi gowok
bagi Waras, Srintil tak berhasil mengembalikan kelaki-lakian Waras yang
hilang. Kekecewaan Srintil atas kegagalan tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut :
Sebuah saputangan dalam genggaman Srintil penuh
uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu
tidak bisa mengusir rasa perih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya
Srintil pulang membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak
mungkin dilupakan sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam
kemalangan abadi. (Hal. 225)
-
Naluri keibuan
-
Persamaan :
-
Pada dasarnya seorang perempuan tidak akan pernah
terlepas dari naluri keibuannya, naluri untuk memiliki keluarga bahagia,
naluri untuk memiliki seorang anak dari rahimnya. Matsumi dalam PKJ
juga mengalami hal sedemikian rupa ketika akhirnya Matsumi hamil oleh
Sujono dan memutuskan untuk berhenti menjadi geisha. Berikut kutipannya
ketika Matsumi harus menerima penghinaan karena berencana untuk berhenti
menjadi geisha :
“Apakah kau lupa bahwa kau geisha tercantik ?!
tidak pernah seorang Geisha hamil, melahirkan, dan mempunyai anak.
Geisha adalah penghibur! Geisha harus selalu menjaga kecantikan wajah
dan keindahan tubuh. Hamil, melahirkan, punya anak akan membuat wajah
dan tubuhmu yang indah menjadi rusak…!”(hal. 141)
Demikian naluri keibuan yang dirasakan Srintil
juga terlihat ketika dia merasa terhibur dengan keberadaan Goder (anak
dari tetangganya) yang lucu dan membuat Srintil kembali bersemangat :
Srintil yang sedang merana secara ragawi maupun
rohani bisa menerima keajaiban suasan ayang dibawa oleh si kecil Goder.
Meski badannya lemah, dia berusaha duduk dan meminta. Tampi menyerahkan
bayinya. Demikian setiap hari bila Tampi menjenguk Srintil di rumah
Sakarya. (Hal. 136-137)
Yang jelas celoteh Srintil tentang bayi dan
perkawinan hanya sebagai ungkapan perasaan secara emosional, tanpa suatu
alasanyang mendukungnya. Lagipula aku merasa rendah diri karena Srintil
telah menjadi seorang ronggeng yang benar-benar kaya.Namun seandainya
keinginan Srintil memperoleh seorang bayi terdorong ketakutannya
menghadapi hari tua. Aku tak bisa berbuat lain kecuali iba. Sangat iba !
(hal. 90)
-
Perbedaan :
Pada akhirnya keinginan Matsumi untuk memiliki
seorang anak tercapai ketika dia melahirkan anak dari hasil hubungannya
dengan Sujono yang akhirnya bayi tersebut diberinya nama Kaguya :
Dengan persediaan uang yang amat sedikit, aku
melahirkan anak perempuanku. Seorang dukun bayi menolongku
melahirkannya. Aku melahirkan menjelang matahari terbit. Sepanjang malam
aku mengerang kesakitan. Hanya pembantuku yang menemaniku karena Sujono
sudah pulang ke rumahnya. (hal. 149)
Keinginan memiliki seorang anak tidak terjadi
pada diri Srintil karena sebelumnya Nyai Sakarya yang menjadi dukun
Ronggengnya telah memijat indung telur Srintil hingga pecah dan membuat
Ronggeng Dukuh Paruk tersebut tidak bisa memiliki seorang anak.
E. Penutup
Dari beberapa paparan mengenai keperempuanan tokoh
Matsumi dalam novel Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang dan tokoh
Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, maka dapat
diketahui bahwa terdapat intertekstual dalam hal cinta, keperawanan,
kekuasaan, seksualitas, dan naluri keibuan yang dimiliki oleh kedua
tokoh perempuan tersebut.
Persamaan-persamaan yang ditemukan dalam kedua novel
tersebut menunjukkan adanya hipogram karya sastra yang meliputi: (1)
ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. (2) konversi
adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah
perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4)
ekserp adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram
yang diresepsi pengarang (Endraswara, 2003:132)
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di
dalamnya juga menunjukkan bahwa pada karya sesudahnya terdapat
pengembangan yang sifatnya berupa kreatifitas dari pengarang mengenai
fenomena-fenomena yang timbul dari karya sebelumnya. Sehingga tidak
terjadi apa yang dinamakan karya sastra yang serupa tapi tak nampak
sama. Sebabnya adalah karena ada sesuatu yang lain diantara keduanya.
DAFTAR RUJUKAN
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Lan Fang. 2006. Perempuan Kembang Jepun. Jakarta : Gramedia
Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki (Kajian Komprehensif tentang Gender). Yogyakarta : Jalasutra
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
______ 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogya : Gadjah Mada University Press.
Sitanggang, S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana
Tohari, Ahmad. 2004. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta : Gramedia.
Posting Komentar